Sabtu, 27 Februari 2010

Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina

Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara pengirim dan negara penerima.
Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung perwakilannya sebagai tempat untuk menyembunyikan atau menyekap seseorang yang berwarga negara pengirim atau menculik orang itu yang sedang berada di wilayah negara penerima dan menahannya di dalam gedung perwakilan dengan maksud secara paksa memulangkan orang itu ke negara asalnya. Sebagai contoh adalah kasus pemaksaan masuk terhadap Sun Yat Sen, seorang revolusionis dari China ke dalam gedung Kedutaan Besar Cina di London, Inggris. Pemaksaan masuk tersebut dilakukan dengan maksud untuk menangkap dan mengirimkan Sun Yat Sen kembali ke Cina untuk diserahkan kepada pemerintah untuk diadili sebagai seorang pemberontak. Tindakan Kedutaan Besar Cina tersebut dihalang-halangi oleh Pemerintah Inggris, yang menuntut supaya Sun Yat Sen di lepaskan. Pernyataan Kedutaan Besar Cina bahwa Sun Yat Sen ditangkap di dalam gedung kedutaan Cina yang harus dianggap kebal dari campur tangan, ditolak oleh pemerintah. sehingga terpaksa melepas Sun Yat Sen dari penyekapannya.

Atas dasar Pasal 41 ayat 3 ini juga, gedung perwakilan asing tidak dibenarkan sebagai tempat untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kriminil. Hal ini adalah sebagai penghormatan perwakilan terhadap Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina 1961, yaitu bahwa seorang wakil diplomatik diharapkan untuk menghormati dan memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum negara penerima, maka apabila salah seorang yang diinginkan oleh penguasa-penguasa negara-negara penerima, sehubungan dengan tindak pidana kriminal yang dilakukannya, yang telah berlindung di dalam kantor perwakilan asing tersebut, haruslah pejabat diplomatik mengizinkan polisi atau badan-badan yang berwernang setempat untuk menangkap orang tersebut, karena dengan izin yang diberikan oleh kepala perwakilan tersebutlah maka alat-alat negara dapat masuk ke dalam gedung perwakilan asing.
Sebaliknya apabila seorang wakil diplomatik atau kepala perwakilan yang menyebunyikan seorang penjahat kriminil di dalam kantor perwakilan atau tempat kediamnnya, maka pemerintah negara setempat dibenarkan mengambil tindakan-tindakan untuk memaksa penyerahan-penyerahan tersebut dengan memasuki kantor perwakilan atau tempat kediaman diplomatik. Tetapi itndakan-tindakan kekerasan tersebut hanya dapat dibenarkan hanya dalam keadaan yang mendesak yaitu setelah kepala perwakilan atau pejabat diplomatik tersebut menolak untuk menyerahkan penjahat tersebut. Artikel 20 Asian African Legal Consultative Committee, report Immunities, this Session report ditetapkan sebagai berikut:
The receiving state should have right to enter the premisess to aprehend its nationals who are fugitives from local justice and have taken shelter there in
Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima harus memiliki hak untuk memasuki gedung perwakilan untuk menahan berdasarkan hukum nasionalnya terhadap buronan yang berasal dari peradilan setempat dan mengambil orang yang berlindung di dalamnya. Sebaliknya apabila kejahatan dilakukan di dalam kantor perwakilan atau tempat kediaman wakil diplomatik, maka penjahat tersebut diserahkan kepada badan-badan pemerintah setempat yang berwenang. Hal ini diatur dalam Pan America Convention on Diplomatic Officer, yang diselenggarakan di Havana pada tanggal 20 Februari 1928, Pasal 17 ditetapkan sebagai berikut:
Diplomatic officer are obliged to deliver to the competent local ordinance outhority that’s request it any person accused or condemned for ordinary crimes, who may come taken refuge in the mission

Adapun yang dimaksud adalah, pejabat dilomatik diwajibkan untuk menyerahkan kepada pejabat setempat yang berwenang atas orang-orang yang dipersalahkan atau dihukum atas kejahatan kriminil biasa, yang dilakukan di dalam gedung perwakilan

Kasus lain menggambarkan tentang dipakainya gedung perwakilan diplomatik sebagai tempat yang tidak sesuai dengan tugas dari perwakilan. Kasus tersebut adalah kasus Kedutaan Besar irak di Islamabad, yang terjadi dalam bulan Februari 1973. Kejadian ini bermula ketika sebuah peti kemas yang dilamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat bea cukai Pakistan bahwa sebernarnya peti kemas tersebut berisi denjata yang jumlahnya cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan meminta kepada duta besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan. Pemerintah Pakistan memberitahukan kepada Duta Besar Irak hal itu telah terbukti bahwa senjata-senjata yang diimpor dengan menggunakan kekebalan dan keistimewaan diplomatik ke Pakistan ternyata telah disimpan di Kedutaan Besar Irak dan karena itu Pemerintah Pakistan minta izin untuk memeriksanya. Walaupun Duta Besar Irak menolaknya, polisi Pakistan telah diberikan perintah untuk tetap memeriksanya dengan kehadiran duta besar dan memang benar ditemukan senjata-senjata tersebut di gudang, Oleh karena itu Pemerintah Pakistan mengajukan protes terhadap Pemerintah Irak, dan menyatakan Persona non grata terhadap duta besar Irak.
Berdasarkan kasus tersebut Pemerintah Pakistan telah melakukan beberapa tindakan. Pertama, Pemerintah Pakistan masuk secara paksa ke dalam kantor Kedutaan Irak. Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana.

[+/-] NEXT...

Hukum Internasional dan Hukum Dunia

Hukum internasional didasarkan pada pemikiran:
a. Masyarakat Internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain(Multi State System)
b. Tidak ada suatu badan yang berdiri daitas suatu negara, baik dalam bentuk negara (world State) maupun badan supranasional yang lain.
a. Merupakan suatu tertib hukum koordinasi koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama.

Hukum dunia berpangkal kepada pemikiran yang lain:
a. Banyak dianalogikan dengan hukum tatanegara, hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini.
b. Negara dunia secara herarki berdiri diatas negara-negara nasional.
c. Hukum dunia merupakan suatu tertib hukum sub-ordinasi.

Kita memilih konsep hukum internasional karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan sekarang ini.

[+/-] NEXT...

Subjek-Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Subjek hukum internasional tersebut adalah:
1. Negara
Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan hingga sekarangpun masih ada anggapan bahwa hukum internasional itu merupakan hukum antar negara.
2. Tahta Suci Vatikan
Tahta suci Vatikan merupakan salah satu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dulu di samping negara. Hal ini merupakan peninggalan (atau kelanjutan) sejarah jaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala geraja Roma tetapi memiliki juga kekuasaan duniawi. Tahta suci merupakan salah satu subjek hukum internasional yang sejajar kedudukannya dengan negara. Sebagai salah satu contoh lainnya dapat disebut suatu entitas yang bernama 'Order of the Knights of Malta" Entitas ini hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum internasional.

