Kamis, 30 April 2009

Sengketa Bersenjata Non-Internasional

Secara harfiah pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa di mana tidak ada keterlibatan negara atau bangsa lain, dengan kata lain sengketa yang terjadi di wilayah salah satu negara antara pemberontak dengan pasukan Pemerintah.
Hans-Peter Gasser memberikan batasan mengenai sengketa bersenjata non-internasional, yaitu:
non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.


non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.

Terjemahan bebasnya adalah: sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri. Selanjutnya F. Sugeng Istanto mengatakan pembahasan pengaturan sengketa intemasional dalam hukum humaniter lnternasional dibaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Instrumen hukum humaniter internasional yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional.
b. Materi yang diatur masing-masing hukum humaniter internasional.
c. Rangkaian instrumen hukum humaniter intemasional.
Hukum humaniter internasional mengatur konflik bersenjata non-internasional di dalam dua macam perjanjian, yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan II 1977. Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Sengketa bersenjata internasional, kedua belah pihak yang bersengketa memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara, sedangkan sengketa bersenjata non-internasional status kedua pihak tidaklah sama. Pihak yang satu berbentuk negara dan pihak yang lain adalah satuan bukan negara (non-state entity). Sengketa bersenjata non-internasional dalam batas-batas ini dapat dilihat sebagai suatu situasi di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dan kelompok bersenjata yang terorganisir (organize armed group) di dalam wilayah suatu negara. Kemungkinan lainnya, sengketa bersenjata non-internasional ini juga dapat berupa suatu situasi di mana suatu fraksi-fraksi bersenjata saling bertempur satu sama lain tanpa intervensi dari suatu angkatan bersenjata pemerintah yang sah. Seluruh perangkat hukum humaniter internasional berlaku dalam konflik yang bersifat internasional, sedangkan dalam konflik yang bersifat non-internasional yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 , dan Protokol Tambahan II 1977.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berbunyi:
In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, an minimum, the following pro visions.
(1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those placed host the combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria.
To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatever with respect to the above-mentioned persons:
(a) violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture;
(b) taking hostages;
(c) outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment;
(d) the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounces by a regularly constituted court, affording all guarantees which are recognized as indispendesable by civilized peoples.

(2) The wounded and suck will collected and cared for.
And impartial humanitarian body, such as the International Committee of the Cross, may offer its services to the Parties to the conflict. The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means special agreements, all or part of the other provisions of the present Convention. The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict.

Artinya adalah:

Pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak Peserta Agung, tiap pihak dalam pertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan berikut:
(1) Orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata, mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun, harus diberlakukan dengan perikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan apa pun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
(a) Untuk maksud ini maka tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, penganiayaan;
(b) penyanderaan;
(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) dan menghukum serta menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab dilarang dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat manapun;
(2) yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Palang Merah International dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Pihak dalam pertikaian selanjutnya harus berusaha menjalankan dengan jalan persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan tersebut tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian.

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menggunakan istilah sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Konvensi Jenewa tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka penafsiran pasal ini sangat luas dan tidak terdapat definisi baku secara yuridis. Secara faktual terdapat beberapa konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dalam komentar Konvensi Jenewa. Komentar para ahli merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan yang terjadi pada saat pembentukan konvensi. Komentar tersebut sebagai berikut:
Disepakati oleh para peserta konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata (armed conflict) dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa yang harus dipenuhi supaya Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional.

Usul ini tidak diterima secara resmi dan tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa 1949. Namun Pictet berpendapat dengan adanya usul yang memuat syarat-syarat tersebut, bermanfaat sebagai sarana untuk membedakan sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan-tindakan yang lainnya seperti para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).
Syarat-syarat untuk adanya sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki suatu kekuatan militer yang terorganisir, suatu pimpinan yang bertanggungjawab atas perbuatannya, yang bertindak atas suatu wilayah tertentu, dan mempunyai sarana untuk menghormati dan melaksanakan konvensi;
b. bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent;
c. bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan sehingga dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian internasional;
d. bahwa penguasa sipil dari pemberontak menjalankan kekuasaan de facto atas suatu wilayah tertentu;
e. bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah pengawasan suatu penguasa sipil dan bersedia untuk menaati hukum perang.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 pada Pasal 1 memiliki ketentuan yang berbeda dengan Konvensi Jenewa 1949, dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 menggunakan istilah sengketa bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata bersifat internasional. Rumusan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 adalah sebagai berikut:
This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces of other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol.

Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 di atas, bahwa pasal ini tidak diterapkan pada konflik bersenjata internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I Tahun 1977, termasuk yang disebut perang pembebasan nasional.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 juga tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional. Penjelasan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dalam komentar Protokol Tambahan II Tahun 1977 sebagai berikut:
Karena protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dan mengingat bahwa konflik-konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus dari konflik tersebut

Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah:
1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.

Melihat kriteria di atas, sangat sukar bagi pihak pemberontak atau pihak-pihak yang bersangkutan untuk memenuhi persyaratan tersebut apalagi dari segi teknis militer. Oleh karena itu, bilamana timbul suatu pergolakan di daerah (di dalam negeri) tidak mudah untuk menentukan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan kontak senjata, kekacauan, ketegangan, huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan di salah satu tempat dan lain sebagainya adalah pemberontak, karena mereka belum tentu memenuhi persyaratan sebagai pemberontak yang diatur di dalam hukum humaniter internasional, dengan kata lain pergolakan itu harus diketahui statusnya.



[+/-] NEXT...

Pengertian Perang atau sengketa bersenjata internasional

A. Mansyur Efendi mendefinisikan perang atau sengketa bersenjata sebagai suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata. Oppenheim berpendapat “war is contention betwen two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases.” Terjemahan bebasnya sebagai berikut: perang merupakan pertikaian antara dua negara atau lebih melalui angkatan bersenjatanya, yang bertujuan saling mengalahkan dan menciptakan keadaan damai sesuai keinginan pemenangnya. Terdapat beberapa unsur yang sama dalam setiap perselisihan atau persengketaan yang akhirnya terwujud dalam bentuk yang paling ekstrim yaitu perang fisik, di mana masing-masing pihak berusaha untuk memaksakan kehendaknya.


Sengketa Bersenjata Internasional (International Armed Conflict)

Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place.

Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga mengatur sengketa bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977 disebut bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949.
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan:
In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present Convention shall apply all cases qf declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high contracting parties, even if the State of war is not recognized by one of them.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam perang antara dua atau lebih pihak Peserta Agung yang diumumkan, sekalipun pertikaian senjata tarsebut tidak diakui sebagai keadaan perang, dan pendudukan sekalipun pendudukan itu tidak menemui perlawanan.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4), yang menyebutkan bahwa Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antar suatu bangsa melawan colonial domination alien occupation, dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara.
Dimasukkannya situasi colonial domination alien occupation, dan racist regimes, yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflict ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan perkembangan baru terhadap Konvensi Jenewa 1949. CAR Conflict yang dimaksud dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah konflik-konflik yang berkaitan dengan upaya untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu bangsa. Ada beberapa kriteria agar suatu kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bangsa, yaitu apabila berdiri dalam suatu wilayah yang memiliki bahasa yang sama, kesamaan etnik dan budaya.
Penentuan nasib sendiri hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa. Hal ini berarti bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa yang berada di suatu negara, misalnya dalam Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana mereka mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Kelompok semacam ini berhak atas perlindungan akan tetapi bukan untuk menentukan nasib sendiri.
Bangsa yang melakukan upaya untuk menentukan nasib sendiri dengan jalan kekerasan bersenjata biasanya disebut Gerakan Pembebasan Nasional (National Liberation Movement) dan perjuangan itu disebut dengan War of National Liberation. Salah satu pertimbangan mengapa CAR Conflict diatur dengan dirumuskan ke dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah untuk memberikan perhatian kepada War of National Liberation dan National Liberation Movement, ini terbukti dengan adanya Resolusi Majelis Umum No. 3102 (XXVII) tahun 1973 yang antara lain berbunyi:
Urged that the national liberation movement recognized by the various regional international organization concerned be invited to participate in the Diplomatic conference as observers in accordance with the practise of the United Nations.
Artinya: Didorong oleh sebab gerakan pembebasan nasional diakui oleh berbagai wilayah organisasi internasional maka diundang untuk turut serta dalam konferensi diplomatik sebagai pengamat sesuai dengan Praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu keputusan yang diambil oleh Diplomatic Conference adalah hal yang berkaitan dengan undangan kepada National Liberation Movement, yang menyebutkan:
Decides to invite the national liberation movement wich are recognized by the regional intergovernmental organizations concerned, to participate fully in the deliberations of the conference and its main committees.
Maksudnya: Memutuskan untuk mengundang Gerakan Pembebasan Nasional yang diakui oleh organisasi antar pemerintah yang ada di wilayah tersebut untuk turut serta secara penuh dalam konferensi dan dalam komite utama ini.



[+/-] NEXT...

Rabu, 29 April 2009

Pengertian Jurisdiksi Negara dalam hukum pidana internasional

Jurisdiksi (jurisdiction) di dalam Encyclopedia Americana yaitu, “Jurisdiction”, in law, a term for power or authority. It is usually applied to courts and quasi judicial bodies, describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation, the term means the authority to declare and enforce the law.” (Terjemahan bebas: jurisdiksi, dalam hukum adalah istilah untuk menunjukkan kekuatan atau kewenangan. Biasanya digunakan untuk badan peradilan atau badan negara lain yang berdasar atas hukum, untuk menggambarkan batasan dari haknya untuk bertindak. Jika digunakan untuk negara atau bangsa, istilah tersebut berarti kewenangan untuk menetapkan dan memaksakan hukum).
Jadi pada dasarnya jurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya tercakup pula batas-batas atau luasnya ruang lingkup kekuasaan atau kewenangan itu, untuk membuat, melaksanakan atau menerapkan hukum yang berlaku, maupun untuk memaksakannya kepada pihak-pihak yang tidak mentaatinya. Jika jurisdiksi dikaitkan dengan negara atau bangsa, berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara untuk menetapkan dan memaksakan hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri di dalam ruang lingkup batas-batas wilayahnya. Selain itu terdapat jurisdiksi negara berdasarkan hukum internasional, yaitu hak, kekuasaan, atau kewenangan dari suatu negara dalam membuat, memberlakukan, melaksanakan, dan atau memaksakan hukum nasionalnya atas suatu objek hukum, baik yang ada atau terjadi di dalam dan atau di luar batas-batas wilayahnya. Sumber dari hak, kekuasaan, dan atau kewenangan tersebut adalah hukum internasional, karena hukum internasionallah yang memberikan hak, kekuasaan, dan kewenangan kepada negara-negara untuk membuat, melaksanakan, dan atau memaksakan hukum nasionalnya terhadap objek hukum tersebut

Menurut Imre Anthoni Csabafi dalam bukunya “The Concept of State Yurisdiction in International Space Law” mengatakan bahwa, “State jurisdiction in public international law means the right of state to regulate or affect by legislative, executive or judicial measure the rights of persons, property, acts or events with respect to matters not exclusively of domestic concern.” (Terjemahan bebas: jurisdiksi negara dalam hukum publik internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur atau mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, atau yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri).
F.A. Mann dalam bukunya “ Studies in International Law” menyatakan bahwa, “When public international lawyers pose the problem of jurisdiction, they have in mind the state’s rights under international law to regulate conduct in matters not exclusively of domestic concern”. (Terjemahan bebas: apabila para ahli hukum internasional berhadapan dengan masalah jurisdiksi, dalam pikiran mereka terbayang atas hak suatu negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur perilaku yang berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak secara eksklusif merupakan masalah-masalah dalam negeri).
Berdasarkan definisi jurisdiksi negara dari menurut Imre Anthoni Csabafi dan F.A. Mann di atas, maka dapat dikemukakan secara singkat dan garis besar unsur-unsur dari jurisdiksi negara yaitu :
1. Hak, kekuasaan atau kewenangan; bahwa dengan hak, kekuasaan dan kewenangan ini suatu negara akan dapat berbuat atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas hukum yaitu hukum internasional.
2. Mengatur (legislatif, eksekutif dan yudikatif); mencakup membuat atau menetapkan peraturan (legislatif), melaksanakan atau menerapkan peraturan yang telah dibuat atau ditetapkan (eksekutif), memaksakan, mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum pihak yang melanggar peraturan tersebut (yudikatif).
3. Objek (hal, peristiwa, perilaku, orang ,benda); merupakan akibat hak kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur.
4. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern);
Masalah-masalah yang merupakan masalah dalam negeri (domestik) suatu negara, tunduk pada jurisdiksi nasional negara itu sendiri. Tetapi terhadap objek atau masalah yang mengandung aspek internasional namun ada kaitannya dengan kepentingan lebih dari satu negara, maka hukum internasional yang akan mengatur dan menentukannya. Namun yang perlu ditekankan adalah objek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek internasional, yang menjadi ciri yang menunjukan bahwa hak, kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur objek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional melainkan pada hukum internasional.
5. Hukum internasional (sebagai dasar atau landasannya);
Hak, kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur objek yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik, adalah berdasarkan pada hukum internasional. Dengan perkataan lain, hukum internasionallah yang memberikan hak, kekuasaan dan kewenangan kepada negara untuk mengatur objek yang semata-mata bukan merupakan masalah domestik, dan hukum internasional pula yang membatasinya.


[+/-] NEXT...

Macam-macam hak istimewa dan kekebalan diplomatik

Adanya pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan bagi para pejabat diplomatik pada hakikatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali, di mana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasional. Hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang diberikan kepada pejabat diplomatik suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik, hak istimewa dan kekebalan tersebut di antaranya adalah:
1. Kekebalan perwakilan diplomatik
Kekebalan diplomatik dalam bahasa asingnya mencakup dua pengertian yaitu inviolability dan immunity. Inviolability adalah kekebalan terhadap alat-alat kekuasan negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan. Sehingga di sini terkandung pengertian perwakilan diplomatik memiliki hak mendapat perlindungan dari alat-alat kekuasaan negara penerima. Bahwa pejabat diplomatik inviolable, tidak dapat ditangkap atau ditahan oleh alat perlengkapan negara penerima. Negara penerima mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah demi menjaga serangan atas kehormatan pribadi pejabat diplomatik yang bersangkutan, sedangkan immunity adalah kekebalan terhadap yuridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana, perdata, maupun administratif



1. Kekebalan perwakilan diplomatik
Kekebalan diplomatik dalam bahasa asingnya mencakup dua pengertian yaitu inviolability dan immunity. Inviolability adalah kekebalan terhadap alat-alat kekuasan negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan. Sehingga di sini terkandung pengertian perwakilan diplomatik memiliki hak mendapat perlindungan dari alat-alat kekuasaan negara penerima. Bahwa pejabat diplomatik inviolable, tidak dapat ditangkap atau ditahan oleh alat perlengkapan negara penerima. Negara penerima mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah demi menjaga serangan atas kehormatan pribadi pejabat diplomatik yang bersangkutan, sedangkan immunity adalah kekebalan terhadap yuridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana, perdata, maupun administratif.
a. Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik
Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa:
The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrestor detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.

Adapun maksudnya adalah, agen diplomatik tidak dapat diganggu-gugat. Dia tidak akan bertanggung jawab kepada setiap bentuk penangkapan dan penahanan. Negara penerima akan memperlakuannya dengan hormat dan akan mengambil semua langkah yang tepat apapun serangan terhadap dirinya, kebebasan atau martabat.

Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dapat diperinci menjadi empat bagian, antara lain:
1). Kekebalan terhadap kekuasaan negara penerima
Kekebalan dalam bentuk ini misalnya adalah kekebalan terhadap paksaan, penahanan dan penangkapan. Ketentuan ini memberikan petunjuk bagi alat-alat negara penerima untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan pengertian yang terdapat dalam penjelasan Pasal 29 Konvensi Wina 1961.

2). Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan atau serangan atas diri pribadi dan kehormatannya.
Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap gangguan, serangan atas kebebasan dan kehormatan diri pejabat diplomatik sebagaimana di Indonesia yang telah menjamin dan mengatur dalam Pasal 143 dan 144 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Pasal 143 KUHP menyebutkan:
“Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Pasal 144 KUHP menyebutkan:

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

3). Kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961, antara lain:
(1) Seorang wakil diplomatik akan menikmati kekebalan dari pengadilan kriminil (pidana) dari negara penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari pengadilan sipil dan administratifnya, kecuali dalam hal:
(b) Tindakan nyata yang berhubungan dengan barang milik tak bergerak pribadi yang terletak di daerah negara penerima, kecuali apabila ia menguasainya atas nama negara pengirim untuk maksud misi;
(c) Tindakan nyata yang berhubungan dengan penggantian, dalam mana wakil diplomatik itu terlibat sebagai pelaksana/ administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
(d) Tindakan yang berhubungan dengan kegiatan profesional atau komersial, yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima, di luar fungsi resminya.
(2) Wakil diplomatik tidak diharuskan memberi bukti sebagai saksi
(3) Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya.
(4) Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.

Kekebalan perwakilan diplomatik terhadap tuntutan pengadilan kriminil (31 Konvensi Wina 1961), bukan berarti bahwa seorang wakil diplomatik tidak menghormati dan menghargai undang-undang dan peraturan negara penerima. Tanpa mengurangi hak istimewa dan kekebalan diplomatik merupakan suatu kewajiban dari orang yang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum-hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Di samping itu ia juga mempunyai kewajiban untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri dari negara setempat.
Tuntutan sipil dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang wakil diplomatik asing, dan tidak ada tindakan sipil apapun yang berhubungan dengan utang piutang dan lain-lainnya, yang serupa yang dapat diajukan terhadap wakil-wakil diplomatik di depan pengadilan-pengadilan sipil dari negara penerima. Wakil diplomatik tidak dapat ditangkap karena utang-utang mereka, juga terhadap alat-alat perkakas rumah tangga mereka, kendaraan bermotor dan lain-lain yang mereka miliki, disita untuk membayar utangnya.
4. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut:
A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness.

Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas.
b. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman perwakilan diplomatik
Larangan mengganggu dan kewajiban memberikan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik asing merupakan kesepakatan yang diakui secara universal dan telah dilakukan oleh negara-negara sejak jaman dahulu. Konsep ini merupakan akibat didirikannya misi diplomatik tetap di suatu negara yang mutlak memerlukan perlindungan terhadap campur tangan asing. Oleh karena itu, negara penerima berkewajiban memgambil segala tindakan yang diperlukan agar kantor ataupun rumah kediaman perwakilan diplomatik bebas dari segala gangguan.
Tidak diganggu–gugatnya gedung perwakilan asing suatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya.
Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:
1. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan;
2. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya;
3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.

Pengaturan Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan dalam ayat 2 berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Makna lain dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan negara penerima yang diberikan bukan saja di lakukan di dalam gedung perwakilan (interna rationae) tapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).
Hubungannya dengan hak kekebalan dari gedung perwakilan asing, maka negara pengirim dibebankan suatu kewajiban khusus untuk mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap perlu guna melindungi tempat kediaman dan tempat kerja perwakilan itu, terhadap setiap pemasukan yang tidak sah atau perbuatan pengrusakan serta melindungi perbuatan pengacauan terhadap ketentraman dari pada perwakilan asing atau dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kehormatan negara pengirim.
c. Kekebalan terhadap korespondensi perwakilan diplomatik
Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi.
Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya.
Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:
The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.

Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut.



[+/-] NEXT...

Hak Istimewa dan kekebalan diplomatik

Dasar pemberian hak Istimewa dan kekebalan diplomatik
Ada 3 (tiga) teori dalam hukum internasional mengapa diberikannya hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik kepada pejabat-pejabat diplomatik, antara lain:
1). Teori Exterritoriality (Teori Eksteritorialitas).
Menurut teori ini seorang wakil diplomatik karena dianggap tidak berada di wilayah negara penerima, tapi berada di wilayah negara pengirim, meskipun pada kenyataannya berada di wilayah negara penerima. Oleh karena itu, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima, tidak dapat dikuasai oleh hukum negara penerima, dan tidak takluk pada segala peraturan negara penerima. Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik tersebut adalah dikuasai oleh hukum dari negara pengirim


Teori exterritoriality ini dianggap tidak sesuai dengan praktik kebiasaan pemberian hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam pergaulan antar negara, sehingga teori Exterritoriality dalam bentuk asalnya ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
2). Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representative Character).
Menurut teori ini hak-hak kekebalan dan istimewa yang didapatkan oleh perwakilan diplomatik suatu negara yaitu karena ia mewakilli negaranya atau kepala negaranya di luar negeri. Sir Gerald Fitzmaurice mengatakan bahwa, seorang wakil diplomatik sebagai wakil negara berdaulat, memperlihatkan ketidaksetiaan kepada negara tempat ia diakreditir dan dengan demikian ia tidak tunduk kepada hukum dan jurisdiksi negara penerima.
3). Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Necessity)
Menurut teori ini dasar pemberian hak-hak kekebalan dan istimewa kepada perwakilan diplomatik adalah karena seorang perwakilan diplomatik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya dengan sempurna, dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi secara buruk haruslah dicegah. Teori kebutuhan fungsional ini merupakan dasar hukum yang paling banyak dianut dalam pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik.
Pada mulanya pelaksanaan serta pengakuan hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik berdasarkan pada kebiasaan praktik yang berlangsung antar negara yang mengadakan pertukaran wakil diplomatik. Perkembangan dunia internasional kemudian merasakan perlu adanya pembuatan suatu konvensi internasional, sebagai dasar hukum tertulis yang umum dan dapat digunakan oleh semua negara secara timbal balik. Kecenderungan ini akhirnya menghasilkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang merupakan pengakuan hukum internasional akan adanya pemberian hak-hak kekebalan diplomatik tersebut.
Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu terdapat 2 Protokol Pilihan (Optional Protocol) mengenai Perolehan Kewarganegaraan dan Keharusan untuk Menyelesaikan Sengketa yang masing-masing terdiri dari 8 dan 10 pasal. Konvensi Wina 1961 dan kedua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964.


[+/-] NEXT...

Pengertian dan sumber hukum diplomatik

Para sarjana internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yang mempunyai sebagaian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi internasional yang ada. Pemakaian perkataan diplomasi itu secara berbeda-beda menurut penggunaannya, diplomasi dapat berarti politik luar negeri, misalnya jika dikatakan diplomasi RI di Afrika perlu ditingkatkan, dapat pula berarti perundingan, misalnya jika dikatakan masalah timur tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi, dan sebagainya.
Bertolak dari itu semua, diplomasi merupakan cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui, di mana praktik-praktik semacam itu telah diakui sejak dahulu. Diplomasi berarti menggunakan segala kebijaksanaan dan kecendikiawanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubungan resmi antara pemerintah-pemerintah dan negara-negara yang merdeka.

Ada berbagai definisi dari diplomasi, apabila dilihat rumusan pokok, bahwa diplomasi adalah pengadaan hubungan antara pemerintah dengan cara perdamaian (the conduct of bussines states by pecefull means), antara lain:
Oxford Progressive Dictionary

Diplomacy (skill in) management of relation, skill in dealing with people so that bussiness is done Smoothly..
Adapun yang dimaksud diplomasi adalah kecakapan dalam pengelolaan hubungan, kecakapan dalam melakukan perjanjian dengan orang lain sehingga urusan terselesaikan dengan lancar.

Menurut Encyclopedia Britannica

Diplomaticy is the management of foreign affairs (diplomasi adalah pembinaan urusan-urusan luar negeri.)

Sedangkan Sir Ernest Satow, dalam bukunya “Guide to Diplomatic Practice”.
Diplomacy as application of intelligence and tact to the conduct of official relations between the government of independent states.
Terjemahan bebasnya diplomasi adalah penggunaan kecendikiawanan dan kebijaksanan dalam melaksanakan dan memelihara perhubungan-perhubungan resmi antara pemerintah-pemerintah dari negara-negara yang merdeka.

Dari adanya berbagai batasan tersebut, arti diplomasi yang disebutkan dalam Oxford English Dictionary menurut Harold Nicholson adalah paling tepat dan luas yaitu:
-. The management of internal relations by means of negotiations;
-. the method by wich these relations are adjusted and managed by ambassador and envoys;
-. the bussiness or art of the diplomatist;
-. skill or address in conduct of international intercourse and negotiations.

Adapun artinya adalah :
-. Pengelolaan hubungan internal dengan cara negoisasi;
-. cara dari pada pengendalian serta pemeliharaan hubungan-hubungan internasional itu oleh para duta-duta besar dan duta-duta;
-. pekerjaan ataupun pengetahuan serta kebijaksanaan seorang diplomat;
-. keahlian atau kemampuan berbicara dalam memimpin hubungan dan perundingan.

Dari batasan dan pengertian di atas, maka terdapat beberapa faktor yang penting, yaitu hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan, hubungan dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya, para pejabat harus diakui statusnya sebagai pejabat diplomatik dan agar para pejabat itu dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efisien. Diplomat perlu diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan yang didasarkan atas aturan-aturan dalam hukum kebiasaan internasional serta perjanjian-perjanjian lainnya yang menyangkut hubungan diplomatik antar negara. Dengan demikian hukum diplomatik adalah ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip yang dituangkan di dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil kodifikasi hukum kebiasaan Sumber hukum diplomatik di dalam pembahasannya tidak dapat dipisahkan dari apa yang tersebut dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:
a. International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting state.
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as a law.
c. The general principles of law recognized by civilized nations.
d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicists of the various nations, as a subsidiary means for the determination of rules of law.

Adapun yang dimaksud adalah :
a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus.
b. Kebiasaan internasional, terbukti dalam praktik-praktik umum dan diterima sebagai hukum
c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
d. Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum.

Peraturan-peraturan yang ditegaskan dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional inilah yang oleh Mochtar Kusumaatmadja disebut sebagai sumber hukum formil. Kebiasaan dan perjanjian internasional, keduanya dapat merupakan sumber pokok dalam hukum diplomatik, sedangkan sumber hukum lainnya seperti prinsip-prinsip umum dalam hukum yang diakui oleh negara-negara dan keputusan-keputusan mahkamah lebih bersifat subsider.



[+/-] NEXT...

I'm Back!!!

Berhari-hari sudah aku tidak menyentuh computerku...

aku terdampar di Ibu Kota, mencari kerja...

Assalamu'alaikum...

aku balik lagi nich,,,

nulis lagi,,posting lagi...blogging lagi...

kemaren habis berkelana di jakarta...ikutan tes seleksi karyawan pt. pelindo (persero)...

yah,,meski belum pernah ke jakarta,,akhirnya bener2 nyasar juga di sana!!hahaha...

tapi aku sudah kembali,,,

MOHON DOANYA YA,,, AGAR AKU LOLOS SELEKSI...

biar ga nyadong terus sama ortu...

salam sukses!!!

OPTIMIS!!!!!!



[+/-] NEXT...

Hubungan Diplomatik. Bagaimana Sejarah dan Perkembangannya?

Diplomasi sudah dilakukan sejak dahulu, sebagai sarana komunikasi pejabat negara termasuk kepala negara dalam mengadakan hubungan dan melakukan perundingan. Para petugas diplomasi berusaha menjaga hubungan baik di antara kepala negara, melindungi kepentingan negara dan warganya dengan sopan santun, baik tutur maupun tindakannya. Kegagalan di bidang diplomasi akan menimbulkan ketegangan, yang disusul oleh persengketaan antar negara. Kegiatan pelaksanaan hubungan baik antar negara-negara di dunia ini, berasal dari kata diploma (dari bahasa Latin dan Yunani) yang dapat diartikan surat kepercayaan. Perkataan diploma kemudian menjelma menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik.


Pada masa lampau Kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara untuk keperluan tentaranya telah membangun jalan-jalan untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan tersebut sangat penting tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga diperlukan untuk para pedagang pada waktu itu. Pemerintah Kerajaan Romawi kemudian mengizinkan para pedagang untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat dengan membawa metal (logam tipis) bundar yang diberi cap dan disebutkan keahlian/kepandaian serta bakat orang yang membawanya. Metal (logam tipis) bundar ini disebut sebagai diploma (surat kepercayaan), dan orang yang membawanya disebut sebagai diplomat. Kemudian diploma yang semula berbentuk logam tipis itu diganti dengan passport (to pass a port; port = portal). Untuk mencegah kepalsuan keterangan yang tercantum dalam diploma (passport) itu, kantor-kantor perwakilan (disebut “res diplomatika”) mengadakan pemeriksaan untuk memeriksa apakah passport itu benar atau palsu. Kantor perwakilan tersebut yang sekarang ini menjadi kedutaan (embassy).
Perkembangan diplomasi telah membawa perubahan di kalangan hubungan internasional. Diplomasi dalam sejarahnya bersifat rahasia, hanya negara yang bersangkutan saja yang boleh mengetahuinya. Tetapi belakangan ini timbul keinginan dari masyarakat dunia untuk tidak lagi merahasiakan isi perundingan, dan lebih condong kepada diplomatic control. Di Inggris usaha ke arah ini dipimpin oleh kaum sosialis. Presiden Wilson mengemukakan empat belas usul dalam rencana perdamaian dunia tahun 1918, termasuk salah satu di antaranya adalah perdamaian dibuat secara terbuka dan menghapuskan diplomasi rahasia.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II di mana banyak timbul negara-negara baru merdeka dan berdaulat. Suatu negara yang berdaulat mempunyai hak keterwakilan (the right of legation). Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi yang aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara lainnya. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya. Perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsulernya ke negara-negara lain dan berkewajiban untuk menerima perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler dari negara-negara berdaulat lainnya. Hak untuk mewakili dan diwakili ini pada hakekatnya merupakan atribut dari suatu negara yang berdaulat penuh.
Untuk memulai membuka hubungan, baik perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler harus diadakan terlebih dahulu kontak dengan negara-negara yang akan menerima atau negara-negara yang bersangkutan. Pembukaan atau pertukaran perwakilan diplomatik maupun konsuler dengan negara-negara sahabat, pada umumnya harus memenuhi syarat-syarat yaitu, harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual consent), sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yaitu hubungan diplomatik antara negara-negara dan hubungan misi diplomatiknya dilahirkan atas dasar persetujuan bersama. Selain itu penciptaan hubungan diplomatik juga harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku.
Suatu negara pengirim harus mengusahakan persetujuan dengan negara penerima untuk seseorang yang dicalonkan untuk menjadi kepala misi diplomatik dari negara pengirim di negara penerima. Negara penerima berhak menolak untuk memberikan persetujuan (agreement), dan negara penerima juga tidak memiliki kewajiban untuk mengemukakan alasan penolakannya tersebut. Apabila negara penerima menyatakan persetujuannya, maka duta tersebut dengan membawa surat kepercayaan (letter of credence) yang telah ditandatangani oleh kepala negaranya ke tempat tugasnya. Surat ini harus diberikan kepada negara penerima. Wakil itu sendiri yang harus membawa surat-surat yang sudah disegel dan sebuah salinan. Pada saat tibanya, surat kepercayaan (letter of credence) ini harus dipersembahkan sendiri oleh wakil yang bersangkutan kepada kepala negara penerima.
Konvensi Wina 1961 membagi tingkatan perwakilan diplomatik (kepala perwakilan) dalam Pasal 14 ditetapkan sebagai berikut:
a. Duta-duta besar, nuncios dan lain-lain kepala perwakilan yang diakreditir kepada kepala negara.
b. Minister Plenipotentiary dan Envoy Extraordinary, Internuncios yang diakreditir kepada kepala negara.
c. Charge d’affairs yang diakreditir kepada menteri luar negeri.

a. Duta Besar (Ambassador)
Tingkatan ini adalah tingkatan paling tinggi di dalam perwakilan diplolmatik. Di tempat mana duta besar diakreditir, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. Duta besar biasanya dikirim oleh negara besar yang sebaliknya juga menerima duta besar di negaranya. Duta besar dapat langsung beraudiensi dengan kepala negara, sedangkan perwakilan diplomatik lainnya, hendaklah dengan perantaraan menteri luar negeri.
b. Duta Istimewa dan Menteri Berkuasa Penuh (Envoyes Extraordinaires et Minister Plenipotentiaires)
Duta istimewa dan menteri berkuiasa penuh lebih tepat lagi jika menggunakan kata duta biasa, kedudukannya dapat disamakan dengan Internuntius dari Vatican. Praktiknya tidak banyak berbeda dengan ambassador atau duta besar.
c. Kuasa Usaha (Charges d’affaires)
Kuasa usaha untuk sementara dapat memimpin kedutaan, apabila dutanya sedang tidak berada pada posnya. Seorang kuasa usaha mungkin dapat diangkat untuk sesuatu negara saja (charges d’affaires en pied), mungkin juga mempunyai kedudukan lebih dari satu kota, karena kuasa usaha ditugaskan untuk negara-negara itu (charges d’affires ad interim atau charges des affaires).
Selanjutnya dalam pos-pos diplomatik, terdapat pula tingkatan diplomatik sebagai berikut:
- Ambasador
- Minister atau Duta
- Minister Councelor
- Sekretaris I
- Sekretaris II
- Sekretaris II
- Atase


[+/-] NEXT...

Akibat perjanjian internasional


a. Akibat perjanjian terhadap negara pihak
Sifat mengikat ini berarti negara pihak suatu perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Organ-organ negara harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Sebagaimana disebutkan Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang menunjukkan maxim atau peribahasa pacta sunt servanda, yaitu tiap perjanjian mengikat para pesertanya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebagai konsekuensinya, perjanjian tidak dapat mengikat pihak-pihak yang tidak ikut serta sebagai negara peserta perjanjian. Pengakuan atas prinsip ini disebut sebagai prinsip perjanjian yang dilakukan oleh pihak lain tidak memberikan keuntungan atau kerugian terhadap pihak luar (res inter alios acta nec nocet nec prodest). Prinsip ini merupakan dasar pokok hukum perjanjian dan telah diakui secara universal dan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law). Peradilan-peradilan dan arbitrasi internasional dalam keputusannya selalu menyebut prinsip itikad baik tersebut. Pasal 2 ayat 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa, semua negara harus melaksanakan dengan itikad baik semua kewajiban sesuai dengan piagam. Dari segi intern setelah undang-undang dibuat oleh penguasa yang berwenang, perjanjian tersebut dilakukan oleh semua organ negara, perjanjian yang diterima harus dilaksanakan di dalam negeri.



Pada prinsipnya suatu perjanjian berlaku pada seluruh wilayah negara yang menjadi pihak perjanjian, tetapi negara pihak perjanjian dapat menyatakan maksud lain, misalnya dapat berlaku pada bagian-bagian wilayah tertentu di wilayah nasionalnya.
b. Akibat perjanjian terhadap negara lain.
Prinsip pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa, perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak kepada negara ketiga. Jadi suatu negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan suatu perjanjian apabila negara tersebut bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Tetapi ada beberapa pengecualian terhadap prinsip-prinsip tersebut, yaitu :
-. Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka
-. Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.
-. Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka.

c. Implementasi perjanjian peraturan perundang-undangan nasional
Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional, adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung apa yang diatur dalam perjanjian internasional yang diterima. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan nasional yang menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian di mana suatu negara telah menjadi pihak, maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada manfaatnya.
Perjanjian internasional adalah perjanjian antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban negara menurut hukum internasional. Dengan adanya kewajiban terhadap perjanjian internasional merujuk pada suatu pertanggungjawaban negara terhadap perjanjian tersebut. Suatu negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada negara tergugat itu sendiri.


[+/-] NEXT...

Selasa, 21 April 2009

What Definition of Terrorism is?


There are several international conventions that define war crimes, but there is no internationally accepted definition of terrorism. There is not one international convention that actually condemns terrorism.

One definition of terrorism was given by the Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism in 1999:

Terrorism means any act of violence or threat thereof, notwithstanding its motives or intentions, perpetrated to carry out an individual or collective criminal plan with the aim of terrorizing people, or threatening to harm them or imperiling their lives, honor, freedoms, security or rights, or exposing the environment or any facility or public or private property to hazards or occupying or seizing them or endangering a natural resource or international facilities or threatening their stability, territorial integrity, political unity, and sovereignty of independent states.

A terrorist crime "is any crime executed, started or participated in to realize a terrorist objective in any of the contracting states or against its nationals." This is a very thorough definition; however, in Article 2 of this regional convention by the Conference of Islamic States, it says, "peoples' struggle including armed struggle against foreign occupation, aggression, colonialism, hegemony, aimed at liberation in accordance with the principles of international law, shall not be considered a terrorist crime."

In other words, attempts to define the attack on the World Trade Center or attacks in Israel as terrorism would be scuttled by the Conference of Islamic States. The Islamic states insist that fighting an occupation cannot be considered terrorism. Similarly, Hizballah in Lebanon claims that what they are doing today, or before Israel withdrew from Lebanon, is not terrorism. It is resistance, they claim, something that is permitted according to international law.

In fact, there is no such right of resistance to occupation in international law. When placing the question of terrorism opposite the question of international war crimes, we meet the difficulty that terrorism has not yet been defined as a war crime. The components of terrorism are war crimes, and the international community is working to develop a definition of the crime of terrorism.

Israel faces the dilemma of having bilateral commitments with the Palestinians, including commitments by the Palestinians not to engage in terrorism. In a letter signed on the eve of the first Oslo agreement in 1993 on the White House lawn, part of an exchange of letters between Yasser Arafat and Yitzhak Rabin, Arafat undertook not to carry out acts of terror, to bring to trial those who had been involved in terror, and to solve all future problems with respect to settling the questions between the two parties in a peaceful manner. There are very detailed provisions in the various agreements with the Palestinians requiring them to fight terror, collect illegal arms, fight incitement, and do all sorts of things.

How are we going to deal with the fact that there is terror being carried out on a daily basis in Israel? To explode a bus is very similar to exploding planes on the World Trade Center. How is the international community going to deal with this? Are we going to continue to see this double standard? While everybody acknowledges that there is terror and that Israel has the right to fight terror, when Israel does fight terror it is accused of carrying out war crimes.

[+/-] NEXT...

LAW IN ARMED CONFLICT

The signing of the first Geneva Convention of august 22, 1864, marked the appearance of international humanitarian law as a new branch of international public law. International humanitarian law protect the victims of armed conflicts and the personal responsible for taking care of them. This law has continued to develop ever since.
The initial idea which inspired it gave rise to a series of conventional convened in the light additional experience of wars, of new theaters of operations (maritime warfare, the use of new offensive means, new weapons, etc.) and the need to provide better protection for the victims facing such changes and technological advance.


First of all, the protection ensured by the 1864 Geneva Convention for the Wounded and Sick of Armed Forces in the Field was improved (Conventions of 1906 and then of 1929). It was also adapted to the conditions of maritime warfare by a Convention signed at the Hague in 1899, which was replaced in 1907 by another Convention on the same issue. These Conventions were adopted in the course of Peace Conferences, which aspired to provide a universal settlement for all problems related to war.

The experience of the First World War, soon after, focussed attention on the need to improve the treatment of prisoners of war, and a Convention was concluded to this effect in Geneva in 1929. It extended and completed the provisions which had already been adopted in 1899 and 1907 at the aforesaid Peace Conferences.

Then, after the Second World War and the mass atrocities inflicted upon the civilian population, a fourth Geneva Convention appeared in 1949 to protect civilians in enemy or occupied territory.

The preceding Conventions were likewise reviewed at the 1949 Diplomatic Conference, with the result that the four Geneva Conventions now in force all date from August 12, 1949, and are generally referred to as the "Geneva Conventions". These Conventions are as follows:

Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field (First Convention)

This Convention is the fourth version, extended and revised in the light of experience gained, of the Convention of 1864, the tangible embodiment of the principle which inspired the foundation of the Red Cross, namely that wounded and sick members of the armed forces shall be respected and cared for without distinction, particularly with regard to nationality; consequently military ambulances and hospitals and their medical personnel shall likewise be respected and protected, the visible sign of this immunity being the red cross or the red crescent on a white ground.

Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea (Second Convention)

This Convention is an adaptation of the First Convention to conditions of maritime warfare. It has the same purpose, in different circumstances, as the first, and protects the same persons, whilst adding the shipwrecked as a specific category of victims of maritime warfare.

Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War (Third Convention)

This Convention defines the rights and duties of members of the armed forces who are captured by the enemy and thus become prisoners of war.

Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (Fourth Convention)

This Convention is essentially concerned with the protection of civilian persons in the power of a country at war. It may refer to persons who happen to be on the territory of the enemy State or to the entire population of an occupied territory. The Geneva Conventions are now binding on 151 States, which virtually means on the entire international community. It is generally accepted that their fundamental provisions have the force of custom and are therefore binding on the whole of the international community. Besides the specific provisions proper to each one of them, the Geneva Conventions contain many provisions common to them all, relating, for instance, to their scope of application, the system of supervision and repression, their implementation, and the minimum provisions to be applied in the case of armed conflicts not of an international character (common article 3). Drawn up in the same spirit as that which inspired the first Convention in 1864, they all call for the respect and protection, in time of armed conflict, without discrimination, of all persons who do not or no longer take any active part in the hostilities.

Since the adoption of these Conventions in 1949, the number of armed conflicts has increased, more and more civilians have suffered the effects of ever deadlier weapons, and methods of guerrilla warfare have been widely employed. Moreover, most of these conflicts have not taken place between two or more States; they have flared up within the State itself, the result of clashes between rival factions, or between dissidents or liberation movements in opposition to the established government.

In view of such situations, two Additional Protocols to the Geneva Conventions of 1949 were first drafted, then adopted by a Diplomatic Conference on June 8, 1977.

As these Protocols are "additional" to the Geneva Conventions, the latter retain their complete validity. The two Protocols are complementary to the four Conventions as a whole. The Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) is applied in the case of international conflicts, whilst the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II) is complementary to article 3 common to all four Conventions and is applicable to the non-international armed conflicts.

The essential purpose of these Protocols is to ensure better protection for the entire civilian population during armed conflicts. When this Manual was published, they were formally binding only upon 20 States, but their principles are very widely accepted.

[+/-] NEXT...

INDONESIAN CRIMINAL LAW

The Indonesian criminal code in force since independence is basically the Netherlands Indies Criminal Code, which was put into effect in 1918. It incorporates certain amendments promulgated by the revolutionary government in 1946. Since 1958 it has been applied uniformly throughout the national territory.

The Code of Criminal Law is contained in three chapters. Chapter I defines the terms and procedures to be followed in criminal cases and specifies mitigating circumstances that may affect the severity of a sentence. Chapters II and III, respectively, define the categories of felonies and misdemeanors and prescribe the penalties for each type of offense. The distinction between felonies and misdemeanors generally conforms to that in Western countries. As noted above, several other statutes dealing with criminal offenses were also in force, the most significant of which were laws concerning economic offenses, subversive activities, and corruption.



As of 1992, penalties for major offenses included death, imprisonment for periods up to life, local detention, and fines. Total confiscation of property was not permitted. Penalties for minor crimes and misdemeanors included deprivation of specified rights, forfeiture of personal property, and publication of the sentence of the court. Punishments listed in the code were the maximum allowable; judges had discretionary authority to impose lesser punishment. A public drive for the abolition of the death penalty was launched in 1980 following the execution of two persons convicted of murder. In 1992, however, the death penalty remained in force.

Because of widespread complaints about the penal code, which many regarded as a colonial legacy ill-adapted either to Indonesian cultural norms or to modern criminal offenses, a committee began working in the early 1980s on a complete revision. The committee was expected to finish its work in early 1993. The draft would then have to be approved by the minister of justice and submitted to the DPR for passage into law, a process not expected to be completed until mid-1993, assuming no major controversy arose over the draft law.

The proposed new code was likely to eliminate the distinction between felonies and misdemeanors and to pay greater deference to adat in the handling of certain crimes. Although not likely to replace the special subversion law, the proposed code attempted to describe offenses against the state with more specificity. It was also likely to recommend that prisoners who committed crimes because of personal conviction, such as political offenses, be treated differently from common criminals. Whereas two-thirds of the crimes detailed were expected to be the same as in the old code, the new penal code was expected to cover new classes of offenses such as computer crime.

A new Code of Criminal Procedures was promulgated on December 31, 1981. The new code replaced a 1941 revision of an 1848 Dutch colonial regulation that stipulated legal procedures to be used in both criminal as well as civil cases. Both national jurists and government officials had complained that statutory ambiguity in the old code and certain of its provisions in some cases had led to abuses of authority by law enforcement and judicial officials. Under the old system, several authorities, including the police, the regional military commands, and the public prosecutors, shared powers of arrest, detention, and interrogation--an often confusing situation that sometimes led plaintiffs to file complaints with the particular agency they believed would deal most favorably with their case. Individuals could be arrested and detained on suspicion alone, and there were broad limits on how long a suspect could be held before being charged or brought to trial. Moreover, the accused could request legal counsel only when his case was submitted to a judge and not during any pretrial proceedings.

The new code represents a considerable step forward in the establishment of clear norms of procedural justice. Criminal investigatory powers are vested mainly in the police. A suspect can be held only twenty-four hours before the investigating officials present their charges and obtain a detention order from a judge. Specific limits are established on how long a suspect can be held before a trial. The new code expressly grants the accused the right to learn the charges against him or her, to be examined immediately by investigating officials, and to have the case referred to a prosecutor, submitted to court, and tried before a judge. The accused also has the right to obtain legal counsel at all levels of the proceedings. Should it turn out that a person has been wrongly charged or detained under the new code, he or she has the right to sue for compensation and for the restoration of rights and status.

In practice, the new criminal procedures code did not always live up to its promise. Prohibitions against mistreatment and arbitrary detention, for example, were sometimes ignored, as were guarantees regarding adequate defense counsel. This was especially true, as noted by outside jurists, in political cases. In addition, the 1981 code was supposed to apply to all criminal cases, with a temporary exception made for special laws on subversion and treason that contain their own procedures for prosecution; these special laws had not been brought under the provisions of the new code in 1992.

[+/-] NEXT...

Adakah Sumber Hukum Humaniter Selain Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa??

Selain sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut:

1. Deklarasi Paris (16 April 1865)

Deklarasi Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa asas.


Asas-asas Deklarasi Paris:
a. Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus;
b. bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang;
c. barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang;
d. supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.

2. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)

Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu.

3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara (1923)

Ketentuan khusus mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki.

4. Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan

Larangan penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi.

5. Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran

Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.

[+/-] NEXT...

Protokol Tambahan Konvensi Jenewa

a. Protokol Tambahan I Tahun 1977
Protokol tambahan I Tahun 1977 berjudul Protocol Additional to Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to Protection of Victims of International Armed Conflict dibentuk karena metode perang yang digunakan oleh negara-negara telah berkembang, dan tata cara berperang (Conduct of War). Protokol ini menentukan bahwa hak dari para pihak yang bersengketa untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, juga dilarang menggunakan senjata atau proyektil senjata serta alat-alat lainnya yang dapat mengakibatkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Beberapa ketentuan pokok dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 antara lain sebagai berikut:

1. Melarang serangan yang reprasial dan membabi buta terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, benda-benda budaya dan tempat-tempat religius, bangunan dan instalasi berbahaya, dan lingkungan alam.
2. Memperluas perlindungan yang sebelumnya telah diatur dalam Konvensi Jenewa kepada semua personil medis, unit-unit dan alat transportasi medis, baik yang berasal dari organisasi sipil maupun militer.
3. Menentukan kewajiban bagi pihak Peserta Agung untuk mencari orang-orang yang hilang (Missing Persons).
4. Menegaskan ketentuan-ketentuan mengenai suplai bantuan (relief suplies) yang ditujukan kepada penduduk sipil.
5. Memberikan perlindungan terhadap kegiatan organisasi pertahanan sipil.
6. Mengkhususkan adanya tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi implementasi hukum humaniter internasional.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam sub 1, dianggap sebagai pelanggaran berat hukum humaniter dan dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crimes).

b. Protokol Tambahan II Tahun 1977
Protokol Tambahan II Tahun 1977 terbentuk karena pada kenyataan konflik-konflik yang terjadi sesudah Perang Dunia II merupakan konflik yang bersifat non-internasional. Hanya satu ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional yaitu Pasal 3 Common Articles. Meskipun telah sangat rinci termuat dalam pasal tersebut, namun dianggap belum cukup memadai untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang serius akibat terjadinya konflik-konflik internasional semacam itu.
Prinsip-prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam Pasal 3 Common Articles ditegaskan kembali dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977. Protokol Tambahan II Tahun 1977 tidak membatasi hak-hak negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban berdasarkan peraturan nasional mereka masing-masing. Protokol Tambahan II Tahun 1977 hanya diterapkan dalam konflik-konflik internal dari suatu negara yang sudah memilik intensitas tertentu di mana pemberontak bersenjata, yang dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya, dapat melaksanakan pengawasan terhadap sebagian wilayah dari wilayah nasional negara bersangkutan.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 menentukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran;
2. menentukan hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang adil;
3. memberikan perlindungan penduduk sipil dan objek-objek perlindungan;
4. melarang dilakukannya tindakan starvasi secara sengaja.
Protokol Tambahan II tahun 1977 juga menentukan bahwa orang-orang yang terluka harus dilindungi dan dirawat, para personil kesehatan beserta alat-alat transportasi mereka harus dilindungi dan dihormati. Lambang-lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah harus dihormati, dan penggunaannya terbatas kepada mereka yang secara resmi berhak memakainya.

[+/-] NEXT...

Hukum Jenewa Sebagai Sumber Hukum Humaniter

Hukum Jenewa mengenai perlindungan korban perang pada awalnya terbentuk pada tahun 1864 yang disebut Konvensi Jenewa I. Tujuan diadakannya Konvensi Jenewa adalah memberikan perlindungan kepada para pihak yang menderita dalam peperangan, baik anggota dari angkatan bersenjata ataupun penduduk sipil yang terkena dampak dari peperangan.
a. Konvensi Jenewa 1949
Konvensi Jenewa 1864 telah mengalami perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang dilakukan pada tahun 1949. Perubahan tahun 1949 menghasilkan empat perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yaitu:

1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded And Sick in Armed Forces in the Field.
(Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat)
2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Member of Armed Forces at Sea.
(Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit, dan Kapal Karam)
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War.
(Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tahanan Perang)
4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Person in Time of War.

(Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang)

Konvensi-konvensi ini berlaku dalam perang yang dinyatakan atau timbul di antara dua pihak peserta atau lebih, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi-konvensi Jenewa juga berlaku untuk semua peristiwa pendudukan, sebagian, atau seluruh wilayah Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak mendapatkan perlawanan. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka para kombatan yang tertangkap di wilayah pendudukan yang tidak dapat melakukan perlawanan juga harus diperlakukan sebagai tawanan perang, dan Konvensi ini akan berlaku sekalipun salah satu pihak yang terlibat dalam konflik bukanlah salah satu peserta dari Konvensi Jenewa.
Ada beberapa hal penting dalam Konvensi Jenewa, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Konvensi Jenewa 1949 selain mengatur perang yang bersifat internasional, juga perang yang bersifat non-internasional, yaitu perang yang terjadi di wilayah salah satu pihak Peserta Agung, antara pasukan pihak Perserta Agung dengan pasukan pemberontak.
2. Di dalam Konvensi Jenewa 1949 terdapat ketentuan-ketentuan yang berlaku utama (Common Article), yaitu ketentuan yang dianggap sangat penting sehingga terdapat dalam keempat buku dengan perumusan yang sama. Common Articles meliputi beberapa hal penting seperti ketentuan umum (Pasal 1, 2, 3, 6, dan 7), ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (Pasal 49, 59, 51, dan 52), dan ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (Pasal 55-64).

[+/-] NEXT...

Apa yang Teramsuk dalam Hukum Den Haag??

a. Konvensi Den Haag Tahun 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan hukum tentang para pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi metode dan cara bertempur yang dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturan-peraturan tersebut termuat dalam Konvensi Den Haag 1899 yang direvisi tahun 1907. Sebagian besar konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian I telah diganti konvensi-konvensi yang disetujui pada Konferensi Perdamaian II. Konferensi Perdamaian III sebenarnya telah direncanakan namun tidak dapat dilaksanakan karena pecahnya Perang Dunia I.
Konferensi Perdamaian I tahun 1899 menghasilkan tiga Konvensi dan tiga deklarasi. Konvensi-konvensi yang dihasilkan adalah:

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
Konvensi ini untuk mencegah adanya perang atau paling tidak menentukan secara sangat terbatas persayaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan pernyataan perang.
2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
Memuat ketentuan yang mengatur cara melakukan operasi militer. Prinsip-prinsip dari Konvensi ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Jenewa, yaitu Bab III Protokol tambahan I Konvensi Jenewa 1949. Ketentuan yang paling penting dari Konvensi II ini adalah menetapkan bahwa hak setiap yang terlibat dalam pertikaian bersenjata untuk memilih sarana dan metode perang tidaklah tanpa batas.
3. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut.
Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi.

Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum, yaitu peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia. Deklarasi ini disetujui di Den Haag tanggal 29 Juli 1899 dan mengembangkan deklarasi St. Peterspurg Tahun 1868 yang melarang penggunaan proyektil dengan berat di bawah 400 gram yang mengandung bahan peledak atau bahan pembakar.
2. Pelarangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan peledak dari balon, selama jangka lima tahun yang berakhir pada tahun 1905. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan direvisi pada tahun 1907. Deklarasi kemudian dihidupkan kembali dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Masyarakat Sipil.
3. Pelarangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas cekik dan beracun. Deklarasi ini disetujui pada tahun 1899 dan merupakan upaya pertama untuk melarang penggunaan gas sebagai metode perang yang dianggap sangat kejam dan khianat. Prinsip ini ditegaskan kembali di Jenewa dalam protokol yang melarang penggunaan gas cekik, racun, dan senjata bakterial sebagai metode perang pada tanggal 17 Juni 1925.

b. Konvensi Den Haag 1907
Konvensi ini adalah hasil Konferensi Perdamaian II tahun 1907 sebagai lanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag terdiri dari konvensi-konvensi sebagai berikut:
1. Konvensi I Den Haag tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
2. Konvensi II Den Haag tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Utang yang Berasal dari Perjanjian perdata;
3. Konvensi III Den Haag tentang cara memulai peperangan yang berjudul “Convention Relative to the Opening of Hostilities”. Perang dalam arti hukum adalah perang yang dimulai dengan konvensi ini. Perang tidak dapat dimulai tanpa adanya pernyataan perang yang disertai alasan atau dengan suatu ultimatum, dengan pernyataan perang jika ultimatum itu tidak dipenuhi;
4. Konvensi IV Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi dengan Peraturan Den Haag yang berjudul lengkap “Convention Respecting to Laws and Customs of War on Land” merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag Tahun 1899. Konvensi IV Den Haag hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut Hague Regulation;
5. Konvensi V Den Haag Mengenai Hak dan Kewajiban Negara serta Warga Negara Netral dalam Perang di Darat yang berjudul “Neutral Power and Persons in Land”. Pengertian tersebut membedakan antara Negara Netral dengan Orang Netral. Negara Netral merupakan negara yang menyatakan akan bersikap netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung, sedangkan Orang Netral adalah warga negara dari suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan;
6. Konvensi VI Den Haag tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Dimulai Peperangan;
7. Konvensi VII Den Haag tentang Status Kapal Dagang yang Menjadi Kapal Perang;
8. Konvensi VIII Den Haag tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;
9. Konvensi IX Den Haag tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
10. Konvensi X Den Haag tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut;
11. Konvensi XI Den Haag tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
12. Konvensi XII Den Haag tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
13. Konvensi XIII Den Haag yang berjudul “Neutral Right and Duties in Maritime War” mengatur Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Sebagian besar dari konvensi mengatur perang di laut. Hanya ada satu Konvensi yang mengatur perang di darat, yaitu Konvensi IV. Konvensi IV mempunyai annex yang disebut Hague Regulations -1907. Ketentuan-ketentuan Hague Regulations inilah yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi para belligerent.

