Rabu, 22 Desember 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LAUT

Tidak ada cabang hukum internasional yang mengalami perubahan selama empat puluh tahun terakhir, khususnya pada dua puluh tahun terakhir selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awal sejarah perkembangan hukm laut, ada beberapa ukuran yang dipermasalahkan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada dibawah kedaulatan negara pantai. Hingga abad ke 18 prinsip kedaulatan negara pantai atas jalur maritim ini benar-benar berlaku.

Pada tahun 1702, byikershoek menerbitkan karyanya mengenai kedaulatan atas laut, dalam karyanya ini menyetujui peraturan bahwa negara pesisir dapat menguasai laut sebatas lebar perairan pantai sejauh tembakan peluru meriam pantai, yaitu kurang lebih 3 mil. Batas 3 mil ini mendapatan pengakuan luas dari para ahli hukum, juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapatkan pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama.
Yang menjadi soal lainnya dalam hukum laut internasional adalah apakah laut dapat dimiliki oleh suatu negara atau tidak. Selama ini, sejarah hukum laut internasional dua konsepsi pokok, yaitu:
a. Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada yang memilikinya dan oleh karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki masing-masing negara.

Dua perkembangan penting setelah berakhirnya perang dunia II, adalah:
1. Penerimaan umum atas doktrin landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
2. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara "Anglo Norwegian Fisheries Case", yaitu mengenai pertimbangan bahwa jalur maritim bukanlah suatu perluasan semu terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu negara sebagai suatu wilayah tambahan yang berdampingan dimana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan geografis negara-negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak kedaulatan eksklusif, hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing.

[+/-] NEXT...

Jumat, 03 Desember 2010

Penerapan Sanksi Pidana Pada Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka undang – undang tentang perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan bisa di dikurangi / antisipasi . Aturan – aturan secara umum mengacu pula pada aturan – aturan yang lebih umum baik pada Undang – Undang Hukum Pidana maupun Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam penjelasan pasal 38 UU No. 6 tahun 1983 Jo.UU No.9 tahun 1997 Jo. UU No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan disebutkan : Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana “. Penjelasan pasal 38 di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek baik jaksa maupun hakim lebih cenderung menerapkan ketentuan undang – undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan . Hal ini diungkapkan oleh pakar hukum pidana Unair DR.Sarwarini,SH,MS ( 1999 : 9 ) : Keadaan ini terjadi , baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang – undang perpajakan yang baru. Keadaan tersebut dapat ditolerir jika terjadi sebelum diterapkannya undang undang perpajakan yang lama, tapi sesungguhnya , sangat memalukan, jika dipakai sesudah penerapan undang – undang perpajakan baru”.dimana menyalahi azas lex specialist derogat generali.