3. Palang Merah Internasional
Organisasi ini sebagai salah satu subjek hukum internasional (Yang terbatas) lahir karena sejarah namun kedudukannya diperkua dalam perjanjian. Sekarang palang merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional tersendiri walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.
4. Oraganisasi Internasional
Organisasi internsional
Organisasi Internasonal seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan anggaran dasarnya.
5. Individu
Individu sudah lama menjadi sumber hukum internasional, yang antara lain terdapat dalam:
a. Perjanjian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri perang dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, yang didalamnya terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara ke Mahkamah Arbitrase Internasional.
b. Perjanjian antara Jerman dan Polandia tahun 1922 mengenai Upper Silesia.
c. Keputusan mahkamah internasional permanen dalam perkara yang menyangkut pegawai kerata api Danzig.
d. Keputusan organisasi regional dan transnasional seperti PBB, ILO, Masyarakat Eropa, dan lain-lain.
Berdasorkan peradilan Nurenberg dan Tokyo (1946), individu dapat dianggap langsung bertanggungjawab sebagai individu bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia tidak dapat berlindung lagi dibelakang negaranya. Azas hukum ini kemudian kemudian dituabgkan dalam "UN Draft Code Of Offences Against Tha Peace and Security of Mindkind" yang disusun oleh International Law Commission. Perkembangan untuk meletakan tanggung jawab langsung atas pelanggaran hukum internasional sikukuhkan dalam Genocide Convention (Konvensi tentang pembunuhan masal manusia) yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam Konvensi ini, individu-individu yang telah terbukti melakukan GEnocide harus dihukum, terlepas dia melakuakn hal tersebut sebagai individu, pejabat pemerintah, pemimpin pemerintah, atau negara.
6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (Belligerent) menuru hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dengan syarat dan keadaan tertentu.

[+/-] NEXT...

Jumat, 26 Februari 2010

Pelanggaran terhadap Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961

Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961 memberikan kewajiban khusus kepada negara penerima untuk mengambil semua tindakan yang patut untuk melindungi wisma-wisma perwakilan dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya.
Hukum diplomatik mengenal adanya prinsip ex gratia, yaitu suatu asas yang dipakai oleh negara penerima dalam menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan kerusakan gedung perwakilan asing termasuk mobil-mobil dan harta milik lainnya yaitu dengan memberikan kompensasi baik berupa penggantian maupun perbaikan terhadap kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian negara penerima dalam memberikan perlindungan dan pencegahan.

Menurut praktik-praktik yang ada selama ini, kompensasi atas dasar ex gratia bukan saja diberikan atas gangguan secara langsung tetapi juga yang terjadi sebagai akibat gangguan lain yang tidak disengaja. Contohnya dalam kasus yang terjadi pada kantor Komisariat Agung Nigeria di London, Inggris yang menderita kerusakan akibat ledakan bom pada bulan Maret 1973. Serangan bom tersebut ditujukan bukan kepada kantor Komisariat Agung Nigeria, tetapi kantor tersebut juga mengalami kerusakan. Sehingga dalam hal ini Pemerintah Inggris tetap memberikan penggantian sepenuhnya terhadap kerusakan tersebut.
Kasus lain yaitu kasus unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Canberra, Australia pada tahun 1992. Suatu kelompok orang Timor-Timur yang sudah lama bermukim di Australia yang berjumlah sekitar 100 orang telah mengadakan unjuk rasa di depan KBRI di Canberra pada tanggal 2 Januari 1992 sebagai rentetan aksi terjadinya insiden Dili 12 November 1991. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dalam unjuk rasa tersebut adalah didirikannya tenda-tenda, pemasangan plakat-plakat dan lentera pemasangan salib-salib sejumlah 102 buah di depan KBRI yang seakan-akan melambangkan jumlah korban penembakan yang terjadi di Dili. Kelompok pengunjuk rasa tersebut membentuk semacam penjagaan secara bergantian di tenda yang berada di luar gedung KBRI untuk selama beberapa waktu lamanya. Mereka juga mempertontonkan spanduk-spanduk yang bernada anti Indonesia dan meneriakan yel-yel yang menyerang Pemerintah Indonesia serta kegiatan lainnya, seperti pembakaran dua bendera merah putih yang dibawa mereka di depan gedung KBRI.
Dengan adanya unjuk rasa tersebut Pemerintah RI telah mengajukan protes dan meminta dan meminta agar Pemerintah Australia mencabut salib-salib, termasuk plakat-plakat, tenda-tenda dan kegiatan lainnya yang mengganggu dan menurunkan harkat martabat misi perwakilan RI, karena hal itu bertentangan dengan Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961. Berdasarkan peristiwa ini Menteri Luar Negeri Australia menyampaikan surat kepada Kedutaan Besar RI di Canberrra dan menyatakan penyesalan atas terjadinya unjuk rasa tersebut, dan berjanji bahwa Pemerintah Australia akan mengambil langkah-langkah seperlunya guna memberikan perlindungan terhadap misi perwakilan RI.
Tindakan yang kemudian dilakukan Pemerintah Australia dalam mengatasi pelanggaran tersebut adalah pada tanggal 16 Januari 1992 telah mengeluarkan sertifikat yang menyatakan bahwa pemindahan salib-salib yang berada dalam kedekatan atau kejarakan 50m dari batas gedung KBRI di Canberra merupakan langkah yang layak sesuai dengan Pasal 22 dan 29 Konvensi Wina 1961. Pada hari itu juga sertifikat disahkan, dan Pemerintah Federal memberikan kuasa kepada kepolisian untuk memindahkan salib-salib tersebut.
Pada tanggal 22 Maret 1992 terjadi lagi unjuk rasa dari 40 orang Timor-Timur di depan KBRI di Canberra yang menyatakan protes dengan tindakan Indonesia tersebut da kemudian bubar dengan tenang. Pada tanggal 5 April 1992 terjadi kembali unjuk rasa dari orang–orang Australia yang berjumlah 25 orang di depan KBRI di Canberra yang juga telah meneriakan yel-yel yang bernada anti Indonesia, tetapi polisi datang tepat pada waktunya dan suasana akhirnya dapat dikendalikan. Pada tanggal 17 April 1992 terjadi unjuk rasa kembali yang diikuti oleh 90 orang, 60 orang diantaranya berasal dari Timor-Timur dan 30 orang lainnya adalah orang-orang Australia dengan menancapkan kembali tanda-tanda salib yang berjumlah 125 buah. Di samping itu, pengunjuk rasa juga memampangkan satu plakat dari logam yang bertuliskan “In memory of the brave young men and women who die for the liberation of their country, East timor, on November 1991, at Santa Cruz Cemetery”. Pemerintah Australia segera mengirimkan empat orang polisi pengaman dalam rangka melindungi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan telah mengadakan penjagaan terus-menerus selama 24 jam. Atas kejadian ini, Kuasa Usaha ad Interim Kedutaan Besar RI di Canberra menyatakan protes dan ketidak senangannya atas pemasangan kembali tanda-tanda salib dan kegiatan-kegiatan lainnya di luar gedung KBRI karena hal itu sangat mengganggu ketenangan dan menurunkan kehormatan misi perwakilan RI. Atas terjadinya hal tersebut Pemerintah Australia melakukan upaya-upaya pembenahan dan langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut. Akhirnya pada tanggal 3 Mei 1992 polisi federal Australia telah mengangkat salib-salib dan lentera-lentera di depan KBRI di Canberra.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah sebagai pemenuhan atas kewajiban negara penerima dalam melindungi perwakilan-perwakilan asing, dalam hal ini adalah perwakilan diplomatik Indonesia sesuai Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961.

