Secara harfiah pengertian sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam negeri antara sesama anak bangsa di mana tidak ada keterlibatan negara atau bangsa lain, dengan kata lain sengketa yang terjadi di wilayah salah satu negara antara pemberontak dengan pasukan Pemerintah.
Hans-Peter Gasser memberikan batasan mengenai sengketa bersenjata non-internasional, yaitu:
non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.
non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.
Terjemahan bebasnya adalah: sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri. Selanjutnya F. Sugeng Istanto mengatakan pembahasan pengaturan sengketa intemasional dalam hukum humaniter lnternasional dibaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Instrumen hukum humaniter internasional yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional.
b. Materi yang diatur masing-masing hukum humaniter internasional.
c. Rangkaian instrumen hukum humaniter intemasional.
Hukum humaniter internasional mengatur konflik bersenjata non-internasional di dalam dua macam perjanjian, yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan II 1977. Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Sengketa bersenjata internasional, kedua belah pihak yang bersengketa memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara, sedangkan sengketa bersenjata non-internasional status kedua pihak tidaklah sama. Pihak yang satu berbentuk negara dan pihak yang lain adalah satuan bukan negara (non-state entity). Sengketa bersenjata non-internasional dalam batas-batas ini dapat dilihat sebagai suatu situasi di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dan kelompok bersenjata yang terorganisir (organize armed group) di dalam wilayah suatu negara. Kemungkinan lainnya, sengketa bersenjata non-internasional ini juga dapat berupa suatu situasi di mana suatu fraksi-fraksi bersenjata saling bertempur satu sama lain tanpa intervensi dari suatu angkatan bersenjata pemerintah yang sah. Seluruh perangkat hukum humaniter internasional berlaku dalam konflik yang bersifat internasional, sedangkan dalam konflik yang bersifat non-internasional yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 , dan Protokol Tambahan II 1977.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berbunyi:
In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, an minimum, the following pro visions.
(1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those placed host the combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria.
To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatever with respect to the above-mentioned persons:
(a) violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture;
(b) taking hostages;
(c) outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment;
(d) the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounces by a regularly constituted court, affording all guarantees which are recognized as indispendesable by civilized peoples.
(2) The wounded and suck will collected and cared for.
And impartial humanitarian body, such as the International Committee of the Cross, may offer its services to the Parties to the conflict. The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means special agreements, all or part of the other provisions of the present Convention. The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict.
Artinya adalah:
Pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak Peserta Agung, tiap pihak dalam pertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan berikut:
(1) Orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata, mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun, harus diberlakukan dengan perikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan apa pun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
(a) Untuk maksud ini maka tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, penganiayaan;
(b) penyanderaan;
(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) dan menghukum serta menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab dilarang dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat manapun;
(2) yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Palang Merah International dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Pihak dalam pertikaian selanjutnya harus berusaha menjalankan dengan jalan persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan tersebut tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menggunakan istilah sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Konvensi Jenewa tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka penafsiran pasal ini sangat luas dan tidak terdapat definisi baku secara yuridis. Secara faktual terdapat beberapa konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dalam komentar Konvensi Jenewa. Komentar para ahli merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan yang terjadi pada saat pembentukan konvensi. Komentar tersebut sebagai berikut:
Disepakati oleh para peserta konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata (armed conflict) dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa yang harus dipenuhi supaya Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Usul ini tidak diterima secara resmi dan tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa 1949. Namun Pictet berpendapat dengan adanya usul yang memuat syarat-syarat tersebut, bermanfaat sebagai sarana untuk membedakan sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan-tindakan yang lainnya seperti para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).
Syarat-syarat untuk adanya sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki suatu kekuatan militer yang terorganisir, suatu pimpinan yang bertanggungjawab atas perbuatannya, yang bertindak atas suatu wilayah tertentu, dan mempunyai sarana untuk menghormati dan melaksanakan konvensi;
b. bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent;
c. bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan sehingga dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian internasional;
d. bahwa penguasa sipil dari pemberontak menjalankan kekuasaan de facto atas suatu wilayah tertentu;
e. bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah pengawasan suatu penguasa sipil dan bersedia untuk menaati hukum perang.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 pada Pasal 1 memiliki ketentuan yang berbeda dengan Konvensi Jenewa 1949, dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 menggunakan istilah sengketa bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata bersifat internasional. Rumusan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 adalah sebagai berikut:
This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces of other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol.
Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 di atas, bahwa pasal ini tidak diterapkan pada konflik bersenjata internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I Tahun 1977, termasuk yang disebut perang pembebasan nasional.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 juga tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional. Penjelasan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dalam komentar Protokol Tambahan II Tahun 1977 sebagai berikut:
Karena protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dan mengingat bahwa konflik-konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus dari konflik tersebut
Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah:
1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Melihat kriteria di atas, sangat sukar bagi pihak pemberontak atau pihak-pihak yang bersangkutan untuk memenuhi persyaratan tersebut apalagi dari segi teknis militer. Oleh karena itu, bilamana timbul suatu pergolakan di daerah (di dalam negeri) tidak mudah untuk menentukan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan kontak senjata, kekacauan, ketegangan, huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan di salah satu tempat dan lain sebagainya adalah pemberontak, karena mereka belum tentu memenuhi persyaratan sebagai pemberontak yang diatur di dalam hukum humaniter internasional, dengan kata lain pergolakan itu harus diketahui statusnya.
Hans-Peter Gasser memberikan batasan mengenai sengketa bersenjata non-internasional, yaitu:
non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.
non-international armed conflicts are armed confrontations that take place within the territory of a State, that is between the government on the one hand and armed insurgent groups on the other hand. The members of such groups whether described as insurgents, rebels, revolutionaries, secessionists, freedom fighters, terrorists, or by similar names are fighting to take over the reins of power, or to obtain greater autonomy within the State, or in order to secede and create their own State.
Terjemahan bebasnya adalah: sengketa bersenjata non-internasional adalah sengketa bersenjata yang terjadi di dalam teritorial suatu negara, antara pemerintah di satu sisi dan pasukan pengacau di sisi lain. Yang termasuk pasukan pengacau adalah baik yang disebut pengacau, pemberontak, revolusioner, gerakan separatis, pejuang kebebasan, teroris, dan atau nama lain semacam yang bermaksud menggulingkan pemerintahan, atau memperoleh keuntungan ekonomi dalam suatu negara, atau dalam rangka membentuk negara sendiri. Selanjutnya F. Sugeng Istanto mengatakan pembahasan pengaturan sengketa intemasional dalam hukum humaniter lnternasional dibaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Instrumen hukum humaniter internasional yang mengatur sengketa bersenjata non-internasional.
b. Materi yang diatur masing-masing hukum humaniter internasional.
c. Rangkaian instrumen hukum humaniter intemasional.
Hukum humaniter internasional mengatur konflik bersenjata non-internasional di dalam dua macam perjanjian, yaitu dalam Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan II 1977. Perbedaan pokok antara sengketa bersenjata internasional dan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang bersengketa. Sengketa bersenjata internasional, kedua belah pihak yang bersengketa memiliki status hukum yang sama, karena keduanya adalah negara, sedangkan sengketa bersenjata non-internasional status kedua pihak tidaklah sama. Pihak yang satu berbentuk negara dan pihak yang lain adalah satuan bukan negara (non-state entity). Sengketa bersenjata non-internasional dalam batas-batas ini dapat dilihat sebagai suatu situasi di mana terjadi pertempuran antara angkatan bersenjata dan kelompok bersenjata yang terorganisir (organize armed group) di dalam wilayah suatu negara. Kemungkinan lainnya, sengketa bersenjata non-internasional ini juga dapat berupa suatu situasi di mana suatu fraksi-fraksi bersenjata saling bertempur satu sama lain tanpa intervensi dari suatu angkatan bersenjata pemerintah yang sah. Seluruh perangkat hukum humaniter internasional berlaku dalam konflik yang bersifat internasional, sedangkan dalam konflik yang bersifat non-internasional yang berlaku hanya Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 , dan Protokol Tambahan II 1977.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berbunyi:
In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, an minimum, the following pro visions.
(1) Persons taking no active part in the hostilities, including members of armed forces who have laid down their arms and those placed host the combat by sickness, wounds, detention, or any other cause, shall in all circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth or wealth, or any other similar criteria.
To this end, the following acts are and shall remain prohibited at any time and in any place whatever with respect to the above-mentioned persons:
(a) violence to life and person, in particular murder of all kinds, mutilation, cruel treatment and torture;
(b) taking hostages;
(c) outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment;
(d) the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounces by a regularly constituted court, affording all guarantees which are recognized as indispendesable by civilized peoples.
(2) The wounded and suck will collected and cared for.
