Jumat, 29 Januari 2010

Pengaturan Merek (Merk) atau Trademark

Di posting sebelumnya telah saya tulis mengenai Pengertian Merek (Merk) atau Trademark. Dalam postung kali ini saya akan menulis mengenai pengaturan merek atau Trademark.
Kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya orang melakukan peniruan. Terlebih pula setelah dunia perdagangan semakin maju, serta alat transportasi yang semakin baik, juga dengan dilakukannya promosi maka wilayah pemasaran barangpun menjadi lebih luas lagi. Keadaan seperti ini menambah pentingnya merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya, juga menghadirkan peniruan. Pada gilirannya perluasan pasar seperti itu juga memerlukan penyesuaian pada sistem perlindungan hukum terhadap merek yang digunakan pada produk yang diperdagangkan.
Bagi Indonesia pengaturan tentang Merek telah silih berganti. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
• Pada masa penjajahan Belanda dikeluarkan Undang-Undang Hak Milik Perindustrian yaitu: Reglement Industrielle Eigendom Kolonien Stb. 1912 Nomor 545 jo. Stb. 1913 Nomor 214. Ketentuan ini tetap berlaku setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

• Pada masa pendudukan Jepang pada dasarnya semua peraturan perundang-undangan terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual masih tetap berlaku. Namun khusus untuk Merek, pada masa ini juga peraturan Merek yang dikenal dengan Osamu Seire Nomor 30 Tentang Menyambung Pendaftaran Cap Dagang.
• Pada 11 Oktober 1961 diundangkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang Merek pertama yang dibuat oleh bangsa Indonesia. Undang-Undang ini mulai berlaku sejak November 1961.
• Undang-Undang Merek 1961 ternyata mampu bertahan sampai kurang lebih 31 (tiga puluh satu) tahun. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.19 Tahun 1992 Tentang Merek. Undang-Undang ini berlaku sejak 1 April 1993.
• Undang-Undang Merek 1992 kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
• Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation di Marrakesh, Maroko dan juga menandatangani Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) beserta lampiran-lampirannya. Adapun salah satu lampirannya terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Annex 1C berjudul Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement).
• Untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dengan TRIPs Agreement maka pada tahun 2001, Pemerintah RI mengesahkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menggantikan Undang-Undang Merek 1997.

[+/-] NEXT...

Selasa, 26 Januari 2010

Pengertian Merek (Merk) atau Trademark

Jika ditelusuri lebih jauh, Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu: benda tidak berwujud (benda immaterial). Benda dalam kerangka hukum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori, salah satu diantara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapat dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh Pasal 499 KUHPerdata, yang berbunyi: menurut paham Undang-Undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Merek telah digunakan sejak ratusan tahun untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan dengan maksud menunjukkan asal-usul barang (indication of origin). Merek dan sejenisnya dikembangkan oleh para pedagang sebelum adanya industrialisasi. Bentuk sejenis merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) di Inggris bagi tukang emas, tukang perak, dan alat-alat pemotong. Sistem tanda resmi seperti itu terus dipakai karena bisa membedakan dari penghasil barang sejenis lainnya.

Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual salah satu issu global yang menarik untuk dibahas adalah tentang Merek (Trademark). Issu ini menarik karena menyangkut banyak sendi kehidupan manusia, terutama terkait dengan dunia perdagangan.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyatakan bahwa: Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Menurut Mollengraf dalam bukunya Muhammad Djumhana:
“merek yaitu dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain,”
Berdasarkan pengertian tentang merek maka pada mulanya merek hanya diakui untuk barang, pengakuan untuk merek jasa barulah diakui Konvensi Paris pada perubahan di Lisabon 1958.
Penekanan unsur-unsur dari defenisi merek yang diatur dalam Undang-Undang Merek menjadikan semakin dapat membedakan antara merek dengan kombinasi-kombinasi lain dari satu produk. Beberapa ahli merumuskan pengertian merek yang hampir mempunyai persamaan dalam hal substansi, antara lain;
1. H.M.N Purwosutjipto
Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.
2. R. Soekardono
Merek adalah sebuah tanda (Jawa;ciri atau tenger) dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan.
3. Ius Soeryatin
Meninjau Merek dari aspek fungsinya, yaitu:”Suatu merek digunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda, asal, nama, jaminan terhadap mutunya.
4. Ita Gambiro
Merek adalah suatu tanda dengan maksud untuk menunjukkan siapa yang bertanggungjawab terhadap barang-barang dari Merek Dagang tersebut yang dijual kepada masyarakat.
Menurut Philip S. James dalam bukunya OK. Saidin memberikan defenisi sebagai berikut:
A trade Mark is a mark used in conextion with goods which a trader uses in order to tignity that a certain type of good are his trade need not be the actual manufacture of goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they marely pass through his hand is the cource of trade.
(Merek dagang adalah suatu tanda yang dipakai oleh seseorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau pedagang tersebut tidak perlu penghasilan sebenarnya dari barang-barang itu, untuk memberikan kepadanya hak untuk memakai suatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu ditangannya dalam lalu lintas perdagangan).


[+/-] NEXT...

Senin, 25 Januari 2010

LOWONGAN KERJA DIII DAN SARJANA (S1) EKONOMI

Sebuah perusahaan retail terbesar di Jawa Tengah di bawah menagement Holding Rita Group, mengundang anda, para calon profesional yang dinamis untuk berkarir di PT. RITA RITELINDO Unit KATO KROYA sebagai Karyawan.


Syarat:
1. Laki-laki/Perempuan, max. 27 Tahun

2. Berpenampilan menarik
3. Tinggi badan minimal 157cm (Perempuan), 165cm (Laki-laki)
4. Sehat (dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter)
5. Berkelakuan Baik (Dibuktikan dengan SKCK dari Kepolisian)

6. Mengirimkan Surat Lamaran Kerja
7. CV
8. Photo Copy KTP
9. Pas foto terbaru 3x4 2 lembar, 4x6 2 Lembar
10. Ijazah Terakhir yang telah dilegalisir
11. Transkrip Akademik yang telah dilegalisir
11. Sertifikat Lain yang relevan

Fasilitas:
1. Jenjang karir yang terbuka
2. Gaji sesuai UMK
3. Jamsostek

Kirimkan berkas lamaran ke Personalia Kato Grosir & Eceran, Jl. Jend. A. Yani, Lantai 2 Pasar Baru Kroya.
(Lamaran yang akan diproses hanya lamaran yang dikirim via pos atau dikirim langsung)

Max. 14 Februari 2010 

Contact Person: SIGIT FAHRUDIN, SH.
Phone: 0282-494538.