Dalam menjerat pelaku tindak pidana perpajakan hakim dan jaksa cuma mengacu pada pasal 14 UU No. 31 tahun 1999 : setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini. Pasal 43 B UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum itu sehingga perlu di terapkan peraturan – peraturan yang bersifat khusus yaitu UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No. 9 tahun 1997 Jo. UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan .
Dalam proses persidangan tampak bahwa, selain majelis hakim belum pernah menyidangkan kasus perpajakan , hakim maupun jaksa kurang memahami segi teknis ketentuan formal dan materiil yang berkaitan dengan system perpajakan yang baru, hal ini dapat kita lihat dari kasus penggelapan pajak yang divonis penjara 26 tahun karena menyelewengkan dana pajak PT Semen Tonasa . Kedua orang itu yakni Iwan Zulkarnain ( 34 ) dihikum 16 tahun dengan hukuman denda Rp. 100 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti kepada negara Rp. 27 Milyar subsider dua tahun penjara dan Asriadi divonis 10 tahun dengan denda Rp. 100 Juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti kepada negara Rp. 13 milliar subsider satu tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Makassar, Selasa 28 Oktober 2003. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut ( JPU ) Muh.Zainal Arif,SH yang menuntut Iwan Zulkarnaen dengan hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Asriadi 15 tahun penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyebutkan bahwa terhukum Iwan Zulkarnain terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 13 Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 Jo. Ke 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP . Terhukum melakukan pertemuan dengan terdakwa Asriadi – berkas perkaranya terpisah- yang juga mantan pegawai Kantor Pajak Wilayah XV Sulawesi Selatan. Sedangakn Asriadi terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 pasal 64 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi.
Seharusnya hakim dalam memvonis kasus di atas di samping mengacu pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menerapakan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya pasal 39 ( 1 ) huruf g yang berbunyi : “ setiap orang yang dengan sengaja : tidak menyetorkan pajak yang telah di punggut atau di potong,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.”
Dari kasus penggelapan pajak ini saja baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur secara khusus kasus perpajakan ( specialist ).
Demikian pula pada kasus perpajakan yang lain seperti restitusi pajak fiktif senilai 27 miliar di PN Bandung, oknum pegawai pajak yang terbukti memalsukan SSP senilai 15 juta di Menado dan pegawai pajak AR di Jayapura yang terbukti memalsukan SSP PBB senilai 150 juta semua di hukum dengan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus – kasus di atas memperlihatkan begitu kurang memahaminya hakim dan jaksa mengenai seluk beluk ketentuan formal dan materiil yang diatur dalam undang – undang sistem perpajakan.
C. Kesimpulan
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara , untuk itu aturan perpajakan pun di atur begitu detailnya, baik sekarang maupun jaman sebelum dilakukan “ Tax Reform “ dimana ketentuan-ketentuan itu sudah di atur pada KUHP pada pasal 209,242,253,263,322,368,372,387,388,415,416,417,419,441,425 karena sektorperpajakan ini diharap menyumbang finansial terbesar untuk APBN, dalam realisasinya terjadi kebocoran-kebocoran oleh wajib pajak , aparat pajak maupun pihak ke-3 untuk itu di tuangkan ketentuan pidananya di atur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya di dalam pada UU No. 3 tahun 1971 yang diganti dengan UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001. UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan merupakan specialist dari KUHP maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula tindak pidana di bidang perpajakan pada pasal 38,39,41,41A,41B.
Melihat begitu banyaknya atauran – aturan tindak pidana yang berkaitan dengan perpajakan ini diharapkan para pelaku tidak akan lolos terhadap tindakan yang telah dilakukan , mengacu pada azas Lex Specialist Derogat Generalis maka semua tindak pidana perpajakan itu seharusnya di jertat pula dengan pasal-pasal perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat SDM kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan system perpajakan. Dari beberapa kasus perpajakan aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim lebih menyukai menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di banding Ketentauan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tetapi permasalahannya vonis yang dijatuhkan pada terpidana itu apakah sudah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat mengingat sama sekali Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak diterapkan.

[+/-] NEXT...

Kebijakan Hukum Pidana Positif Dalam Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

Hukum pajak merupakan bagian Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Negara. Tetapi beberapa sarjana menganggap bahwa hukum pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri, berdampingan dan sejajar dengan disiplin ilmu yang lain ( Rochmat Soemitro, 1992: 31 ) Dalam hukum pajak disamping ada sanksi administrasi terdapat sanksi pidana yang dijatuhkan untuk pelanggaran dan kejahatan. Hukum pidana seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan yang terdapat diluarnya, yaitu dalam ketentuan – ketentuan yang khusus ( lex specialist ) untuk mengadakan peraturan-peraturan dalam segala lapangan, merupakan keseluruhan yang sistimatis, karena ketentuan-ketentuan dalam buku I dari KUHP juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana ( peristiwa yang dapat dikenakan hukuman = staafbar feit ) yang diuraikan diluar KUHP itu. ( vide pasal 103 KUHP).
Pengertian “strafbaar feit “ terdapat banyak istilah seperti tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana atau delik “. Istilah tindak pidana merupakan pengertian baku yang berarti “ perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan pidana, ketentuan pidana tidak semata-mata terdapat dalam KUHP melainkan juga dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Imigrasi dan lainnya. “