[+/-] NEXT...

Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik

Perlindungan terhadap gedung perwakilan asing yang diberikan di negara penerima dapat dilakukan dalam dua hal, yaitu perlindungan di lingkungan gedung perwakilan asing (Interna Rationae) dan perlindungan di luar lingkungan gedung perwakilan asing (Externa Rationae).
Pasal 22 Konvensi Wina mengatur tentang tidak diganggu gugatnya kantor perwakilan diplomatik dan kewajiban negara untuk melindungi kantor tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya, serta kekebalan dari penggeledahan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan. Sedangkan Pasal 41 ayat 3 mengatur bahwa kantor perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Wina 1961.

Apabila dilihat dari pengertian kedua pasal tersebut, dan peristiwa-peristiwa pelanggaran terhadap gedung diplomatik yang terjadi di beberapa negara adalah:
a. Pelanggaran terhadap Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan gangguan ketenangan atau kerusakan gedung perwakilan serta pelanggaran-pelanggaran yang menurunkan martabat suatu negara.
b. Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, yaitu penggunaan gedung perwakilan untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961.
 

Secara terperinci, pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas akan dituliskan pada Posting berikutnya.

[+/-] NEXT...

Peserta-Peserta Perjanjian Internasional

Pada umumnya hanya negara-negara yang memenuhi syarat ketetatanegaraan menurut hukum internasional dan Organisasi Internasional yang dapat menjadi peserta Perjanjian Internasional.

Pengecualian dari kaidah umum tersebut adalah:
a. Perjanjian internasional denga nama para pesertanya bertujuan untuk memberikan hak kepada negara-negara ketiga, dengan pernyataan tegas atau dengan anggapan adanya persetujuan, seperti perjanjian yang mengatur penyelesaian internasional.

b. Perjanjian multilateral yang menyatakan berlakunya hukum kebiasaan internasional jelas akan berlaku terhadap yang bukan peserta, tetapi keadaan yang sebenarnya adalah bahwa pihak ketiga bukan peserta itu bukan terikat oleh perjanjian melainkan oleh kaidah-kaidah umum kebiasaan tersebut, meskipun rumusan dalam perjanjian itu justru punya arti penting.
c. Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah-kaidah hukum internasional baru dapat mengikat pihak-pihak bukan pesertadengan cara yang sama dengan kaidah hukum internasional.
d. Beberapa Knvensi Multilateral tertentu yang dimaksudkan untuk berlaku secara universal dapat menentukan dalam isinya untuk memberlakukannya kepada pihak-pihak yang bukan peserta.
e. Pasal 35 Konvensi Wina menyatakan bahwa suatu kewajiban timbul terhadap negara ketiga dari suatu ketentuan, apabila peserta-peserta perjanjian menghendaki ketentuan tersebut dipakai sebagai sarana menerapkan kewajiban dan negara ketiga menerima kewajiban itu secara tertulis

[+/-] NEXT...

Kamis, 25 Februari 2010

Sejarah dan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Menyadari besarnya penderitaan manusia yang disebabkan oleh perang yang terus-menerus, dan mengharapkan adanya perdamaian yang stabil, Amerika Serikat melalui pemerintahannya pada Tahun 1945 memprakarsai sebuah konferensi internasional untuk mendirikan sebuah organisasi dunia baru. Konferensi PBB mengenai mengenai organisasi internasional bersidang di San Francisco pada 25 April 1945 dan menyelesaikan pekerjaan dengan disusunnya Piagam dan Anggaran Dasar Mahkamah Internasional pada 26 Juni 1945. Dokumen ini dan tujuan yang tercantum di dalamnya merupakan salah satu tantangan terbesar yang pernah dihadapkan manusia.

Negara-negara yang tergabung di PBB telah menyetujui tiga tujuan pokok. Pertama, organisasi itu diabdikan untuk membangun keadaan yang memungkinkan hubungan erat dan damai diantara bangsa-bangsa. Kedua, PBB berusaha menciptakan sistem kerja sama formal untuk memecahkan ketegangan ketegangan internasional. Ketiga, PBB diabdikan untuk melembagakan program keamanan bersama di mana telah ditentukan behwa semua anggota harus membantu anggota yang menjadi korban agresi.

Berkaitan dengan hal ini. Muncul pertanyaan, bagaimana peran PBB berdasarkan tujuannya tersebut diatas terhadap korban agresi Israel di Palestina? Sedangkan Israel berkali-kali tidak menghiraukan Resolusi Dewan Keamanan PBB.

[+/-] NEXT...

Rabu, 24 Februari 2010

Cara-Cara Memperoleh Kewarganegaraan

Praktek negara-negara memperlihatkan bahwa kewarganegaraan dapat diperoleh dengan cara-cara pokok berikut ini:
1. Melalui kelahiran baik menurut azas jus soli (tempat kelahiran) ataupun azas jus sanguinis (nasionalitas orang tua pada saat kelahiran) atau menurut keduanya.
2. Melalui naturalisasi (pewarganegaraan), baik dengan cara perkawinan, seperti pada saat seorang isteri memperoleh kewarganegaraan suaminya, atau dengan legitimasi, ata melalui pemberian kewarganegaraan, atas dasar permohonan kepada pihak berwenang dari negara.

3. Para penduduk dari wilayah yang ditaklukan atau yang diserahkan dapat memperoleh nasionalitas dari negara yang menaklukannya, atau negara yang diserahi wilayah tersebut.

[+/-] NEXT...

Minggu, 21 Februari 2010

Pengartian Ras, Bangsa, dan Warga Negara

Ras adalah sekumpulan manusaia yang tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Bangsa dapat merupakan suatu kumpulan penduduk dari suatu negara yang bersatu (dipersatukan) dibawah suatu pemerintah yang merdeka. Dalam artian ini kata "bangsa" (nation) adalah sinonim dari kata negara (state).

Tetapi, suatu bangsa (nation) dapat juga merupakan "setiap kumpulan rakyat (people) yang mempunyai lembaga-lembaga dan adat istiadat yang sama, homogenitas (persamaan) sosial dan kepentingan bersama". Jadi menurut artian ini, beberapa bangsa dapat hidup dalam suatu negara, atau suatu bangsa dapat meluas melampaui batas-batas suatu negara (hidup atau tinggal di beberapa negara). Bangsa dalam arti yang tepat (strict) adalah suatu istilah sosio kultural dan dapat dipergunakan tanpa hubungan atau digabungkan dengan arti hukum atau arti politik.