[+/-] NEXT...

Prinsip Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Prinsip utama pada Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan Intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural). Begitulah sistem hukum Romawi menyebutkan sebagai cara perolehan alamiah (natural acquisition) berbentuk spesifikasi, yaitu melalui penciptaan. Pandangan demikian terus didukung dan dianut banyak sarjana, mulai dari Locke sampai kepada kaum sosialis. Sarjana-sarjana hukum Romawi menamakan apa yang diperoleh di bawah sistem masyarakat, ekonomi, dan hukum yang berlaku sebagai perolehan sipil dan dipahamkan bahwa asas suum cuique tribuere menjamin, bahwa benda yang diperoleh secara demikian adalah kepunyaan seseorang itu.
Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Atas Kekayan Intelektual berdasarkan prinsip :

a. Prinsip keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang kita sebut hak. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel,yaitu sebuah peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu, adalah penciptaan yang mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan inipun tidak terbatas di dalam negeri si penemu itu sendiri, tetapi juga dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan.
b. Prinsip ekonomi (the economic argument)
Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu 1 (satu) keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk royalty dan technical fee.
c. Prinsip kebudayaan (the cultural argument)
Kita mengonsepsikan bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula suatu gerak hidup yang harus mengahasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem Hak Milik Intelektual adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membengkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.
d. Prinsip sosial (the social argument)
hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang sama-sama terikat dalam 1 (satu) ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian, hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan itu saja, tetapi pemberian hak kepada perseorangan persekutuan/kesatuan itu diberikan, dan diakui oleh hukum, oleh karena dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.
Hal yang lain dikemukakan oleh Achmad Zen Umar Purba yang menyatakan bahwa:
Secara teoritis hak kekayaan intelektual memuat lima jenis prinsip dasar, seperti diuraikan di bawah ini:
a. Hak Otoritas.
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak, dan sebagai hak dia merupakan harta atau asset berupa benda yang tidak berwujud (intengibel asset). Apakah hak kekayaan intelektual sebagai asset benda tidak berwujud?. Menurut Keith E. Markus sampai pada titik tertentu, kedua hak tersebut berkedudukan sama. Namun, perbedaan menonjol adalah pada aspek eksklusivitasnya. Eksklusivitaslah yang menimbulkan hak, dan hak itu tidak lain merupakan kompensasi atas semua upaya yang dikeluarkan atau dikorbankan oleh pemilik karya intelektual tersebut. pengeluaran mencakup biaya, waktu dan pengorbanan. Stephen Carter menulis adanya dua persamaan (senses) tentang property.
Pertama, teoretisi hukum merujuk property, dalam kaitannya dengan perangkat hubungan hukum yang relevan. Kedua, adalah property dalam bahasa sehari-hari yang mengaitkannya dengan konsep atau “res” yang berkonotasi pula dengan pemilik.
Jadi, hak kekayaan intelektual baru ada secara hukum jika telah ada pengayoman, penaungan, atau perlindungan hukum dari negara atas otoritas publik terhadap suatu karya intelektual. Melalui mekanisme pengurusan dokumentasi diberikan hak kepada pemohon hak kekayaan intelektual, termasuk inventor, pendesain serta pemilik merek. Disini terdapat 3 unsur utama, yaitu: (i) hak eksklusif, (ii) negara, (iii) jangka waktu tertentu.
b. Hak Privat dan Pasar
Hak kekayaan intelektual adalah hak bagi pemilik karya intelektual: jadi sifatnya individual, perorangan, privat. Namun, masyarakatlah yang mendapat kemaslahatannya melalui mekanisme pasar. Bell menemukan telepon, Watt menemukan mesin uap, Edison menemukan listrik. Karya intelektual yang telah mendapat atau telah dikemas dengan hak eksklusif yang oleh sebab itu merupakan “ property” pemiliknya menciptakan pasar ( permintaan dan penawaran). Hal ini timbul karena pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual kebutuhan masyarakat banyak. Itulah sebabnya dalam hak kekayaan intelektual, misalnya paten, dipersyaratkan adanya unsur penerapan industrial (industrial applicability), yakni dapatnya invensi yang bersangkutan diterapkan dalam industri. Secara ringkas hak kekayaan inelektual merupakan pendorong bagi pertumbuhan perekonomian.

c. Prinsip Berkesinambungan
Sistem pasar telah tercipta, mempertemukan pemegang hak kekayaan intelektual dan masyarakat. Hubungan ini berkesinambungan, sebab pada akhirnya masyarakatlah yang membutuhkan barang-barang. Kreatifitas terus diperlukan. Sistem hak kekayaan intelektual sendiri, pada dirinya, melekat unsur berkesinambungan atau estapet. Misalnya dalam hal paten, invetor harus membuka dan mengungkapkan invensinya. Dengan demikian, selain dimaksudkan (i) agar publik mengetahui isi invensi yang dilindungi tersebut, keterbukaan ini betujuan untuk ( ii ) merangsang orang lain mengembangkan lagi invensi tersebut, untuk kemudian dimintakan paten baru. Begitu seterusnya secara estapet dan sesuai kehendak pasar.

d. Satu Kesatuan
Hak kekayaan intelektual merupakan satu kesatuan sistem. Ini berarti hak kekayaan intelektual mencakup berbagai bidang yang luas, sehingga diperlukan pengikatan antara semua unsur agar saling terkait menjadi satu. Sistem “combination or arrangement as of particulars, parts, or elements into a whole, especially such combination according to some national principles. ” Walaupun saat ini berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM, pengelolaan sistem hak kekayaan intelektual dilakukan berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti yang direfleksikan dalam berbagai bidang hak kekayaan intelektual, yaitu hak cipta, paten,merek, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang.
e. TRIPs Mengikat
TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement merupakan dokumen yang mengikat Indonesia yang telah meratifikasi persetujuan tersebut dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Berdasarkan hukum Internasional, persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara itu sendiri. Vienna Convention on Law of Treaties 1980 memperkenalkan prinsip pacta sunt servanda yang berbunyi: “Every treaty in force is biding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”

[+/-] NEXT...