Prof. Dr Mr J.Van der Poel ( Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalam bukunya Rondom Composite en Crompomis mengutarakan, bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan hukum pidana umum. Sudah barang tentu tetap ada ketinggalan perbedaannya yang khusus, karena hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya. Lagi pula, sekalipun dasar fikirannya sama, namun dalam sejarah teryata pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut pendapatnya, sebelum setengah abad yang lalu, pelanggaran-pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistis ( remeh) dan terlalu formal, sedangkan teori dan filsafat yang terbaru mengenai hal itu tidak lagi membedakan antara “ pencurian “ terhadap negara dan pencurian terhadap individu. ( R.Santoso Brotodiharjo,1995: 24 )
Bahwa peraturan – peraturan administrasi pun sangat memerlukan sanksi –sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam peraturan – peraturan pajak terdapat sanksi – sanksi yang bersifat umum dan khusus, antara lain dimuatlah dalam :
a. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Generalis / umum )
1. Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP
2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal 242 KUHP
3. Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP
4. Pemalsuan Surat, pasal 263 KUHP
5. Membuka Rahasia pasal 322 KUHP
6. Pemerasan dan Pengancaman, pasal 368 KUHP
7. Penggelapan, pasal 372 KUHP
8. Melakukan tipu muslihat pasal 387 KUHP
9. Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus, pasal 388 KUHP
10.Kejahatan Jabatan
a. Pasal 415 KUHP
b. Pasal 416 KUHP
c. Pasal 417 KUHP
d. Pasal 419 KUHP
e. Pasal 241 KUHP
f. Pasal 425 KUHP
b. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasar pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 : “ setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini.Adapun pasal – pasal yang berkaitan Tindak Pidana Perpajakan pada pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 dan 18.
Berdasar pasal 43 B UU No. 20 Tahun 2001 : “ pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, pasal 209 , pasal 210, pasal 378, pasal 378, pasal 388 , pasal 415, pasal 416, pasal 417, pasal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425, dan pasal 435 kitab Undang – Undang Hukum Pidana Jis. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang pengaturan hukum pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9 ), undang – undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang perataruan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( LN 1958 No. 127 , TLN. No. 1660 ) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dinyatakan tidak berlaku. Pada UU ini yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan diatur dalam pasal 5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B.
c. Undang – Undang Perpajakan ( Specialist / khusus )
Undang-Undang perpajakan kita membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
1) Tindak Pidana Pelanggaran
Pelanggaran sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila disbanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang. Dalam UU No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan prinsip – prinsip ancaman pidana pelanggaran ini pun dengan nyata – nyata dimuat dalam : Pasal 38 “ setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara , dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau denda paling lama 2 ( dua ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar .
2)Tindak Pidana Kejahatan
Jika pelanggaran merupakan kejahatan ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat. Pelanggaran berat karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan atau denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau tidak dibayar, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan ( residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun ketentuan tersebut ada dalam :
Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan
( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
( 2 ) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
( 3 ) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf ( a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajip Pajak.
Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,- ( empat juta rupiah); pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang menurut pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang dengan sengaja menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Dari semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana :
a. yang dilakukan oleh wajib pajak
b. yang dilakukan oleh pejabat pajak ( fiskus )
c. yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.
Sedangakan untuk materi yang diancam dengan sanksi pidana adalah :
a. dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar , palsu atau dipalsukan.
b. Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan;
c. tidak memberikan / menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak;
d. tidak memperlihatkan pembukuan, dokkumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak
e. tidak memberikan kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat
f. tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
g. tidaak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP / NPPKP tanpa hak; dan
h. tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut.

(sumber: MH. Huda)

[+/-] NEXT...