Nasionalitas (nationality)sering merupakan satu-satunya hubungan antara satu individu dan satu negara, yang menjamin diberlakukannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional kepada individu tersebut. Nasionalitas dapat didefinisikan kepada suatu hukum keanggotaan kolektifitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya, dan kebijaksanaanya dijamin melalui konsep hukum negara yang mewakili individu tersebut. Salah satu dari pernyataan deskriptif yang tepat mengenai status tersebut adalah bagaimana dinyatkan dalam keputusan British-Mexican Claims Commission dalam perkara Re Lynch " Nasionalitas seseorang merupakan suatu keadaan yang terus-menerus dan bukan merupakan fakta fisik yang terjadi pada suatu peristiwa tertentu. Nasionalitas seseorang adalah suatu hubungan yang terus menerus antara negara yang berdaulat di satu pihak dan warga negara di pihak lain. Landasan pokok nasionalitas seseorang adalah keanggotaanya pada suatu masyarakat politik yang independen. Hubungan hukum ini meliputi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait dengan kedua belah pihak, di pihak warga negara juga tidak kurang dari pihak negara itu".

Sebagian besar kaidah mengenai mengenai nasionalitas semata-mata hanya berkenaan dengan hukum nasional. Telah lama diakui bahwa, adalah menjadi hak prerogatif setiap negara untuk "menentukan sendiri dan menurut kanstitusi serta undang-undangnya, kelompok orang yang begaimana yang akan menjadi warga negaranya". Berdasarkan perubahan-perubahan di tahun 1948 terhadap peraturan perundang-undangan setiap anggota persemakmuran Inggris, hukum mengenai nasionalitas Inggris telah mengalami revisi.

Setiap negara anggota mempunya "warga negara" nya sendiri (yaitu bangsanya), tetapi sebagai tambahannya terdapat status "kaula" Inggris yang menunjukan keanggotaannya pada persemakmuran ini yang terdiri dari privilege-privilege tertentu. Memang beragam kaidah yang berbedabeda mengenai nasionalitas dijumpai dalam perundang-undangan negara, kurangnya keseragaman ini sebagian besar terlihat nyata dalam perbedaan berkenaan perolehan nasionalitas yang asli. Nasionalitas harus dibedakan dari yang berikut ini:

a. Ras

b. keanggotan atau kewarganegaraan dari negara bagian atau dari privinsi-provinsi suatu federasi

c. hak untuk perlindungan diplomatik

d. Hak-hak keraganegaraan, yang dapat dihapuskan dari orang yang menjadi warga negara.

[+/-] NEXT...

Senin, 15 Februari 2010

Pelanggaran yang dilakukan terhadap pejabat dan staf diplomatik


Pelanggaran yang dilakukan terhadap pejabat, staf diplomatik atau keluarga perwakilan diplomatik di negara penerima

Pasal 29 Konvensi Wina mengatur bahwa pejabat diplomatik tidak dapat diganggu gugat. Ia tidak dapat ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk untuk mencegah atas serangan diri, kemerdekaan dan martabatnya. Hak kekebalan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina juga dinikmati oleh anggota keluarga dan anggota-anggota lain sebagaimana diatur dalam Pasal 37 konvensi Wina.
Pejabat diplomatik suatu negara memiliki kebebasan bergerak di wilayah negara penerima, kecuali dalam daerah tertentu di mana undang-undang atau peraturan negara melarang atau diatur demi keamanan negara tersebut.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap kekebalan para pejabat diplomatik suatu negara di negara penerima akan menimbulkan tanggung jawab terhadap negara penerima tersebut. Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan berkewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan. Pertanggungjawaban negara muncul biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran terhadap perjanjian internasional, melanggar kedaulatan, menciderai perwakilan diplomatik negara lain, atau memperlakukan warga negara asing secara semena-mena. Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar dari kerugian yang telah ditimbulkan.
Apabila dilihat dari pengertian Pasal 29 Konvensi Wina 1961 maka pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat terjadi antara lain karena: penagkapan atau penahanan pejabat diplomatik, tidak diperlakukannya pejabat diplomatik dengan hormat, tidak diambilnya langkah-langkah yang layak oleh negara penerima untuk mencegah serangan terhadap diri, kemeredekaan dan martabat pejabat diplomatik ataupun anggota perwakilan lain yang menikmati kekebalan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Konvensi wina tersebut.
Pemulihan atas pelanggaran seperti ini dapat selesaikan dengan dua hal, yaitu dengan satisfaction dan pecuniary reparation. Sedangkan suatu negara dapat saja melakukan pelanggaran perjanjian yang dibuat dengan negara lain. Hal ini menimbulkan kewajiban untuk membayar ganti rugi. Sifat dan besarnya ganti rugi untuk pelanggaran perjanjian internasional ditentukan oleh Perundingan, pengadilan arbitrase, atau Mahkamah Internasional. Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran semacam ini merupakan kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut dapat mengurangi kepercayaan negara-negara kepada negara yang melalaikan perjanjian tersebut, terutama dalam hal mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran semacam ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip Pacta Sunt Servanda.
Pemerintah Malaysia pernah melakukan pemulihan atas pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik Indonesia dengan cara satisfaction, yaitu sehubungan dengan penangkapan Nuslihanah (istri Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia) oleh Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA). Penangkapan tersebut terjadi di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Chowkit, Malaysia. Menurut Nuslihanah, Anggota RELA memeriksanya di tempat yang tidak jauh dari tempat ia ditangkap, dan anggota RELA memperlakukan istri diplomat ini dengan tidak layak. Nuslihanah diperlakukan layaknya pendatang ilegal. Sebagai istri seorang diplomat, Nuslihanah menunjukan kartu diplomat pada waktu pemeriksaan berlangsung, hal ini seharusnya bisa membuat para anggota RELA mengerti bahwa Nuslihanah tidak dapat dikenai penangkapan, tetapi anggota Rela justru menyiram kartu tersebut dengan air, dengan alasan untuk memeriksa keasliannya. Ditempat tersebut Nuslihanah disuruh jongkok bersama beberapa orang lainnya yang juga ikut ditangkap dan terbukti tidak mengantongi izin tinggal yang sah di negara itu.
Kejadian tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 29 Konvensi Wina. Oleh karena itu Pemerintah Malaysia secara hukum internasional memiliki kewajiban atas pemulihan pelanggaran tersebut. Sebagaimana dikenal bentuk pemulihan atas pelanggaran ada dua bentuk yaitu satisfaction dan pecuniary reparation, dan dalam kasus tersebut Pemerintah Malaysia telah menerapkan pemulihan pelanggaran dalam bentuk satisfaction, yaitu dilakukannya permintaaan maaf secara resmi oleh Pemerintah Malysia melalui duta besarnya di Jakarta dan memberikan klarifikasi bahwa peristiwa tersebut terjadi karena kurang pahamnya polisi dan anggota RELA mengenai identitas diplomatik.

[+/-] NEXT...

Pelanggaran yang dilakukan pejabat dan staf diplomatik

Seperti yang telah saya janjikan, di posting ini akan dijelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung perwakilan diplomatik berdasarkan hukum internasional dan praktik-praktik yang telah diterapkan oleh beberapa negara di dunia.

Pelanggaran yang dilakukan pejabat, staf diplomatik atau anggota lain yang menikmati kekebalan sebagaimana diatur Pasal 29 Konvensi Wina 1961.

Tugas perwakilan diplomatik yang dikirimkan oleh suatu negara ke negara lain, adalah bertugas untuk mewakili negara pengirim di negara penerima, melindungi negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional, melakukan perundingan dengan negara penerima, memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan di negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim, meningkatkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efektif, para pejabat diplomatik tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik.