Sifat-Sifat Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagai bagian dari hukum harta benda (harta kekayaan), maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, kita ingat misalnya akan pembatasan berupa adanya lisensi wajib, pengambilalihan oleh negara, kreasi dan peciptaan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Sifat asli yang ada pada Hak Kekayaan Atas Intelektual tersebut, yaitu diantaranya:

a. Mempunyai jangka waktu terbatas
Dalam arti setelah habis masa perlindungannya ciptaan (penemuan) tersebut akan menjadi milik umum, tetapi ada pula yang setelah habis masa perlindungannya bisa diperpanjang asalkan terus dipergunakan dalam perdagangan, misalnya Hak atas Merek, tetapi ada juga yang perlindungannya terus-menerus tidak terbatas, bahkan tidak perlu didaftarkan, yaitu Rahasia Dagang. Jangka waktu perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual di bidang tertentu (Hak Cipta, Merek, Desain Industri dan Paten) semuanya terbatas, dan telah ditentukan secara jelas dan pasti dalam undang-undang yang mengaturnya, misalkan Desain Industri berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, akan dilindungi selama 10 (sepuluh) tahun.
b. Bersifat eksklusif dan mutlak
Maksudnya bersifat eksklusif dan mutlak, yaitu bahwa hal tersebut dapat dipertahankan terhadap siapapun. Yang mempunyai hak itu dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Si pemilik/pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual mempunyai suatu hak monopoli, yaitu bahwa dia dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa pesetujuannya membuat ciptaan/penemuan ataupun menggunakannya.
c. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan.

[+/-] NEXT...

Sabtu, 23 Januari 2010

LOWONGAN KERJA SMA/SMK DAN DIPLOMA I

Sebuah perusahaan retail terbesar di Jawa Tengah di bawah menagement Holding Rita Group, mengundang anda, para calon profesional yang dinamis untuk berkarir di PT. RITA RITELINDO Unit KATO KROYA sebagai Karyawan.

Syarat:
1. Laki-laki/Perempuan, max. 23 Tahun
2. Berpenampilan menarik
3. Tinggi badan minimal 157cm (Perempuan), 165cm (Laki-laki)
4. Sehat (dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter)
5. Berkelakuan Baik (Dibuktikan dengan SKCK dari Kepolisian)

6. Mengirimkan Surat Lamaran Kerja
7. CV
8. Photo Copy KTP
9. Pas foto terbaru 3x4 2 lembar, 4x6 2 Lembar
10. Ijazah Terakhir yang telah dilegalisir
11. Transkrip Akademik yang telah dilegalisir
11. Sertifikat Lain yang relevan

Fasilitas:
1. Jenjang karir yang terbuka
2. Gaji sesuai UMK
3. Jamsostek

Kirimkan berkas lamaran ke Personalia Kato Grosir & Eceran, Jl. Jend. A. Yani, Lantai 2 Pasar Baru Kroya.
(Lamaran yang akan diproses hanya lamaran yang dikirim via pos atau dikirim langsung)

Contact Person: SIGIT FAHRUDIN, SH.
Phone: 0282-494538.



Untuk Pertanyaan dan konfirmasi silahkan isi komentar di posting ini.

[+/-] NEXT...

Jumat, 22 Januari 2010

Tujuan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Permasalahan mengenai HKI akan menyentuh berbagai aspek seperti teknologi, industri, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek yang terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi karya intelektual.
HKI sebagai hak milik dalam penguasaan dan penggunaan hak tersebut harus dibatasi agar tidak merugikan orang lain. Hak milik menurut ketentuan Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan bahwa:

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang, atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa setiap hak milik mempunyai unsur:
a. Kemampuan untuk menikmati atas benda atau hak yang menjadi objek hak milik tersebut;
b. Kemampuan untuk mengawasi atau menguasai benda yang menjadi objek hak milik itu, yaitu misalnya untuk mengalihkan hak milik itu kepada orang lain atau memusnahkannya.
Namun demikian, hukum pun memberikan pembatasan kepada pemiliknya untuk menikmati maupun menguasai atas benda, atau hak yang merupakan miliknya tersebut.
Justifikasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah diciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil yaitu apabila seseorang mencuri usaha orang lain tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuannya.
Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia menyebutkan bahwa:
“Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta”
Argument moral ini direfleksikan oleh tersedianya hak moral yang tidak dapat dicabut bagi para pencipta di banyak negara. Berdasarkan ketentuan bahwa perlindungan terhadap karya intelektual adalah merupakan hak bagi setiap orang.
Menurut Muhammad Djumanha dan R Djubaedillah, beberapa keuntungan dan manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya perlindungan HKI, baik secara ekonomi makro maupun ekonomi mikro, yaitu:
a. perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi.
b. Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik lagi bagi tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta atau menentukan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
c. Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan secara ekonomi makro merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanaman modal asing, serta memperlancar perdagangan internasional. Begitu besar manfaat yang dapat dirasakan dengan terlindunginya HKI pada warga negaranya, maka setiap negara akan memberikan perlindungan yang ketat.

[+/-] NEXT...

Selasa, 19 Januari 2010

Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Pengelompokan Hak Kekayaan Intelektual dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut:
1. Hak Cipta (Copy Right)
2. Hak Kekayaan Perindustrian (industrial property Right)
Hak cipta itu sendiri dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Hak Cipta;
b. Hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring rights).
Berdasarkan Covention Establishing The World Intellectual Property Organization, selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:
1. Patent (Paten);
2. Utility Models (Model dan Rancangan Bangunan) atau dalam hukum Indonesia dikenal dengan istilah paten sederhana (Simple Patent);
3. Industrial Design (Desain Industri);
4. Trade Merk (Merek Dagang);
5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6. Indication of Source or Appelation of Origin (Sumber Tanda atau sebutan asal).


Berdasarkan beberapa literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut system anglo saxon, bidang hak kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut, masih ditambah lagi beberapa bidang lain. Menurut William T. Frayer (dalam bukunya OK. Saidin), hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Patent
2. Utility Models
3. Industrial Designs
4. Trade Secrets
5. Trade Marks
6. Service Marks
7. Trade Names or Commercial Names
8. Appleation of Origin
9. Indication of Origin
10. Unfair Competition Protection.
Berdasarkan kerangka WTO/TRIPs, ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan yaitu:
1. Perlindungan varietas baru tanaman, dan
2. Integrated Circuit (rangkaian elektronika terpadu).
Berikut ini adalah pengertian dari bidang-bidang tersebut:
1. Varietas tanaman adalah sekelompok tanaman dari jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.
2. Sirkuit terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya dari satu elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
Apabila dicermati dalam ketentuan TRIPs, HKI dapat digolongkan dalam 8 (delapan) golongan, yaitu:
1. Hak cipta dan Hak terkait lainnya;
2. Merek dagang;
3. Indikasi Geografis;
4. Desain produk industri;
5. Paten;
6. Desain Lay Out (topografi) dari rangkaian elektronik terpadu;
7. Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan;
8. Pengendalian atas praktik persaingan curang.

