Rabu, 29 April 2009

Hubungan Diplomatik. Bagaimana Sejarah dan Perkembangannya?

Diplomasi sudah dilakukan sejak dahulu, sebagai sarana komunikasi pejabat negara termasuk kepala negara dalam mengadakan hubungan dan melakukan perundingan. Para petugas diplomasi berusaha menjaga hubungan baik di antara kepala negara, melindungi kepentingan negara dan warganya dengan sopan santun, baik tutur maupun tindakannya. Kegagalan di bidang diplomasi akan menimbulkan ketegangan, yang disusul oleh persengketaan antar negara. Kegiatan pelaksanaan hubungan baik antar negara-negara di dunia ini, berasal dari kata diploma (dari bahasa Latin dan Yunani) yang dapat diartikan surat kepercayaan. Perkataan diploma kemudian menjelma menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik.


Pada masa lampau Kerajaan Romawi di Eropa dan Afrika Utara untuk keperluan tentaranya telah membangun jalan-jalan untuk mengamankan daerah-daerah kekuasaannya. Jalan-jalan tersebut sangat penting tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga diperlukan untuk para pedagang pada waktu itu. Pemerintah Kerajaan Romawi kemudian mengizinkan para pedagang untuk melintasi jalan-jalan yang mereka buat dengan membawa metal (logam tipis) bundar yang diberi cap dan disebutkan keahlian/kepandaian serta bakat orang yang membawanya. Metal (logam tipis) bundar ini disebut sebagai diploma (surat kepercayaan), dan orang yang membawanya disebut sebagai diplomat. Kemudian diploma yang semula berbentuk logam tipis itu diganti dengan passport (to pass a port; port = portal). Untuk mencegah kepalsuan keterangan yang tercantum dalam diploma (passport) itu, kantor-kantor perwakilan (disebut “res diplomatika”) mengadakan pemeriksaan untuk memeriksa apakah passport itu benar atau palsu. Kantor perwakilan tersebut yang sekarang ini menjadi kedutaan (embassy).
Perkembangan diplomasi telah membawa perubahan di kalangan hubungan internasional. Diplomasi dalam sejarahnya bersifat rahasia, hanya negara yang bersangkutan saja yang boleh mengetahuinya. Tetapi belakangan ini timbul keinginan dari masyarakat dunia untuk tidak lagi merahasiakan isi perundingan, dan lebih condong kepada diplomatic control. Di Inggris usaha ke arah ini dipimpin oleh kaum sosialis. Presiden Wilson mengemukakan empat belas usul dalam rencana perdamaian dunia tahun 1918, termasuk salah satu di antaranya adalah perdamaian dibuat secara terbuka dan menghapuskan diplomasi rahasia.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II di mana banyak timbul negara-negara baru merdeka dan berdaulat. Suatu negara yang berdaulat mempunyai hak keterwakilan (the right of legation). Hak keterwakilan atau hak legasi ini ada dua, yaitu hak legasi yang aktif yang mempunyai pengertian hak suatu negara untuk mengakreditasi wakilnya ke negara lain dan hak legasi pasif, yaitu kewajiban untuk menerima wakil-wakil dari negara lainnya. Hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada keharusan untuk menerima misi diplomatik dari negara lainnya. Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak meminta negara lain untuk menerima wakil-wakilnya. Perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsulernya ke negara-negara lain dan berkewajiban untuk menerima perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler dari negara-negara berdaulat lainnya. Hak untuk mewakili dan diwakili ini pada hakekatnya merupakan atribut dari suatu negara yang berdaulat penuh.
Untuk memulai membuka hubungan, baik perwakilan diplomatik maupun perwakilan konsuler harus diadakan terlebih dahulu kontak dengan negara-negara yang akan menerima atau negara-negara yang bersangkutan. Pembukaan atau pertukaran perwakilan diplomatik maupun konsuler dengan negara-negara sahabat, pada umumnya harus memenuhi syarat-syarat yaitu, harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual consent), sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961 yaitu hubungan diplomatik antara negara-negara dan hubungan misi diplomatiknya dilahirkan atas dasar persetujuan bersama. Selain itu penciptaan hubungan diplomatik juga harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku.
Suatu negara pengirim harus mengusahakan persetujuan dengan negara penerima untuk seseorang yang dicalonkan untuk menjadi kepala misi diplomatik dari negara pengirim di negara penerima. Negara penerima berhak menolak untuk memberikan persetujuan (agreement), dan negara penerima juga tidak memiliki kewajiban untuk mengemukakan alasan penolakannya tersebut. Apabila negara penerima menyatakan persetujuannya, maka duta tersebut dengan membawa surat kepercayaan (letter of credence) yang telah ditandatangani oleh kepala negaranya ke tempat tugasnya. Surat ini harus diberikan kepada negara penerima. Wakil itu sendiri yang harus membawa surat-surat yang sudah disegel dan sebuah salinan. Pada saat tibanya, surat kepercayaan (letter of credence) ini harus dipersembahkan sendiri oleh wakil yang bersangkutan kepada kepala negara penerima.
Konvensi Wina 1961 membagi tingkatan perwakilan diplomatik (kepala perwakilan) dalam Pasal 14 ditetapkan sebagai berikut:
a. Duta-duta besar, nuncios dan lain-lain kepala perwakilan yang diakreditir kepada kepala negara.
b. Minister Plenipotentiary dan Envoy Extraordinary, Internuncios yang diakreditir kepada kepala negara.
c. Charge d’affairs yang diakreditir kepada menteri luar negeri.

a. Duta Besar (Ambassador)
Tingkatan ini adalah tingkatan paling tinggi di dalam perwakilan diplolmatik. Di tempat mana duta besar diakreditir, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dari duta-duta. Duta besar mewakili kepala negaranya, memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan nama baik negaranya. Duta besar biasanya dikirim oleh negara besar yang sebaliknya juga menerima duta besar di negaranya. Duta besar dapat langsung beraudiensi dengan kepala negara, sedangkan perwakilan diplomatik lainnya, hendaklah dengan perantaraan menteri luar negeri.
b. Duta Istimewa dan Menteri Berkuasa Penuh (Envoyes Extraordinaires et Minister Plenipotentiaires)
Duta istimewa dan menteri berkuiasa penuh lebih tepat lagi jika menggunakan kata duta biasa, kedudukannya dapat disamakan dengan Internuntius dari Vatican. Praktiknya tidak banyak berbeda dengan ambassador atau duta besar.
c. Kuasa Usaha (Charges d’affaires)
Kuasa usaha untuk sementara dapat memimpin kedutaan, apabila dutanya sedang tidak berada pada posnya. Seorang kuasa usaha mungkin dapat diangkat untuk sesuatu negara saja (charges d’affaires en pied), mungkin juga mempunyai kedudukan lebih dari satu kota, karena kuasa usaha ditugaskan untuk negara-negara itu (charges d’affires ad interim atau charges des affaires).
Selanjutnya dalam pos-pos diplomatik, terdapat pula tingkatan diplomatik sebagai berikut:
- Ambasador
- Minister atau Duta
- Minister Councelor
- Sekretaris I
- Sekretaris II
- Sekretaris II
- Atase


Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar