Pelanggaran yang dilakukan terhadap pejabat, staf diplomatik atau keluarga perwakilan diplomatik di negara penerima
Pasal 29 Konvensi Wina mengatur bahwa pejabat diplomatik tidak dapat diganggu gugat. Ia tidak dapat ditangkap dan dikenakan penahanan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk untuk mencegah atas serangan diri, kemerdekaan dan martabatnya. Hak kekebalan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina juga dinikmati oleh anggota keluarga dan anggota-anggota lain sebagaimana diatur dalam Pasal 37 konvensi Wina.
Pejabat diplomatik suatu negara memiliki kebebasan bergerak di wilayah negara penerima, kecuali dalam daerah tertentu di mana undang-undang atau peraturan negara melarang atau diatur demi keamanan negara tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap kekebalan para pejabat diplomatik suatu negara di negara penerima akan menimbulkan tanggung jawab terhadap negara penerima tersebut. Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan berkewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan. Pertanggungjawaban negara muncul biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran terhadap perjanjian internasional, melanggar kedaulatan, menciderai perwakilan diplomatik negara lain, atau memperlakukan warga negara asing secara semena-mena. Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar dari kerugian yang telah ditimbulkan.
Apabila dilihat dari pengertian Pasal 29 Konvensi Wina 1961 maka pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat terjadi antara lain karena: penagkapan atau penahanan pejabat diplomatik, tidak diperlakukannya pejabat diplomatik dengan hormat, tidak diambilnya langkah-langkah yang layak oleh negara penerima untuk mencegah serangan terhadap diri, kemeredekaan dan martabat pejabat diplomatik ataupun anggota perwakilan lain yang menikmati kekebalan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Konvensi wina tersebut.
Pemulihan atas pelanggaran seperti ini dapat selesaikan dengan dua hal, yaitu dengan satisfaction dan pecuniary reparation. Sedangkan suatu negara dapat saja melakukan pelanggaran perjanjian yang dibuat dengan negara lain. Hal ini menimbulkan kewajiban untuk membayar ganti rugi. Sifat dan besarnya ganti rugi untuk pelanggaran perjanjian internasional ditentukan oleh Perundingan, pengadilan arbitrase, atau Mahkamah Internasional. Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran semacam ini merupakan kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut dapat mengurangi kepercayaan negara-negara kepada negara yang melalaikan perjanjian tersebut, terutama dalam hal mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran semacam ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip Pacta Sunt Servanda.
Pemerintah Malaysia pernah melakukan pemulihan atas pelanggaran terhadap perwakilan diplomatik Indonesia dengan cara satisfaction, yaitu sehubungan dengan penangkapan Nuslihanah (istri Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia) oleh Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA). Penangkapan tersebut terjadi di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Chowkit, Malaysia. Menurut Nuslihanah, Anggota RELA memeriksanya di tempat yang tidak jauh dari tempat ia ditangkap, dan anggota RELA memperlakukan istri diplomat ini dengan tidak layak. Nuslihanah diperlakukan layaknya pendatang ilegal. Sebagai istri seorang diplomat, Nuslihanah menunjukan kartu diplomat pada waktu pemeriksaan berlangsung, hal ini seharusnya bisa membuat para anggota RELA mengerti bahwa Nuslihanah tidak dapat dikenai penangkapan, tetapi anggota Rela justru menyiram kartu tersebut dengan air, dengan alasan untuk memeriksa keasliannya. Ditempat tersebut Nuslihanah disuruh jongkok bersama beberapa orang lainnya yang juga ikut ditangkap dan terbukti tidak mengantongi izin tinggal yang sah di negara itu.
Kejadian tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 29 Konvensi Wina. Oleh karena itu Pemerintah Malaysia secara hukum internasional memiliki kewajiban atas pemulihan pelanggaran tersebut. Sebagaimana dikenal bentuk pemulihan atas pelanggaran ada dua bentuk yaitu satisfaction dan pecuniary reparation, dan dalam kasus tersebut Pemerintah Malaysia telah menerapkan pemulihan pelanggaran dalam bentuk satisfaction, yaitu dilakukannya permintaaan maaf secara resmi oleh Pemerintah Malysia melalui duta besarnya di Jakarta dan memberikan klarifikasi bahwa peristiwa tersebut terjadi karena kurang pahamnya polisi dan anggota RELA mengenai identitas diplomatik.
0 komentar:
Posting Komentar