[+/-] NEXT...

Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual

Undang-undang mengenai HKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada Tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.
Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statue of Monopolies (1623), sedangkan Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris, Perancis dengan lahirnya Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang sampai dengan Januari 1993 telah diratifikasi oleh 108 negara. Paris Convention berlaku terhadap hak kekayaan industrial (industrial property) dalam pengertian luas termasuk paten, merek, desain industri, utility models, nama dagang, indikasi geografis serta pencegahan persaingan curang.

Berkaitan dengan kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi substantif, norma hukum yang mengatur tentang HKI tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum internasional.
Oleh karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakatan internasional harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh.
Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan internasional tersebut, mengakibatkan Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-teritorial yang menyangkut tentang perlindungan HKI. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan menambah beberapa peraturan yang belum cukup dalam peraturan yang sudah ada.
TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian internasional untuk perlindungan HKI secara internasional. Perjanjian-perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual antara lain:
1. Dalam bidang hak milik perindustrian:
a. Madrid Agreement for the Repression of False or Deceptive Idication of Source on Goods (1891);
b. Nairoby Treaty on the Protection of the Olympic Symbol (1981);
c. Patent Cooperation Treart (PCT) (1970);
d. Budapest Treaty on the International Recognation of the Deposit of Microorganismes for the Purposes of Patent Procedure (1977);
e. Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (1891);
f. Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (1989);
g. Lisbon Agreement for the Protection of Appelations of Origin and their International Registration (1958);
h. Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Design (1925);
i. Starsbourg Agreement Concerning the International Patent Classification (1971);
j. Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks (1957);
k. Locarno Agreement Establishing an International Classification for the Industrial Designs (1968);
l. Vienna Agreement Establishing an International Classification of the Figurative Elements of Marks (1973);
m. International Convention for the Protection of New Variets of Plants (1977);
n. Treaty on the Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989).

2. Dalam bidang hak cipta:
a. Rome Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organization (1961);
b. Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Againts Unauthorized Duplications of their Phonograms (1971);
c. Brussels Convention Relating to the Distribution of Programme Carrying Signals Transmitted by Satellite (1974);
d. Film Register Treaty (Treaty on the International Registration of Audiovisual Works) (1989).

Semua perjanjian internasional di bidang HKI tersebut dikelola di bawah administrasi WIPO yang berpusat di Jenewa, Swiss. Pemerintah telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang HKI yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 1997 melalui:
1. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tentang pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization;
2. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) an Regulation Under the PCT;
3. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang pengesahan Trademark Law Treaty (TLT);
4. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works;
5. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty.

Namun setelah beberapa tahun berdirinya WIPO, pada kenyataannya organisasi ini dirasa kurang mampu menegakkan perlindungan terhadap HKI yang ada. Menurut Fidel S. Djaman (dalam bukunya Rachmadi Usman), yang menjadi kelemahan WIPO antara lain:
1. WIPO hanya merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas (tidak banyak), sehingga ketentuan-ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota;
2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran di bidang HKI;
3. WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional dan perubahan tingkat inovasi teknologi.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Setelah amandemen, pasal tersebut menyebutkan bahwa ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini ”. Berdasarkan ketentuan ini, berarti peraturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, Indische Staataregeling dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan.
Setelah mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari peraturan-peraturan yang lama dicabut. Peraturan seperti Auteurswet Stb. No.600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, Octroiwet yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313 dicabut melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 kemudian secara berturut-turut direvisi melalui UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14 Tahun 2001, Reglement Industriele Eigendom yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 yang diganti dengan UU Merek No. 21 Tahun 1961, Undang-Undang ini kemudian diganti dengan UU No. 19 Tahun 1992, berturut-turut direvisi melalui UU No. 14 Tahun 1997 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992 dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001 menggantikan UU No. 14 Tahun 1997 .
Berdasarkan hal tersebut, pengaturan HKI di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (disebut pula Undang-Undang Merek 1961). Pengaturan mengenai HKI di Indonesia tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perjanjian internasional terkait dengan masalah HKI, yaitu:
1. Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;
2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten;
3. Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek;
4. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri;
5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang;
7. Varietas Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Varietas Tanaman.

[+/-] NEXT...

Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

''Hak Kekayaan Intelektual'' (HKI) merupakan terjemahan istilah dari ''Intellectual Property Rights'' (IPRs). Secara substantif hak kekayaan intelektual berhulu dari konsep barat dengan nama tersebut. IPRs lahir setelah Revolusi Industri, dimulai dengan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works di abad 19.
Istilah ''Intellectual Property Rights'' (IPRs) terdiri dari tiga kata kunci yaitu: ''Hak'', ''Kekayaan'' dan ''Intelektual''. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Sedangkan ''Kekayaan Intelektual'' merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya

HKI merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas Kekayaan Intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. Istilah Intellectual Property Right berasal dari system anglo saxon yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 2 (dua) macam istilah hukum, yaitu Hak Milik Intelektual dan Hak Kekayaan Intelektual.
W.R. Cornish (dalam bukunya Sentosa Sembiring), memberi rumusan tentang HKI sebagai berikut:
Intellectual Property Rights protect applicants of ideas and information that are of commercial value.

Sri Rejeki Hartono (dalam bukunya Sentosa Sembiring) mengemukakan:
Hak Milik Intelektual pada hakikatnya merupakan suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara. Negara berdasarkan ketentuan undang-undang, memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak, sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Berdasarkan penjelasam di atas, hakikat HKI adalah adanya suatu kreasi (creation). Kreasi ini dapat dalam bidang kesenian (art), bidang industri, ilmu pengetahuan ataupun kombinasi dari ketiganya. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin hak kekayaan intelektualnya mendapat perlakuan khusus atau tepatnya dilindungi oleh hukum, maka harus mengikuti prosedur tertentu yang telah ditetapkan oleh negara.
Menurut OK. Saidin :
Hak Kekayaan Intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateriil atau benda tidak berwujud.
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateriil). Ditinjau dari rumusan Pasal 499 KUH Perdata yang menyatakan: “menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”, maka menurut Mahadi (dalam bukunya H.OK. Saidin), seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat bahwa yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak. Selanjutnya barang yang dimaksudkan oleh Pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materiil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immateriil.
Benda immateriil atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapat berupa hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights), dan lain sebagainya.
Perjanjian Internasional tentang aspek-aspek perdagangan dari HKI (the TRIPs Agreement), tidak memberikan definisi mengenai HKI, tetapi Pasal 1.2 menyatakan bahwa HKI terdiri dari:
1. Hak Cipta dan Hak Terkait;
2. Merek Dagang;
3. Indikasi Geografis;
4. Paten;
5. Tata Letak (topografi) sirkuit terpadu;
6. Perlindungan Informasi Rahasia;
7. Kontrol terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi.

