Senin, 01 Februari 2010

Syarat-Syarat Merek Menurut Undang-Undang

Sebuah barang diberi merek tertentu mempunyai suatu syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Banyak perkara yang terjadi selama ini karena syarat sebuah merek yang didafatarkan oleh salah satu perusahaan tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang. Otomatis, merek yang tidak memenuhi syarat sebagai merek, tidak dilindungi oleh Undang-Undang. Bagi setiap pihak yang memakai merek dan berniat untuk mendaftarkannya, harus memenuhi syarat mutlak. Adapun syarat mutlak itu adalah tanda yang dipakai tersebut adalah mempunyai daya pembeda.
Sebuah merek dapat disebut merek bila memenuhi syarat mutlak berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya tanda yang dipakai (sign) tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka merek itu dapat memberikan penentuan atau “individualisering” pada barang atau jasa yang bersangkutan.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menyatakan bahwa: Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Penjelasan Pasal 4 tersebut dinyatakan bahwa:
Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Contonya, Merek Dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum sejak bertahun-tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi itikad tidak baik dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya dalam meniru Merek Dagang yang sudah dikenal tersebut.

Selain memiliki daya pembeda, Pasal 5 Undang-Undang Merek juga memberi suatu syarat Merek yang tidak dapat didaftarkan, yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda;
c. telah menjadi milik umum; atau
d. merupakan keterangan atau yang berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum tidak dijelaskan dengan terang dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Merek tersebut, karena hanya dinyatakan bahwa: termasuk dalam pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu.
Sebagai penjelasan tambahan dapat diketahui dari pendapat Sudargo Gautama ketika membahas Undang-Undang Merek 1961, seperti dikutip dari bukunya OK.Saidin yang menyatakan bahwa:
Dalam merek bersangkutan tidak boleh terdapat lukisan-lukisan atau kata-kata yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Di dalam lukisan-lukisan ini kiranyan tidak dapat dimasukkan juga gambaran-gambaran yang dari segi keamanan atau segi penguasa tidak dapat diterima karena dilihat dari segi kesusilaan maupun dari segi politis dan ketertiban umum. Lukisan-lukisan yang tidak memenuhi norma-norma kesusilaan, juga tidak dapat digunakan sebagai merek jika tanda-tanda atau kata-kata yang terdapat dalam sesuatu yang diperkenalkan sebagai “merek” dapat menyinggung atau melanggar perasaan, kesopanan, ketentraman atau keagamaan, baik dari khalayak umumnya maupun suatu golongan masyarakat tertentu.

Pengertian tidak memiliki daya pembeda dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 5 huruf b yang menyatakan bahwa: Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas.
Dengan lain perkataan, tanda yang dipakai ini (sign) haruslah demikian rupa, hingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang hasil produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan (perdagangan) dari seseorang daripada barang-barang orang lain. Barang-barang yang dibubuhi tanda atau merek itu harus dapat dibedakan dari pada barang-barang orang lain karena adanya merek ini. Merek adalah alat untuk membedakan barang dan tanda yang dipakai sebagai merek ini kiranya harus mempunyai daya pembedaan untuk dapat membedakan barang yang bersangkutan.
Pengertian telah menjadi milik umum, dapat diketahui pada penjelasan Pasal 5 huruf C Undang-Undang Merek yang menyatakan bahwa:
Salah satu contoh merek seperti ini adalah tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek.
Selain itu permohonan suatu merek juga harus ditolak apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-Undang Merek. Hal ini telah dijabarkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa:
(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa sejenis;
b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang/atau jasa sejenis;
c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto atau badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
Adapun pengertian mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
Hal yang sama juga disampaikan Wayne Covell dalam Trademark Reporter Nomor 3 Volume 82. Mei-Juni 1992 yang juga dikutip dari bukunya M. Yahya Harahap menyatakan kriteria persamaan itu adalah:
a. persamaan pandangan (visual similarity)
b. persamaan kemasan (packaging similarity)
c. persamaan dalam asosiasi (similarity in association)
d. persamaan fungsi dan pemakaian (similarity in function and use).

Adapun pengertian persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis dapat diketahui pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa:
Penolakan permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan /atau jasa sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Disamping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal di atas belum dianggap cukup, pengadilan niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan.
Adapun mengenai mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal, penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf C Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tidak memberikan penjelasan.
Sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyatakan bahwa:
Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Oleh karena itu, dalam persetujuan TRIPs, dilarang kepada produsen untuk memakai label atau tanda (atau juga merek) terhadap barang yang diproduksinya, yang tidak sesuai dengan indikasi geografis. Misalnya mencantumkan label “Kopi Toraja” atau “Kopi Sidikalang” untuk kopi yang tidak diproduksi di Toraja atau Sidikalang, atau menempelkan merek “Apple Washington” untuk Apple yang dihasilkan dari daerah Brastagi.
Menurut Frederic Abbot, et.al., seperti dikutip pada bukunya Achmad Zen Purba menyatakan bahwa:
Isu indikasi gegrafis memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi promosi produk yang mempunyai karakter tertentu yang membawa manfaat ke wilayah tempat produk tersebut dibuat (manufactured) atau dipasarkan. Indikasi geografis dengan demikian melindungi produsen di wilayah tersebut terhadap penggunaan yang tidak sah (unauthorized) dari goodwill yang diciptakan oleh kualitas produk itu oleh pesaingnya. Kedua, indikasi geografis adalah sumber informasi penting untuk konsumen pada pasar yang sangat beragam dalam kaitan dengan asal, kualitas serta reputasi produk yang bersangkutan.
Adapun tujuan diaturnya indikasi geografis ini adalah untuk mencegah tindakan-tindakan yang dapat menyesatkan konsumen sendiri, yang akhirnya dapat berakibat terjadinya persaingan curang (unfair competition).
Indikasi geografis adalah konsep yang relatif baru, namun dekat dengan konsep indikasi sumber (indication of source) dan appellation of origin. Indikasi sumber adalah setiap ekspresi atau tanda yang digunakan untuk menunjukkan bahwa sumber produk atau jasa berasal atau tumbuh di satu negara, daerah atau tempat khusus. Appellation of origin berarti nama geografis dilihat dari satu negeri, daerah atau tempat khusus yang berfungsi untuk menunjukkan satu produk berasal dari sana, yang karakter khususnya secara eksklusif atau esensial berkaitan dengan lingkungan geografis, termasuk faktor-faktor alam atau manusia atau kedua-duanya. Jadi appellation of origin mengandung hubungan kualitas antara produk dengan daerah produksinya.


Related Posts by Categories



3 komentar:

Anonim mengatakan...

misalkan gini mas..
saya punya inisiatif mendaftarkan nama + logo yg saya bikin sendiri ke ditjen HKI, contoh: "Visit Solo" + logo yg bnr2 orisinil saya bikin.. saya pny rncana bkin asesoris2 promosi wisata smacam kaos, stiker, dll. dgn nama itu..
apa nama "Visit Solo" yg saya mksud bisa saya daftarkan ya?

Unknown mengatakan...

Kalau merek pake bahasa inggris boleh tidak ?

Unknown mengatakan...

Kalau merek pake bahasa inggris boleh tidak ?

Posting Komentar