And impartial humanitarian body, such as the International Committee of the Cross, may offer its services to the Parties to the conflict. The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force, by means special agreements, all or part of the other provisions of the present Convention. The application of the preceding provisions shall not affect the legal status of the Parties to the conflict.
Artinya adalah:
Pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak Peserta Agung, tiap pihak dalam pertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan berikut:
(1) Orang yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata, mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun, harus diberlakukan dengan perikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan apa pun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.
(a) Untuk maksud ini maka tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengurungan, penganiayaan;
(b) penyanderaan;
(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) dan menghukum serta menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab dilarang dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat manapun;
(2) yang luka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Palang Merah International dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian. Pihak dalam pertikaian selanjutnya harus berusaha menjalankan dengan jalan persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan tersebut tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menggunakan istilah sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (armed conflict not of an international character) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Konvensi Jenewa tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka penafsiran pasal ini sangat luas dan tidak terdapat definisi baku secara yuridis. Secara faktual terdapat beberapa konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dalam komentar Konvensi Jenewa. Komentar para ahli merupakan hasil rangkuman dari hasil-hasil persidangan yang terjadi pada saat pembentukan konvensi. Komentar tersebut sebagai berikut:
Disepakati oleh para peserta konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata (armed conflict) dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa yang harus dipenuhi supaya Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Usul ini tidak diterima secara resmi dan tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa 1949. Namun Pictet berpendapat dengan adanya usul yang memuat syarat-syarat tersebut, bermanfaat sebagai sarana untuk membedakan sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya, dengan tindakan-tindakan yang lainnya seperti para penjahat (banditry), atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung lama (unorganized and shortlived insurrection).
Syarat-syarat untuk adanya sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah de jure memiliki suatu kekuatan militer yang terorganisir, suatu pimpinan yang bertanggungjawab atas perbuatannya, yang bertindak atas suatu wilayah tertentu, dan mempunyai sarana untuk menghormati dan melaksanakan konvensi;
b. bahwa pemerintah de jure telah mengakui pemberontak sebagai belligerent;
c. bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan sehingga dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian internasional;
d. bahwa penguasa sipil dari pemberontak menjalankan kekuasaan de facto atas suatu wilayah tertentu;
e. bahwa kekuatan bersenjata bertindak di bawah pengawasan suatu penguasa sipil dan bersedia untuk menaati hukum perang.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 pada Pasal 1 memiliki ketentuan yang berbeda dengan Konvensi Jenewa 1949, dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 menggunakan istilah sengketa bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) untuk setiap jenis konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata bersifat internasional. Rumusan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 adalah sebagai berikut:
This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all armed conflicts which are not covered by Article 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed forces of other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol.
Dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 Protokol Tambahan II Tahun 1977 di atas, bahwa pasal ini tidak diterapkan pada konflik bersenjata internasional, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I Tahun 1977, termasuk yang disebut perang pembebasan nasional.
Protokol Tambahan II Tahun 1977 juga tidak memberikan suatu definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional. Penjelasan apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dapat dilihat dalam komentar Protokol Tambahan II Tahun 1977 sebagai berikut:
Karena protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan sengketa bersenjata non-internasional dan mengingat bahwa konflik-konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus dari konflik tersebut
Syarat dan kriteria-kriteria untuk suatu sengketa bersenjata non-internasional adalah:
1. Pertikaian terjadi di wilayah Pihak Peserta Agung.
2. Pertikaian tersebut di wilayah Angkatan Bersenjata Pihak Peserta Agung dengan kekuatan bersenjata yang memberontak (dissident).
3. Kekuatan bersenjata pihak pemberontak harus berada di bawah komando yang bertanggung jawab.
4. Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara, sehingga dengan demikian kekuatan bersenjata dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut.
5. Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol.
Melihat kriteria di atas, sangat sukar bagi pihak pemberontak atau pihak-pihak yang bersangkutan untuk memenuhi persyaratan tersebut apalagi dari segi teknis militer. Oleh karena itu, bilamana timbul suatu pergolakan di daerah (di dalam negeri) tidak mudah untuk menentukan bahwa kelompok-kelompok yang melakukan kontak senjata, kekacauan, ketegangan, huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan di salah satu tempat dan lain sebagainya adalah pemberontak, karena mereka belum tentu memenuhi persyaratan sebagai pemberontak yang diatur di dalam hukum humaniter internasional, dengan kata lain pergolakan itu harus diketahui statusnya.
0 komentar:
Posting Komentar