Begitu banyak pengertian-pengertian HKI yang dikemukakan oleh para sarjana, tapi belum ada definisi yang dapat diterima secara universal. Hal tersebut dikarenakan hak kekayaan intelektual yang merupakan hasil dari kemampuan intelektual manusia selalu terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

[+/-] NEXT...

Senin, 18 Januari 2010

Dasar Teoritis dan Yuridis Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik

a. Dasar Teoritis
Adapun teori-teori mengenai mengapa diberikannya kekebalan-kekebalan dan hak istimewa, di dalam hukum internasional terdapat tiga teori yaitu ;
1. Teori Exterritoriality
Artinya ialah bahwa seorang wakil diplomatik itu karena Eksterritorialiteit dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, tetapi di wilayah negara pengirim, meskipun kenyataannya di wilayah neghara penerima. Oleh sebab itu, maka dengan sendirinya wakil diplomatik itu tidak takluk kepada hukum negara penerima. Begitun pula ia tidak dikuasai oleh hukum negara penerima dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima.

2. Teori Representative Character
Teori ini mendasarkan pemberian kekebalan diplomatik dan hak istimewa kepada sifat dari seorang diplomat, yaitu karena ia mewakili kepala negara atau negaranya di luar negeri
3. Teori Kebutuhan Fungsional
Menurut teori ini dasar-dasar kekebalan dan hak-hak istimewa seorang wakil diplomatik adalah bahwa wakil diplomatik harus dan perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna. Segala yang mempengaruhi secara buruk haruslah dicegah.
b. Dasar Yuridis
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak kekebalan dan hak istimewa dalam Konvensi Wina 1961 dijumpai dalam pasal 22 sampai 31, hal mana dapat diklasifikasikan dalam:
1. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30
2. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal 25,26 dan 27
3. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan mengenai pribadi wakil diplomatik, kita jumpai dalam pasal 29 dan 31Disamping Konvensi Wina 1961 yang merupakan yuridis pemberian dan pengakuan hak kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik yang merupakan perjanjian-perjanjian multilateral bagi negara-negara pesertanya, juga dibutuhkan perjanjian bilateral antar negara yang merupakan pelaksanaan pertukaran diplomatik tersebut, sebagai dasar pelaksanaan kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik

[+/-] NEXT...

Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional

Mulai berlakunya perjanjian tergantung atas ketentuan-ketentuan perjanjian itu atas apa yang disepakati negara-negara peserta perjanjian (Konvensi Wina Pasal 24 ayat 1). Banyak perjanjian-perjanjian yang berlaku sejak tanggal penandatanganannya, tetapi apabila diperllukan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka kaidah umum hukum internasional adalah bahwa perjanjian yang bersangkutan mulai berlalku hanya setelah pertukaran atau penyimpanan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua negara penandatangan. Saat ini perjanjian multilateral biasanya menentukan mulai berlakunya tergantung pada sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang diisyaratkan biasanya mulai enam sampai tiga puluh lima, namun kadang-kadang waktu tepatnya tanggal mulai berlaku ditetapkan tanpa memperhatikan jumlah ratifikasi yang diterima. Juga kadang-kadang perjanjian itu mulai berlaku hanya didasarkan pada terjadinya peristiwa tertentu, misalnya setelah ratifikasi oleh semua negara penandatangan, Perjanjian Lonarco tahun 1925 mulai berlaku hanya setelah masuknya Jerman ke Liga Bangsa-Bangsa.

(1). Pendaftaran dan Publikasi
Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pasal 102 menetukan bahwa, semua traktat dan perjanjian interanional yang dibentuk oleh anggota PBB harus mungkin “sesegera mungkin” didaftarkan kepada Sekretariat Organisasi dan di publikasikan oleh secretariat. Tidak satu pesertapun dari traktat atau perjanjian yang tidak didafatrkan dengan cara ini “boleh mengemukakan traktat atau perjanjian tersebut dimuka suatu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Hal ini berarti bahwa suatu negara pada traktat atau perjanjian yang tidak didaftarkan dapat menyandarkan pada arrgumen pada traktat itu ketika berperkara dihadapan International Court of Justice atau dalm pertemuan-pertemuan Majelis Umum atau Dewan Keamanan. Ketentuan ini tidak menyatakan tidak sahnya suatu traktat yang tidak didaftarkan, atau mencegah suatu perjanjian diajukan ke hadapan badan-badan ataupun pengadilan-pengadilan lain selain organ–organ Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(2). Pemberlakuan dan Pelaksanaan
Ada ketentuan pemberlakuan perjanjian sebelum mulai dilaksanakan apabila perjanjian itu sendiri mengatur demikian dan disetujui oleh para pesertanya. Dalam praktek diperlukan kesiapan tugaas tindak lanjut untuk menjamin bahwa peserta benar-benar memberlakukan instrument yang mengikat mereka tersebut. Beberapa organisasi internasional memiliki komite-komite khusus untuk menjalankan fungsi ini, yang tugasnya dapat dilengkapi dengan pengiriman misi-misi peninjau resmi. Hal yang merupakan metode penemuan baru adalah dengan merancang kode model khusus untuk pemberlakuan legislative terhadap konvensi-konvensi

[+/-] NEXT...