Pemberian hak dan kekebalan diplomatik didasarkan atas asas timbal balik antar negara dan mutlak diperlukan dalam rangka mengembangkan permasalahan antar negara tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka yang berbeda. Di samping itu, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan itu bukanlah untuk kepentingan perseorangan melainkan guna menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama juga dari negara yang diwakilinya. Hak istimewa dan kekebalan diplomatik itu dinikmati tidak saja oleh kepala-kepala perwakilan termasuk staf perwakilan lainnya, tetapi juga para anggota keluarganya yang tinggal bersama mereka.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat diplomatik, staf diplomatik dan anggota lainnya yang menikmati fasilitas tersebut tentunya akan menimbulkan kerugian terhadap negara penerima. Oleh karena itu di sini akan berlaku ketentuan kewajiban yang diatur dari traktat atau perjanjian tersebut dan pertanggungjawaban negara yang menentukan apa konsekuensi hukum bagi pelanggarannya, termasuk kadar sanksi yang dijatuhkan.
Beberapa ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai penyelesaian oleh negara penerima dalam hal menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik tersebut, antara lain:
1. Persona non Grata, dan penarikan kembali oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1961.
2. Penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina.
Sedangkan apabila dikaji berdasarkan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi selama 20 tahun terakhir, menunjukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat diplomatik, sehingga mereka dipulangkan ke negaranya, dinyatakan sebagai persona non grata atau diadili di negara penerima setelah ada kesediaan dari negara pengirim untuk menanggalkan kekebalan dan keistimewaan diplomatik dari pejabat diplomatik tersebut.
Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima adalah dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Perbuatan-perbuatan tersebut adalah:
1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima.
2. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima.
3. Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap mengganggu baik stabilitas maupun keamanan internasional negara penerima.

Sedangkan C.S.T., Kansil menambahkan bahwa alasan lain yang mungkin bagi diplomat untuk di persona non grata adalah tindakan pembalasan terhadap negara yang telah menyatakan persona non grata terhadap pejabat diplomatiknya, tetapi tindakan yang demikian adalah berlawanan dengan jiwa hubungan internasional dan hendaknya menjadi suatu pengecualian. Walaupun begitu kenyataannya hal ini pernah dipraktikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada awal bulan Maret sampai dengan akhir bulan Oktober 1986 dengan melakukan tindakan saling pengusiran antara diplomat Uni Soviet dengan diplomat Amerika Serikat dengan tuduhan mata-mata dan kegiatan intelejen.
Penyelesaian pelanggaran terhadap Konvensi Wina 1961 yang dilakukan pejabat diplomatik, terutama yang berkaitan dengan tindakan yang bersifat politis dan subversif pernah dilakukan oleh Pemerintah Mesir pada bulan Juni 1976. Pemerintah Mesir mengeluarkan deklarasi persona non grata terhadap Duta Besar Libya yang ditempatkan di Mesir. Duta Besar Libya tersebut tertangkap oleh Dinas Keamanan Mesir telah membagi-bagikan selebaran-selebaran yang bersifat permusuhan terhadap Pemerintah Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat. Hal serupa juga dipraktikan oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap staf diplomatik Jerman yang ditempatkan di Kedutaan Besar Jerman di Washington pada tanggal 1915, karena melakukan tindakan yang bersifat subversif.
Penyelesaian pelanggaran Konvensi Wina yang dilakukan pejabat diplomatik atas perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan nasional negara penerima pernah dilakukan oleh Pemerintah Inggris pada tanggal 24 februari 1985. Kasus bermula ketika polisi menangkap seseorang yang memiliki dua kilogram heroin yang di diperoleh dari sebuah rumah di London. Ketika dilakukan penelitian dan pemeriksaan, pemilik rumah tersebut melakukan penyangkalan. Seperempat jam kemudian, penghuni rumah tersebut menuntut hak kekebalannya sebagai Sekretaris III dari kedutaan Zambia dan minta agar polisi tersebut meninggalkan rumahnya. Pada waktu polisi memeriksa kartu identitas yang dimilikinya dan ternyata benar, kemudian polisi menghentikan pemeriksaan dan pergi. Kedutaan Zambia keesokan harinya mengajukan protes kepada Kementerian Luar Negeri Inggris, dan Kementerian Luar Negeri Inggris pun meminta maaf dan polisi menghentikan pemeriksaan segera setelah orang tersebut ternyata memang menikmati fasilitas kekebalan diplomatik. Namun berdasarkan adanya dakwaan yang kuat bahwa obat-obatan terlarang tersebut datangnya melalui kantong diplomatik, karena itu Kementerian Luar Negeri Inggris menghubungi Duta Besar Zambia dan meminta agar kekebalan Sekretaris III itu ditanggalkan. Duta besar Zambia kemudian melakukan upaya konsultasi dengan Presiden Kaunda yang kemudian dengan cepat dan tanggap memerintahkan penanggalan kekebalan Sekretaris III tersebut yang mengakibatkan tindakan penangkapan kepadanya oleh polisi setempat, dan atas izin yang diberikan oleh Pemerintah Zambia melalui Presiden Kaunda, akhirnya Sekretaris III kedutaan Besar Zambia tersebut diadili di Inggris.
Pemerintah Inggris memiliki kewenangan untuk mengadili Sekretaris III kedutaan besar Zambia adalah atas dasar adanya penanggalan kekebalan yang dilakukan melalui keputusan Presiden Kaunda yang disampaikan melalui surat kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Surat tersebut berbunyi:
Diplomatic Imunity was never intended to prevent investigation of serious crime. I my self have a horror of all addictive drugs. It destroys human beings…I feel I am acting to protect my people and also the people of Britain and indeed of the whole world.
When the request for the waiver of immunity reached me. I did not hestitate for a second. It was, I am told, an almost unprecendented action. But in this fight we all must wage againt this teriffiying menace, I am convinced that I am right

Adapun yang disampaikan Presiden Kaunda adalah, kekebalan diplomatik adalah tidak pernah diperuntukan untuk mencegah penyelidikan dari kejahatan serius. Saya sendiri takut akan semua jenis obat-obatan terlarang. Obat tersebut merusak manusia. Saya pikir, saya harus melindungi rakyat saya dan orang-orang Inggris dan juga semua orang di dunia. Ketika permintaan untuk melepaskan kekebalan diplomatik sampai kepada Saya. Saya tidak ragu sedikit pun. Itu merupakan, perkataan Saya, suatu keputusan yang tidak diperkirakan. Tetapi dalam berjuang melawan ancaman hebat ini, Saya yakin bahwa saya adalah benar.

Dapat diadilinya pejabat diplomatik suatu negara pengirim di negara penerima dapat dilakukan karena faktor dilepaskannya kekebalan diplomatik oleh negara pengirim dan adanya keterangan dari pemerintah negara pengirim yang memperbolehkan hal tersebut. Pernyataan penanggalan kekebalan tersebut harus dilakukan dengan jelas dan meyakinkan kesungguhan dari negara pengirim. Apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh seorang staf perwakilan diplomatik, maka penanggalan kekebalan dapat dilakukan hanya berdasarkan pernyataan dari duta besar, karena pada dasarnya duta besar adalah wakil dari negara pengirim.

