Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961 memberikan kewajiban khusus kepada negara penerima untuk mengambil semua tindakan yang patut untuk melindungi wisma-wisma perwakilan dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau hal yang menurunkan martabatnya.
Hukum diplomatik mengenal adanya prinsip ex gratia, yaitu suatu asas yang dipakai oleh negara penerima dalam menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan kerusakan gedung perwakilan asing termasuk mobil-mobil dan harta milik lainnya yaitu dengan memberikan kompensasi baik berupa penggantian maupun perbaikan terhadap kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian negara penerima dalam memberikan perlindungan dan pencegahan.
Menurut praktik-praktik yang ada selama ini, kompensasi atas dasar ex gratia bukan saja diberikan atas gangguan secara langsung tetapi juga yang terjadi sebagai akibat gangguan lain yang tidak disengaja. Contohnya dalam kasus yang terjadi pada kantor Komisariat Agung Nigeria di London, Inggris yang menderita kerusakan akibat ledakan bom pada bulan Maret 1973. Serangan bom tersebut ditujukan bukan kepada kantor Komisariat Agung Nigeria, tetapi kantor tersebut juga mengalami kerusakan. Sehingga dalam hal ini Pemerintah Inggris tetap memberikan penggantian sepenuhnya terhadap kerusakan tersebut.
Kasus lain yaitu kasus unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Canberra, Australia pada tahun 1992. Suatu kelompok orang Timor-Timur yang sudah lama bermukim di Australia yang berjumlah sekitar 100 orang telah mengadakan unjuk rasa di depan KBRI di Canberra pada tanggal 2 Januari 1992 sebagai rentetan aksi terjadinya insiden Dili 12 November 1991. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dalam unjuk rasa tersebut adalah didirikannya tenda-tenda, pemasangan plakat-plakat dan lentera pemasangan salib-salib sejumlah 102 buah di depan KBRI yang seakan-akan melambangkan jumlah korban penembakan yang terjadi di Dili. Kelompok pengunjuk rasa tersebut membentuk semacam penjagaan secara bergantian di tenda yang berada di luar gedung KBRI untuk selama beberapa waktu lamanya. Mereka juga mempertontonkan spanduk-spanduk yang bernada anti Indonesia dan meneriakan yel-yel yang menyerang Pemerintah Indonesia serta kegiatan lainnya, seperti pembakaran dua bendera merah putih yang dibawa mereka di depan gedung KBRI.
Dengan adanya unjuk rasa tersebut Pemerintah RI telah mengajukan protes dan meminta dan meminta agar Pemerintah Australia mencabut salib-salib, termasuk plakat-plakat, tenda-tenda dan kegiatan lainnya yang mengganggu dan menurunkan harkat martabat misi perwakilan RI, karena hal itu bertentangan dengan Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961. Berdasarkan peristiwa ini Menteri Luar Negeri Australia menyampaikan surat kepada Kedutaan Besar RI di Canberrra dan menyatakan penyesalan atas terjadinya unjuk rasa tersebut, dan berjanji bahwa Pemerintah Australia akan mengambil langkah-langkah seperlunya guna memberikan perlindungan terhadap misi perwakilan RI.
Tindakan yang kemudian dilakukan Pemerintah Australia dalam mengatasi pelanggaran tersebut adalah pada tanggal 16 Januari 1992 telah mengeluarkan sertifikat yang menyatakan bahwa pemindahan salib-salib yang berada dalam kedekatan atau kejarakan 50m dari batas gedung KBRI di Canberra merupakan langkah yang layak sesuai dengan Pasal 22 dan 29 Konvensi Wina 1961. Pada hari itu juga sertifikat disahkan, dan Pemerintah Federal memberikan kuasa kepada kepolisian untuk memindahkan salib-salib tersebut.
Pada tanggal 22 Maret 1992 terjadi lagi unjuk rasa dari 40 orang Timor-Timur di depan KBRI di Canberra yang menyatakan protes dengan tindakan Indonesia tersebut da kemudian bubar dengan tenang. Pada tanggal 5 April 1992 terjadi kembali unjuk rasa dari orang–orang Australia yang berjumlah 25 orang di depan KBRI di Canberra yang juga telah meneriakan yel-yel yang bernada anti Indonesia, tetapi polisi datang tepat pada waktunya dan suasana akhirnya dapat dikendalikan. Pada tanggal 17 April 1992 terjadi unjuk rasa kembali yang diikuti oleh 90 orang, 60 orang diantaranya berasal dari Timor-Timur dan 30 orang lainnya adalah orang-orang Australia dengan menancapkan kembali tanda-tanda salib yang berjumlah 125 buah. Di samping itu, pengunjuk rasa juga memampangkan satu plakat dari logam yang bertuliskan “In memory of the brave young men and women who die for the liberation of their country, East timor, on November 1991, at Santa Cruz Cemetery”. Pemerintah Australia segera mengirimkan empat orang polisi pengaman dalam rangka melindungi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dan telah mengadakan penjagaan terus-menerus selama 24 jam. Atas kejadian ini, Kuasa Usaha ad Interim Kedutaan Besar RI di Canberra menyatakan protes dan ketidak senangannya atas pemasangan kembali tanda-tanda salib dan kegiatan-kegiatan lainnya di luar gedung KBRI karena hal itu sangat mengganggu ketenangan dan menurunkan kehormatan misi perwakilan RI. Atas terjadinya hal tersebut Pemerintah Australia melakukan upaya-upaya pembenahan dan langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut. Akhirnya pada tanggal 3 Mei 1992 polisi federal Australia telah mengangkat salib-salib dan lentera-lentera di depan KBRI di Canberra.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah sebagai pemenuhan atas kewajiban negara penerima dalam melindungi perwakilan-perwakilan asing, dalam hal ini adalah perwakilan diplomatik Indonesia sesuai Pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1961.
0 komentar:
Posting Komentar