Minggu, 17 Januari 2010

PROSEDUR INTERSEPSI PESAWAT SIPIL


Setiap negara memiliki panduan/aturan dalam melaksanakan penerbangannya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu baik bagi pilot dalam membawa pesawatnya maupun operator penerbangan dalam melayani suatu penerbangan. Panduan/aturan penerbangan tersebut terdapat dalam AIP yang dimiliki oleh setiap bandar udara baik sipil maupun militer.
Namun prosedur terhadap pesawat sipil dan militer tentunya ada beberapa hal khusus yang berbeda berkaitan dengan fungsi dan tugas dari pesawat tersebut yaitu untuk pesawat sipil berfungsi sebagai pengangkut massal atau cargo dan pesawat militer khususnya pesawat tempur berfungsi sebagai alat keamanan negara dalam menangani gangguan keamanan di udara untuk menjaga kedaulatan negara.
Berdasarkan topik yang penulis sampaikan dalam tulisan ini yaitu mengenai interception of civil aircraft, pesawat militer mempunyai prosedur khusus dalam penanganannya yang melibatkan pesawat sipil.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas tentunya harus ada kesamaan prosedur antara sipil dan militer tentang interception of civil aircraft sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan tanpa adanya kesalahpahaman antara sipil dan militer.
Penegakkan hukum adalah merupakan bagian dari upaya pertahankan kedaulatan negara. Sebagai negara yang berdaulat, pemerintah Indonesia menetapkan seperangkat aturan hukum untuk mengatur, mengendalikan dan menegakkan hukum di wilayah udara yang berada dibawah yuridiksi Indonesia.
Dalam penetapan perangkat hukum tersebut selain berpedoman pada kepentingan nasional bangsa Indonesia, juga memperhatikan kaidah yang diatur dalam hukum internasional.
Institusi yang berwenang sebagai penegak kedaulatan udara adalah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Hal itu tertuang dalam Undang-Undang no. 20 tahun 1982 tentang pokok-pokok pertahanan dan keamanan (hankam), pada pasal 30 ayat 3 disebutkan bahwa TNI-AU bertugas selalu penegak kedaulatan di udara dan mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional.
Tugas TNI-AU selain menangkal gangguan hankam juga mencegah dan menegakkan kedaulatan udara dalam arti menjaga dan mempertahankan agar diseluruh wilayah udara Indoensia tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum dan kepentingan nasional negara RI.
TNI-Angkatan Udara dalam upaya penegakan kedaulatan wilayah udara RI, implementasinya mengacu pada peraturan-peraturan Hukum Nasional dan Internasional.
a. Pengamatan (Observation) dan pengintaian (Surveillance).
Dalam melaksanakan pengamatan maupun pengintaian perlu memperhatikan kententuan-ketentuan hukum nasional maupun internasional.
b Tindakan pengintaian dengan menggunakan pesawat udara dimana pengintaian tersebut dilakukan sewaktu terbang melintas di wilayah udara nasional negara lain merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum terhadap negara lain yang dilintasi tersebut.
c. Tindakan pengintaian dari udara yang dilakukan dari luar wilayah kedaulatan suatu negara yang diamati, bukan merupakan bentuk pelanggaraan, demikian pula pengintaian melalui satelit melalui ruang angkasa
Terhadap pesawat udara tersebut tidak bisa dilakukan suatu tindakan tertentu namun apabila pesawat pengintai telah melakukan suatu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai ‘niat permusuhan’ (Hostile Intent) maka dapat dilakukan tindakan tertentu sesuai dengan hukum dan prosedur berlaku.
TNI-Angkatan Udara dapat melakukan pengamatan terhadap kapal perang maupun pesawat udara asing yang mencurigakan.
a. Terhadap kapal laut asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai (Innocent Passage) di wilayah perairan RI, dapat dibenarkan dengan cara.
1) Melakukan terbang pembayangan (Shadowing) dari kedua sisi kapal tersebut.
2) Jarak pembayangan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tafsiran oleh kapal asing tersebut. Seolah –olah akan diserang (Simulation to Attack).
3) Tidak melakukan gerakan (manuver), yang bisa ditafsirkan sebagai simulaton to attack.
4) Tidak melakukan terbang melintas diatas kapal tersebut.
b. Terhadap kapal perang asing di wilayah ZEE dan laut bebas:
Pembayangan dapat dibenarkan apabila ada alasan yang kuat yang berkaitan dengan keamanan nasional (National Security)
Adapun prosedur pembayangan (shadowing) dilakukan dengan cara sebagaimana pembayangan terhadap kapal asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai di perairan nasional.
c. Terhadap pesawat militer asing.
Pembayangan terhadap pesawat udara militer asing, baik yang lewat di ruang udara nasional, diatas ZEE maupun di laut bebas, diperbolehkan apabila ada alasan-alasan yang berkaitan dengan Keamanan Nasional (National Security), dengan cara pembayarang (shadowing) dalam jarak yang tidak membahayakan keselamatan penerbangan masing-masing pesawat, serta tidak melakukan gerakan (manuver) yang bisa ditafsirkan sebagai simulation to attack.
Tindakan pesawat militer RI terhadap ancaman dari udara sebagai berikut :
a. Pelanggaran wilayah udara (Aerial Intrusion).
Pesawat terbang asing yang memasuki wilayah udara nasional tanpa ijin disebut sebagai pelanggaran wilayah udara.
Masuknya pesawat udara asing ke wilayah udara nasional tanpa ijin, ada yang disengaja misalnya penerbangan gelap (black flight) untuk maksud-maksud tertentu dan ada pula yang tidak disengaja misalnya tersesat (aircraft in distress).
Pesawat udara militer RI dapat mengambil tindakan tertentu terhadap pesawat udara asing yang melakukan aerial intrusion. Berat atau ringannya tindakan yang akan dilakukan oleh pesawat militer RI tergantung dari prediksi (ramalan) ancaman yang mungkin timbul.
Apabila pelanggaran wilayah udara ini dilakukan oleh pesawat udara sipil, maka tindakan hukum atau intersepsi harus mengacu pada Konvensi Chicago 1944, terutama Article 3 bis.
Apabila pesawat udara pada memasuki wilayah udara nasional Indonesia dalam keadaan tersesat (in distress). Penanganannya didasarkan pada Konvensi Chicago 1944 Article 25 antara lain berupa tindakan reaksi yang dilakukan berdasarkan prosedur operasi yang ditetapkan oleh TNI.