[+/-] NEXT...

Jumat, 12 Februari 2010

Hubungan Diplomatik Menurut Hukum Internasional

Perkembangan masyarakat internasional yang demikian pesat memberikan suatu dimensi baru dalam hubungan internasional. Hukum internasional telah memberikan suatu pedoman pelaksanaan yang berupa konvensi-konvensi internasional dalam pelaksanaan hubungan ini. Ketentuan-ketentuan dari konvensi ini kemudian menjadi dasar bagi negara-negara dalam melaksanakan hubungannya dengan negara lainnya di dunia.
Awalnya pelaksanaan hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara, prinsip kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan suatu kebiasaan yang diterima umum sebagai hukum oleh masyarakat internasional.

Dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara, maka dirasakan perlu untuk membuat suatu peraturan yang dapat mengakomodasi semua kepentingan negara-negara tersebut hingga akhirnya Komisi Hukum Internasional (International Law Comission) menyusun suatu rancangan konvensi internasional yang merupakan suatu wujud dari kebiasaan-kebiasaan internasional di bidang hukum diplomatik yang kemudian dikenal dengan Viena Convention on Diplomatic Relation 1961 (Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik). Konvensi Wina 1961 adalah sebagai pengakuan oleh semua negara-negara akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu.
Konvensi Wina 1961 telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang menyangkut kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua negara. Konvensi Wina 1961 membawa pengaruh sangat besar dalam perkembangan hukum diplomatik. Hampir semua negara yang mengadakan hubungan diplomatik menggunakan ketentuan dalam konvensi ini sebagai landasan hukum pelaksanaannya.
Agar suatu konvensi dapat mengikat negara tersebut maka tiap negara haruslah menjadi pihak dalam konvensi. Adapun kesepakatan untuk mengikatkan diri pada konvensi merupakan tindak lanjut negara-negara setelah diselesaikan suatu perundingan untuk membentuk perjanjian internasional. Tindakan-tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara, kewajiban tersebut antara lain adalah kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan maksud dan tujuan konvensi. Akibat dari pengikatan diri ini adalah negara-negara yang menjadi peserta harus tunduk pada peraturan-peraturan yang terdapat dalam konvensi baik secara keseluruhan atau sebagaian.
Akibat dari adanya perbedaan-perbedaan pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian internasional oleh dua negara akan menimbulkan sengketa. Berdasarkan kajian historis diplomasi, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan atau reaksi yang dilakukan suatu negara kepada negara lain jika suatu sengketa terjadi. Di antaranya adalah surat protes, denials/accusation (tuduhan/penyangkalan), pemanggilan dubes untuk konsultasi, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antar warganegara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas (limited use of force) dan pencetusan perang. Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. Untuk sampai kepada tingkat ketegangan berupa pemutusan hubungan diplomatik, apalagi perang, perlu ditakar terlebih dahulu derajat urgensinya sebelum pengambilan keputusan yang bersifat drastis tersebut. Perang adalah kebijakan paling ekstrim yang dapat saja terjadi, namun tidak terjadi dengan begitu saja. Dalam teori diplomasi klasik kerap disebut bahwa perang terjadi jika diplomasi telah gagal. Pada praktek politik kontemporer, perang dan diplomasi dapat saja berjalan bersamaan. Namun demikian pencetusan perang tetap merupakan keputusan besar dengan biaya yang sangat mahal, baik secara ekonomis, politis bahkan pengorbanan darah/nyawa. Oleh sebab itu, pencetusannya tidak cukup hanya karena pertimbangan emosional.
Perkembangan dunia yang terdiri dari berbagai negara berdaulat ini, terdapat dua faktor yang paling penting dalam pemeliharaan perdamaian, yaitu hukum internasional dan diplomasi. Hukum internasional memberikan tatanan bagi dunia yang bagaimanapun anarkis, bagi pemeliharaaan perdamaian. Diplomasi mempunyai peran yang sangat beragam dalam hubungan internasional. Upaya manusia untuk memecahkan persoalan perang dan damai telah dianggap sebagai metode manusia yang paling tua. Diplomasi, dengan penerapan metode negosiasi, persuasi, tukar pikiran, dan sebagainya dalam menjalankan hubungan antara masyarakat yang terorganisasi mengurangi kemungkinan penggunaan kekuatan yang sering tersembunyi di belakangya. Pentingnya diplomasi sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional telah sangat meningkat dalam dunia modern ini. Seperti dinyatakan oleh Morgenthau, suatu pra-kondisi bagi penciptaan dunia yang damai adalah berkembangnya konsesus internasional baru memungkinkan diplomasi mendukung perdamaian melalui penyesuaian (peace trough accomodation). 

Berdasarkan kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dalam kurun waktu 1961 sampai sekarang adalah banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dan juga pelanggaran gedung perwakilan diplomatik. Oleh karena itu di posting berikutnya akan dijelaskan bagaimana mekanisme penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut berdasarkan hukum internasional dan praktik-praktik yang telah diterapkan oleh beberapa negara di dunia.  

[+/-] NEXT...

Rabu, 10 Februari 2010

GENERAL PRINCIPLES OF INSURANCE LAW

Apart from the principles governing all contracts insurance is also governed by its own unique principles.

INDEMNITY
• Is perhaps the most fundamental principle of insurance law. Object of indemnity is to place the insured after the loss in the same position he occupied immediately before the loss. He is not to be placed in a better or worse position.
• Not all insurance contracts are contracts of indemnity e.g. life insurance. Indemnity is important as it deals in part with moral hazard.
• Indemnity does not imply that the insured will be indemnified to the full value of his loss e.g. a person whose factory is destroyed by fire cannot recover for loss of profits or against any liability that may arise from the fire unless he has appropriate policies in place specifically designed to deal with these losses.
• Indemnity can be achieved through the following methods:
1. Cash
2. Reinstatement e.g. where a building is destroyed, insurers may reinstate it.
3. Repair e.g. where a motor vehicle is partially damaged.
4. Replacement-instead of paying cash a replacement item may be tendered.
5. New for old-used for household contents. This is not a violation of the principle of indemnity as there is no principle of law that requires indemnity to be determined in terms of the market value of the asset.
6.Valued policies-in terms of which the insurer and the insured agree before hand on the value to be paid should a particular asset be destroyed or stolen. This method of indemnity is used for assets with a sentimental rather than a commercial value e.g. jewellery, works of art etc.
• The principle of indemnity is supported by 2 corollaries namely-subrogation and contribution.

SUBROGATION
• Literally means “to stand in place of”. It is the right of one person to stand at law in the place of another and to avail him of all rights and remedies of that other person.
• Often when a claim occurs there may be 2 avenues of recovery. Suppose A drives negligently and causes an accident damaging B’s car. If B’s car is insured 2 options are open to him to recover his loss-he can sue A in delict
• for damages or he can claim from his insurer. If B pursues both avenues he will receive double compensation.
• To prevent B from profiting from his loss subrogation is used in terms of which once the insurer has paid B the insurer assumes all B’s rights to sue A. This ensures that the principle of indemnity is preserved.
• Subrogation has a number of sub-principles namely:
• The insurer cannot be subrogated to the insured’s right of action until it has paid the insured and made good the loss.
• The insurer can be subrogated only to actions which the insured would have brought himself.
• The insurer must not prejudice the insurer’s right of subrogation. Thus the insured may not compromise or renounce any right of action he has against the 3rd party if by doing so he could diminish his loss.
• Subrogation against the insurer. Just as insured cannot profit from his loss the insurer may not make a profit from the subrogation rights. The insurer is only entitled to recover the exact amount they paid as indemnity nothing more. If they recover more the balance should be given to the insured.
• Subrogation gives the insurer the right of salvage.