[+/-] NEXT...

Hukum Den Haag, Salah Satu Sumber Hukum Humaniter

Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter internasional yang mengatur tentang cara dan alat berperang. Hukum Den Haag terdiri dari Konvensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan dilanjutkan dengan Konvensi Perdamaian II yang diadakan tahun 1907. Prinsip pertama yang terdapat dalam Hukum Den Haag berbunyi sebagai berikut: The Right of Belligerent to Adopt Meant Injuring the Enemy is Not Inlimited. Yang diartikan: Hak pemberontak atau pihak sengketa untuk melukai lawannya adalah tidak tak terbatas. Ini artinya bahwa ada cara-cara tertentu dan alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan.
Prinsip kedua yang penting dalam Hukum Den Haag adalah yang disebut Martens Clause atau Klausula Martens. Klausula Martens terdapat dalam preambulle Konvensi Den Haag. berbunyi sebagai berikut:

Until a more complete code of the law of war has been issued, the High Contracting Party deem it expendient to declare that, in cases not include in the regulations adopted by them, the in habitants and the belligerent remain under the protection and the role of the principles of the law of nations, as they result from the usages established among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.

Secara ringkas Klausula Martens menentukan bahwa, apabila hukum humaniter belum menentukan atau mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk di antara negara-negara yang beradab, hukum kemanusiaan, serta dari pendapat publik (public conscience).
Jadi diakui bahwa ketentuan-ketentuan yang dihasilkan belumlah sempurna atau lengkap karena masih mungkin ada kejadian-kejadian yang belum diatur. Namun demikian, dalam keadaan-keadaan semacam itu, baik penduduk maupun pihak-pihak yang berperang tetap akan mendapat perlindungan dari hukum internasional, maupun dari kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional yang berhubungan dengan kemanusiaan.

[+/-] NEXT...

Kejahatan Transnasional. Apa Maksudyna???

Objek hukum pidana internsional adalah tindak pidana internasional atau kejahatan internasional atau international crime. Namun sampai saat ini belum terdapat satu ketentuan di dalam hukum internasional, baik perjanjian-perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional yang menetapkan istilah, “international crimes”. Perdebatan mengenai peristilahan ini disebabkan pengertian “international crimes” telah membawa dampak yang lebih luas, tidak hanya sekadar perubahan substansi, melainkan menyangkut masalah yang dapat dipertanggung jawabkan bila terjadi “international crimes” tersebut

Definisi tindak pidana internasional (kejahatan internasional atau international crimes) telah dikemukakan oleh Bassiouni sebagai berikut, “International crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrumen contains one of the ten penal characteristics.”(Terjemahan bebas: tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana).
Sepuluh karakteristik pidana, seperti disebutkan dalam definisi di atas terdiri dari:
1. Explicit recognition of proscribed conduct as constituting an international crime or crime under international law (pengakuan secara eksplisit tindakan-tindakan yang dipandang sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional);
2. Implicit recognition of the penal nature of the act by establishing a duty to prohibit, prevent, prosecute, punish, or the like (pengakuan secara implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum, mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau pidananya);
3. Criminalization of the proscribed conduct (kriminalisasi atas tindakan-tindakan tertentu);
4. Duty or right to prosecute (kewajiban atau hak untuk menuntut);
5. Duty or right to punish the proscribed conduct (kewajiban atau hak untuk memidana tindakan tertentu);
6. Duty or right to extradate (kewajiban atau hak mengekstradisi);
7. Duty or right to cooperate in prosecution, punishment, including judicial assistance in penal proceeding (kewajiban atau hak untuk bekerjasama dalam hal penuntutan, pemidanaan, termasuk bantuan yudisial dalam proses pemidanaan);
8. Establishment of a criminal jurisdictional basis (penetapan suatu dasar-dasar jurisdiksi kriminal);
9. Reference to the establishment of an international criminal court (referensi pembentukan suatu pengadilan pidana internasional);
10. Elimination of the defense of superior orders (penghapusan alasan-alasan perintah atasan).

Penetapan jenis tindak pidana internasional, mengalami perkembangan yang bersifat kontekstual dan selektif-normatif. Perkembangan yang bersifat kontekstual adalah perkembangan penetapan tindak pidana yang sejalan dengan perkembangan situasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat internasional pada masanya. Sedangkan perkembangan yang bersifat selektif-normatif, adalah penetapan golongan tindak pidana sebagai tindak pidana internasional yang hanya dapat dilakukan berlandaskan konvensi-konvensi internasional tertentu.
Dilihat dari perkembangan dan asal usul tindak pidana internasional, maka eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam:
1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktik hukum internasional. Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah pembajakan atau piracy, kejahatan perang atau war crimes, dan tindak pidana perbudakan atau slavery;
2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensi-konvensi internasional. Secara historis dibedakan antara tindak pidana internasional yang ditetapkan dalam satu konvensi internasional saja (subject of a single convention), dan tindak pidana internasional yang ditetapkan oleh banyak konvensi (subject of a multiple conventions);
3. Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Salah satunya adalah deklarasi PBB tanggal 11 Desember 1946, yang menetapkan genosida sebagai kejahatan menurut hukum internasional.
Menurut Romli Atmasasmita, kejahatan internasional harus dibedakan dari kejahatan transnasional. Kejahatan internasional adalah suatu tindak pidana terhadap dunia atau suatu masyarakat dan biasanya digerakan oleh motif ideologi atau politik. Sebagai contoh dari kejahatan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan hak azasi manusia, kejahatan perang (war crimes), genosida (genocide), dan lain-lain. Sedangkan kejahatan transnasional hampir selalu berkaitan dengan kejahatan dengan motif finansial, yang membawa dampak terhadap kepentingan lebih dari satu negara. Kejahatan ini antara lain, perdagangan obat bius (drug trafficking), kejahatan terorganisir lintas batas negara (transborder organized criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan finansial (financial crimes), perusakan lingkungan secara disengaja (willful damage to the environment), dan lain-lain.
Bassiouni telah menyusun table matrix mengenai kejahatan dan unsur yang menyertainya. Secara skematis ketiga unsur internasional crime tersebut digambarkan seperti:
1. Unsur internasional; termasuk ke dalam unsur ini adalah:
a. Direct threat to world Peace and Security (ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia);
b. Indirect threat to world Peace and Security (ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan di dunia);
c. “Shocking” to the conscience of Humanity (menggoyahkan perasaan kemanusiaan).
2. Unsur transnasional; termasuk ke dalam unsur ini adalah:
a. Conduct affecting more than one State (tindakan yang memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara);
b. Conduct including or affecting citizens of more than one State (tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara);
c. Mean and methods transcend national boundaries (sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas territorial suatu negara).
3. Unsur kebutuhan (necessity). Termasuk ke dalam unsur ini adalah, co-operation of States necessary to enforce (kebutuhan akan kerja sama antar negara-negara untuk melakukan penanggulangan).

Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, dan sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata. Demikian pula sifat internasionalnya mulai semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi individu, negara, benda, publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan politik.
Berdasarkan table matrix yang disampaikan oleh Bassiouni, kejahatan-kejahatan yang unsur transnasionalnya signifikan yaitu:
1. Aircraft hijacking (pembajakan udara);
2. Threat and use of force against internationally protected person (membahayakan dan menyerang orang yang dilindungi secara internasional);
3. Taking of civilian hostage (membawa pengungsi sipil);
4. Drug offence (penyalahgunaan obat-obatan terlarang);
5. International traffic in obsence publication (peredaran publikasi pornografi);
6. Destruction and / or theft of national treasure (penghancuran dan atau pencurian harta karun suatu negara);
7. Environmental protection (perusakan lingkungan);
8. Theft of nuclear materials (pencurian bahan-bahan nuklir);
9. Unlawfull use the mail (penggunaan surat secara melanggar hukum);
10. Interference of submarine cables (perusakan kabel bawah laut);
11. Falsifaction and counterfighting (pemalsuan mata uang);
12. Bribery of foreign public officials (penyuapan pegawai publik asing).

[+/-] NEXT...