Tahap awal adalah dengan cara “Shadowing” yang merupakan upaya untuk indentifikasi. Dalam fase ini ada kemungkinan untuk menggiring/mengalau pesawat udara musuh (hostile aircraft) untuk keluar dari wilayah RI. Alternatif lain dapat dilakukan intersepsi dan diperintahkan “Force Down” untuk kepentingan investigasi dan proses hukum.
Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak dipatuhi oleh pesawat asing tersebut, bahkan justru menunjukkan sikap permusuhan (Hostile Act), tahap akhir dapat dilakukan penghancurann dengan persenjataan.
b. Terhadap Bentuk-Bentuk Ancaman Permusuhan.
Bentuk-bentuk ancaman permusuhan oleh negara lain terhadap negara RI adalah kegiatan yang dapat menjurus pada ancaman bagi kedaulatan negara RI.
Ancaman terhadap kedaulatan negara RI tersebut dapat dilakukan oleh pesawat udara asing, baik yang melakukan penerbangan di wilayah yurisdiksi nasional RI maupun diatas wilayah udara bebas (International Air Space).
Kegiatan pesawat udara asing yang mengancam kedaulatan RI dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: niat permusuhan (Hostile Intent) dan tindakan permusuhan (Hostile Act).
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai niat permusuhan dari wilayah udara adalah sebagai berikut:
1) Pengamatan dan gangguan yang dilakukan didekat wilayah udara nasional;
2) Pengamatan obyek-obyek vital RI baik yang ada diwilayah teritorial, ZEE dan landas kontinen.
3) Pembayangan (shadowing) terhadap pesawat militer atau kapal perang RI dalam jarak dekat yang tidak memenuhi kentuan “Idetification Safety Range” (ISR);
4) Pelanggaran ketentuan lalu lintas udara di kawasan yang menjadi tanggung jawab RI.
5) Pelanggaran dikawasan Air Defence Indentification Zone (ADIZ) yang didirikan oleh negara RI;
6) Pelanggaran wilayah udara yang disengaja (Black Flight).
Terhadap pesawat udara yang dikategorikan sebagai hostile intent, tindakan alternatif yang dapat dilakukan oleh pesawat militer RI adalah:
a. Melakukan pengamatan (obsevasi) secara visual dengan pesawat udara atau secara eletronika;
b. Melakukan pembayangan apabila pesawat udara asing tersebut penerbangannya menyimpang dari jalur yang sudah ditetapkan dan atau selama diatas wilayah yurisdiksi RI penerbangannya mencurigakan. Shadowing tersebut hanya dapat dilakukan sampai batas ZEE RI.
c. Melakukan penghalauan.
Penghalauan ini dilakukan terhadap pesawat udara sipil/militer yang memasuki wilayah udara RI tanpa ijin, dan atau penerbangnnya telah mengganggu keselamatan obyek-obyek vital RI yang berada dibawahnya;
d. Pemaksaan mendarat.
Terhadap pesawat udara sipil/militer asing yang memasuki wialyah udara nasional RI tanpa ijin, namun masih dalam kategori hostile intent, dalam pengertian pesawat udara asing tesebut tidak mengganggu obyek-obyek vital RI, maka pesawat udara tersebut dapat dipaksa untuk mendarat. Kemudian dilakukan investigasi, dilanjutkan penyelidikan untuk proses hukum selanjutnya.
Penembakan atau penghancuran terhadap pesawat itu tidak boleh dilakukan apabila belum terbukti secara kuat melanggar kedaulatan RI.
Alternatif mana yang akan diambil oleh pesawat militer RI tergantung dengan pertimbangan dan prediksi terhadap dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh pesawat asing yang dikategorikan hostile intent tersebut.
Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai tindakan permusuhan (hostile act) adalah tindakan yang menggunakan kekuatan dan atau menggunakan sistem senjata yang nyata-nyata mengancam atau melakukan penyerangan langsung terhadap obyek-obyek yang berada dibawah yurisdiksi RI. Tindakan semacam itu tentunya dilakukan oleh bukan pesawat udara sipil biasa.
Sesuai dengan hak untuk mempertahakan diri (the right of self-deference), pihak asing itu (baik oleh pesawat udara militer maupun kapal perang asing), dapat dilakukan perlawanan dan penghancuran.
Hot pursuit merupakan suatu modus dalam penegakkan hukum. Istilah ini didapati dalam UNCLOS III Article 111. Modus ini mulanya dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut terhadap kapal perang asing. Namun demikian dalam upaya pertahanan wilayah udara maka hot pursuit dapat dilakukan oleh pesawat-pesawat udara militer. Menurut UNCLOS III Article 111, yang dapat melakukan hot pursuit adalah; kapal perang dan atau pesawat udara militer, atau kapal dan pesawat udara yang secara jelas oleh pemerintah dimana kapal/ pesawat itu terdaftar diberi tanda-tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara dalam Dinas Pemerintah (Government Services) yang memiliki wewenang untuk melakukan hot pursuit.
Pesawat Udara Negara (state aircraft) RI selaku alat pertahanan dan keamanan negara (hankam) dapat melakukan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara maupun di wilayah perairan. Tindakan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara mupun di wilayah perairan.
Tindakan hot pursuit pesawat udara asing telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan hak-hak negara RI, termasuk hak-hak negara RI, termasuk hak-hak di wilayah yurisdiksi yaitu di zona-zona laut dan udara. Hot pursuit itu, sesuai dengan hukum internasional dapat dilakukan dari laut teritorial hingga ke laut bebas (hight sea). Hot pursuit harus diberhentikan segera apabila kapal laut asing yang dikejar itu telah memasuki wilayah teritorial negaranya sendiri, atau telah memasuki laut teritorial negara ketiga.
Kiranya tindakan pengejaran (hot pursuit) oleh pesawat militer RI terhadap pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan kedaulatan RI dapat dilakukan mencapai batas-batas wilayah udara sebagaimanan batas-batas yang diperkenankan terhadap kapal laut asing.
Sebagai perwujudan penegakan kedaulatan di udara, maka setiap oknum yang melakuan pelanggaran atau tidak kejahatan di wilayah yuridiksi suatu negera, diberikan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku di negara dimana pelanggaran itu dilakukan.
Bagi negara RI prosedur pemberian sanksi, jika menyangkut perbuatan pidana akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UU No. 8 tahun 1981 dengan sanksi pidana atau denda tertentu. Sedangkan jika menyangkut persoalan perdata akan diselesaikan dengan Hukum Acara Perdata, dengan pembebanan ganti rugi (Liability) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Contoh kasus – kasus internasional dalam buku Hukum Udara ( Air Law) seri I, Sofyan Sumari, halaman 44 yaitu