CONTRIBUTION
• Is another principle that aids indemnity. Often a person has more than one policy on the same asset. Following a loss the position of the 2 policies is governed by the principle of contribution. Since indemnity forbids the insured from recovering more than the loss then he cannot recover the full value of the loss from each of the 2 policies.
• NB the law does not forbid people from engaging in double insurance it only forbids profiting from a loss.
• Under the common law a person who has double insurance can look to any of the insurers involved for compensation. The insurer who would have paid can then claim contribution from the other insurer involved.
• It was held in American Surety Co of New York v Wrightson 1910 that for contribution to apply the 2 policies involved must cover-same interests; same assureds; same adventure; same risk; different or same amounts.
• Essentially for contribution to apply the following conditions must be met:
(1) The 2 policies must cover the same insured.
(2) They must cover the same subject matter.
(3) They must cover the same interest.
(4) The peril causing the loss must be covered by both policies albeit for different amounts.
(5) Both policies must be current.
• Normally the policies contribute pro-rata to the loss. In some markets the independent liability method is used to determine the levels of contribution. Under this method if the loss is within the sums insured of both policies they contribute equally to the loss.

AVERAGE
• Average is a concept used by insurers to deal with under-insurance. Under-insurance occurs when an item is insured for less than its market value.
• In terms of the common law the general rule is that a person who under-insures his property is entitled to the full amount of his loss whether total or partial subject to the limits of the policy in the absence of any provision in the policy to the contrary e.g. if a house worth R500 000 is insured for R300000 and a loss of R100 000 occurs the insured in the absence of an average clause in the policy would be entitled to R100 000. By implication therefore average is an alien concept to the common law.
• Reduced to its logical conclusion average entails that if there is under-insurance the insured shall be his own insurer to the extent of the under-insurance. This means the insured will bear part of the loss as a penalty for underinsurance.
• Because average is not recognized by the common law its application in insurance is not automatic. Insurer would have to include the average condition in the policy for average to apply.
In marine insurance the term average has a meaning to that ascribed to it in property. insurance In marine average may mean one of 2 things:
(1) General average sacrifice
(2) General average expenditure.
• The formula for average is: Sum insured/Market value x loss sustained.
• Average only applies to contracts of indemnity hence since life insurance contracts are not contracts of indemnity all concepts derived from indemnity like subrogation, contribution and average do not apply to life policies.
The rationale behind average is that the insured should pay a premium that is commensurate with the risk he introduces to the pool to avoid prejudicing other contributors.


INSURABLE INTEREST
• Insurable interest distinguishes contracts of insurance from gambling in order to define the legitimate area of insurance business.
• Insurable interest is required for all types of insurance and its absence renders the contract void and hence unenforceable.
The leading Roman-Dutch law case on insurable interest is Littlejohn v Norwich Union Fire Insurance Society 1905 TH 374 where it was held that if the insured can show that he stands to lose something of an appreciable commercial value by the destruction of the thing insured then his interest will be an insurable one. The Court went further to state that as a general rule insurable interest should exist at the time of taking the policy and at the time the loss is incurred.
If a person has insurable interest in an asset at the time of taking the policy but loses the interest thereafter e.g. if he sells the car, the policy ceases to have any validity.
• Insurable interest can be acquired in various ways notably:
(1) Ownership
(2) Legal possession
(3) Custody of property belonging to others e.g. bailees.
(4) Marriage-spouses have an insurable interest in each other’s life.
(5) A lien-holder has insurable interest in the property subject to the lien.
(6) A debt creates insurable interest between debtor and creditor.
(7) An employer has an insurable interest in the life of an employee.
• In life insurance the general rule is that insurable interest need only exist at the time of taking the policy. Thus if A who is married to B takes a life policy on his life and they later divorce the policy will pay on B’s death even if technically insurable interest no longer exists because the parties divorced.
• As far as insurable interest of parents in the lives of their children is concerned the position in SA is largely governed by legislation.


UTMOST GOOD FAITH (UBERRIMA FIDES) AND THE DUTY OF DISCLOSURE
• Insurance contracts are characterized by information asymmetries between the parties. Generally the insured knows more about the risk to be insured than the insurer. To rectify this imbalance the law compels disclosure of information between the parties.
• To act in good faith entails that parties must deal openly and honestly with each other without suppressing material facts that may influence the judgment of the other party.
The duty to act in good faith applies to all types of insurance contracts. In contracts of sale the maxim caveat vendito applies meaning let the buyer beware. This maxim places an obligation on the buyer to take all reasonable steps to verify that the item he intends to buy meets his expectations. In insurance this maxim does not apply.
• In England the doctrine of utmost good faith is incorporated in the Marine Insurance Act 1906.
• The requirement of utmost good faith is complimented by the duty of disclosure which places an obligation on both parties to the insurance contract to disclose material facts relevant to the contract to each other.
• In England the Marine Insurance Act 1906 defines a material fact as every circumstance that would influence the judgment of a prudent insurer in fixing the premium or determine whether he will take the risk. Hence in England a material fact is defined from the perspective of a prudent insurer. This can result in a heavy burden on the insured.
• In SA Courts have accepted the need for disclosure but have rejected the definition of materiality as used in English law.
• In Mutual and Federal Insurance Co v Oudshoorn Municipality 1985 1 SA 419 the Court rejected the expression uberrima fides as being alien to our law. The Court also went further to hold that the proper test of materiality should be the standard test of a reasonable man and not that of a prudent insurer.
• Failure to disclose material facts renders the contract void-able at the instance of the insurer. Of course the insured is only expected to disclose facts that he knows or ought to know.
• In life insurance facts commonly regarded as material include-medical history; financial status; family medical history; state of health; life style etc.
• In short term insurance common material facts would include-previous convictions; financial status; whether another insurer has cancelled insured’s policy in the past.
• Some facts though material need not be disclosed. Thus the insured has no obligation to disclose the following facts:
(1) Any circumstance that diminishes the risk.
(2) Any fact known or presumed to be known by the insurer.
(3) Facts on which insurers have waived information.
• The duty of disclosure lasts for the duration of the negotiations and terminates when the contract is concluded. Material facts that come to light after the contract has been concluded are deemed to be part of the risk that the insurer would have assumed.
• Naturally in short-term contracts the duty to disclose material facts is revived at renewal of the policy. Life insurance contracts are continuing contracts hence the duty to disclose is not revived unless there is a specific duty in the policy obliging the insured to do so.
• To avoid liability on grounds of non-disclosure the onus is on the insurer to prove that:
(1) The undisclosed facts were material.
(2) That the facts were within the actual or presumed knowledge of the insured.
(3) That the facts were not communicated to the insurer.
• Upon discovering the non-disclosure the insurer must exercise the right to repudiate the contract within a reasonable time. Thus if upon discovering the non-disclosure the insurer continues to accept the premium for example, the insurer would be deemed to have waived the right to repudiate and the contract will be binding as if there was no non-disclosure.
• In summary therefore the duty of disclosure is justified on the following grounds:
(1) There is information asymmetry between the insured and the insurer. The insured knows more about the risk than the insurer hence the law must compel disclosure.
(2) Without the duty of disclosure the insurance market cannot operate efficiently such that the supply side of insurance can be disrupted.
(3) Disclosure enables the insurer to quantify and price the risk appropriately.
(4) Disclosure also enables the insurer to determine appropriate policy terms and conditions to be incorporated in the policy. It enables the insurer to determine the extent to which the risk being presented deviates from the norm.
(5) Disclosure also helps insurers manage the problem of adverse selection.
• On the other hand critics of the duty of disclosure point to the following in support of their argument:
(1) The duty is unduly burdensome on the insured depending on the test used to determine what constitutes material facts.
(2) Insurers rarely warn the insured about the consequences of non-disclosure.
(3) Given the current technological advances it is no longer true to say insurers know less about the risk than the insured. The reverse may well be true.
(4) The duty of disclosure may be abused by insurers seeking to avoid their obligations.
(5) There is an element of self-serving hypocrisy by insurers by insisting that facts that lessen the risk need not be disclosed yet these may benefit the insured by way of reduction of premium. Why are insurers only interested in the bad and not the good?

CAUSE OF LOSS-THE DOCTRINE OF PROXIMATE CAUSE.

• The general rule is that for a loss to be paid under a policy of insurance, it must have been caused by an insured peril. Unless the loss is proximately caused by an insured peril the policy does not respond.
• The proximate cause of loss is the most dominant and efficient cause in terms of bringing about a particular result.
• The onus of proving that the loss was proximately caused by an insured peril rests with the insured.
• In Etherington v Lancashire and Yorkshire Accidental Insurance Co (1909) a man fell from a horse and sustained injuries that prevented him from moving. As a result he contracted pneumonia due to lying in the wet and died. The proximate cause of his death was held to be the fall not pneumonia.
• Similarly if furniture is thrown out of a burning house to arrest the spread of the fire and its damaged in the process the proximate cause of the damage would be the fire.
• If the insured makes a prima-facie case that the loss was proximately caused by an insured peril the insurer is obliged to indemnify unless they can prove that an exception applies.

[+/-] NEXT...

Minggu, 07 Februari 2010

Penyelesaian sengketa internasional secara paksa

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :
a). Perang
Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.

b). Retorsi (Retortion)
Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.
c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)
Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.
d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
e). Intervensi (Intervention)
Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.
Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.

[+/-] NEXT...

Penyelesaian sengketa internasional secara hukum

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Pasal 33 secara khusus menyerukan organisasi dunia itu untuk membantu penyelesaian sengketa internasional melalui cara-cara damai. Baik melalui badan arbitrase maupun organ PBB sendiri yaitu Mahkamah Internasional.
1). Arbitrase internasional publik
Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal sejak lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum ada batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikannya sebagai berikut :
Arbitration is the resolution of international dispute through the submission, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceeding from which the result of definitive judgement is derived.

Sedangkan sarjana Jerman Schlochhauer, mendefinisikan arbitrase secara sempit., yaitu : Arbitration is the process of resolving disputes between states by means of an arbitral tribunal appointed by the parties. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted. Sedangkan menurut Huala Adolf, arbitrase adalah suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat.
Apabila timbul suatu sengketa di mana dua negara menghendaki untuk mengajukannya kepada arbitrase, maka akan berlaku prosedur, yaitu: setiap negara menunjuk dua orang arbitrator, salah seorang diantaranya boleh warga negaranya sendiri atau dipilih dari orang-orang yang dinominasikan negara tersebut sebagai anggota panel Mahkamah. Para arbitrator ini kemudian memilih seorang wasit yang bertindak sebagai anggota ketua dari pengadilan arbitrase tersebut. Putusan diberikan dengan suara terbanyak. Setiap pengadilan yang dibentuk dengan cara demikian akan bertindak sesuai dengan kompromis khusus atau perjanjian arbitrase, yang menentukan secara rinci pokok masalah dari sengketa itu dan waktu yang diberikan untuk mengangkat anggota-anggota pengadilan, dan menentukan jurisdiksi pengadilan. Prosedur tersebut harus ditaati dan kaidah-kaidah hukum serta prinsip-prinsip menurut mana keputusannya harus dilaksanakan.
2). Mahkamah internasional (International Court of Justice / ICJ)
ICJ dibentuk berdasarkan Bab IV (Pasal 92-96) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945. Pasal 92 Piagam PBB menyebutkan bahwa Mahkamah adalah organ utama PBB yang akan bekerja menurut Statuta, yang merupakan bagian integral dari Piagam. Sebaliknya Mahkamah terdahulu, PCIJ bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-Bangsa meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan Liga.
Mahkamah terdiri dari lima belas hakim. Hakim-hakim tersebut merupakan sebuah panel para calon anggota Mahkamah yang dinominasikan oleh kelompok nasional panel PCIJ. Majelis Umum dan Dewan Keamanan yang secara independen melakukan pemungutan suara memilih anggota-anggota Mahkamah, untuk pemilihan tersebut disyaratkan suara terbanyak mutlak baik dalam Majelis maupun Dewan.
Menurut Pasal 36 ayat (2) Statuta ICJ, jurisdiksi yang dimiliki ICJ adalah sebagai berikut :
a) The interpretation of a treaty;
b) Any question of international law;
c) The existence of any part which, if established, whould constitute a breach of an international obligation;
d) The nature or extent of the reparation to be made fof the breach of an international obligation.


Sedangkan secara umum jurisdiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi dua :
1. Jurisdiksi atas kasus yang berdasarkan atas telah terjadinya sengketa atau contentious case; yaitu jurisdiksi Mahkamah untuk mengadili suatu sengketa antara dua negara atau lebih sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa hukum yang merupakan sengketa yang memungkinkan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum internasional terhadap para pihak.
2. Jurisdiksi untuk memberikan advisory opinion; yaitu jurisdiksi ICJ dalam memberikan pendapat hukumnya atas persoalan hukum berdasar permintaan dari organ-organ yang memiliki kewenangan untuk itu. Permintaan atas pandangan hukum dari ICJ secara eksklusif dimiliki oleh lembaga-lembaga non pemerintah atau negara, yakni hanya lembaga internasional.
Menurut Pasal 30 Statuta ICJ, Pengadilan memiliki kewenangannya sendiri untuk membuat aturan yang ditujukan bagi prosedur yang hendak digunakan. Para pihak sebelum mengajukan perkara diharuskan membuat terlebih dahulu sebuah akta yang dikenal sebagai compromis atau special agreement, yang di dalamnya menyebutkan apabila para pihak telah setuju untuk menyerahkan persoalan ini pada pengadilan. Sedangkan syarat bagi sebuah entitas menjadi pihak dibatasi hanya untuk negara (Pasal 34 Statuta ICJ).

[+/-] NEXT...