a. Kasus Achille Lauro tahun 1985
Salah satu contoh tindakan intersepsi terhadap pesawat terbang sipil di ruang udara internasional adalah kasus kapal pesiar Italian “Achille Lauro” tahun 1985. Pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.
Para teroris tersebut menuntut dibebaskannya orang Palestina yang ditahan oleh Israel. Para teroris telah membunuh seorang warga negara USA dan mengancam akan membunuh para penumpang lainnya apabila tuntutannya tidak dipenuhi.
Setelah dilakukan serangkaian negosiasi dengan melibatkan organisasi pembebasan Palestina (PLO) dan Pemerintah Mesir, serta adanya jaminan melewati Mesir dengan aman, para teroris menyerahkan diri kepada Perwakilan PLO di Mesir.
Pada tanggal 11 Oktober 1985, dengan menumpang pesawat Boeing 737 milik Egypt Air, para teroris berangkat dari Mesir menuju Tunisia. Pesawat Eypt Air itu dintersepsi oleh 4 buah pesawat temput F-14 milik USA ketika berada diatas wilayah perairan internasional dan dipaksa mendarat dipangkalan udara NATO di Sicilia, kemudian para teroris ditangkap. Atas kasus tersebut Pemerintah Mesir memprotes bahwa tindakan USA telah melanggar hukum internasional.
Kasus Achille Lauro itu sendiri telah memunculkan perdebatan dikalangan para yuris tentang legalitas mengintersep pesawat udara sipil di ruang udara international.
b. Insiden pesawat USA EP-3E dengan pesawat China F-8
Pada hari Minggu tanggal 1 April 2001 pesawat jet tempur supersonik Jianjiji-8 (F-8) milik China telah bertabrakan dengan pesawat pengintai Turbo Prop EP-3E Aries II milik USA diwilayah udara bebas diatas laut China Selatan, sekitar 130 sebelah Tenggara Pulau Hainan, atau sekitas 19 km diluar teritorial udara China.
Pada hari itu, pesawat EP-3E lepas landas dari pangkalan udara USA Kadena, Okinawa, Jepang, untuk melaksanakan misi terbang rutin patroli dan pengintaian (surveillance) di wilayah udara internasional diatas laut China selatan.
Disekitar wilayah udara pulau Hanian, pesawat diintersep oleh 2 pesawat temput F-8 China. Dalam intersepsi ini antara pesawat USA dan pesawat China bersenggolan, mengakibatkan seorang Pilot temput China Wang Wei hilang tidak diketemukan.
Bagian hidung dan sayap kiri pesawat USA bersenggolan dengan pesawat temput China mengakibatkan hancurnya baling-baling pesawat sebelah kiri pesawat USA. Akibat kerusakan yang diderita pesawt EP-3E, pesawat jatuh sampai 5000 kaki (1500 meter), namun akhirnya dapat mendarat darurat di pulau Hainan Pesawat dan krunya sebanyak 21 pria dan 3 wanita ditahan 11 hari oleh Pemerintah China.
Kru tersebut dilepaskan oleh China setelah Pemerintah China melakukan inspeksi terhadap pesawat EP-3E, serta setelah USA menyampaikan surat permohonan maaf kepada Pemerintah China. Pesawat F-8 milik China satu diantaranya yang dikemudikan oleh Wang Wei, pecah dan jatuh ke laut, Wang Wei sendiri hilang tidak diketemukan.
1) Versi USA
Menurut versi USA, pesawat F-8 terbang dalam jarak 2 atau 3 kaki (sekitar 90 cm) dari pesawat EP-3E sebelum ekor F-8 menyenggol sayap kiri EP-3E, akibat senggolan ini membuat F-8 membelok ke kanan sehingga menghantam hidung EP-3E. Pemerintah USA mengatakan bahwa insiden itu terjadi disekitar 130 km di luar tertorial negara China (ruang udara bebas)
2) Versi China
Kedua pesawat China F-8 terbang disebelah kiri dari pesawat EP-3E, pesawat yang dikemudikan oleh Wang Wei berada yang paling dekat dengan pesawat EP-3E, dalam jarak kurang lebih 400 m. dalam intersepsi tersebut tiba-tiba pesawat USA membelok kekiri dan menabrak pesawat F-8 yang dikemudikan oleh Wang Wei. Hidung pesawat USA menabrak badan pesawat F-8, sedangkan baling-balingnya menabrak ekor pesawat F-8, mengakibatkan pesawat China tidak terkendali dan jatuh ke laut.
Menurut saksi mata, yaitu Zao Yu, pilot pesawat F-8 lainnya mengatakan bahwa pesawat Wang Wei tidak mungkin menghindar sebab tiba-tiba saja baling-baling sayap sebelah kiri pesawat USA mengenai bagian ekor pesawat yang dkimudikan oleh Wang Wei. Pemerintah China mengatakan bahwa insiden tersebut terjadi di Zona ekonomi 200 mil lepas pantai dari China.
Mencermati apa yang dikemukakan oleh USA maupun China, mereka bermaksud menjelaskan kepada dunia luar, bahwa pihaknya menurut versinya masing-masing tidak melanggar kaidah hukum internasional.
Justifikasi atau alasan pembenaran yang dapat dijadikan dasar hukum internasional untuk melakukan tindakan hukum terhadap pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di raung udara internasional adalah hak untuk pertahanan diri (the right of Self Defence), sebagaimana dimuat dalam Piagam PBB (UN Charte Article 51)
Article 51 itu menyebutkan
Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individualor collective self-defence if an arment attack occurs againts a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-sefence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authorty and responsibility ot the Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security..

Menurut hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan hukum dengan alasan “the Right of Self-Defence”, apabila:
a. Teritorialnya, kapal atau pesawat udara berkebangsaan dari negaranya berada dalam ancaman atau diserang:
b. Tindakan terpaksa diambil karena situasi diambil karena situasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tindakan alternatif.
c. Tindakan yang diambil tidaklah berlebihan (disproporsional) dibanding dengan ancaman/bahaya yang dihadapi.
Disamping itu ada beberapa justifikasi yang lain, meskipun justifikasi berikut ini kurang kuat, yaitu:
a. Tindakan antisipasi sebagai pertahanan diri terhadap teroris
b. Tindakan balasan disebabkan karena kondisi yang tidak memuaskan atas negara lain yang telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional;
c. Intersepsi atau pengalihan arah terhadap pesawat udara yang leintas di wilayah ADIZ disebabkan pesawat tersebut tidak menunjukkan indentitasnya;
d. Pengejaran (hot pursuit) terhadap pesawat udara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksinya;
e. Tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah pembajakn
f. Diwilayah internasional yang secara temporer sedang ditetapkan sebagai zona militer, misalnya sedang untuk latihan perang atau uji coba senjata.

[+/-] NEXT...