A. Mansyur Efendi mendefinisikan perang atau sengketa bersenjata sebagai suatu keadaan legal yang memungkinkan dua atau lebih gerombolan manusia yang sederajat menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata. Oppenheim berpendapat “war is contention betwen two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such condition of peace as the victor pleases.” Terjemahan bebasnya sebagai berikut: perang merupakan pertikaian antara dua negara atau lebih melalui angkatan bersenjatanya, yang bertujuan saling mengalahkan dan menciptakan keadaan damai sesuai keinginan pemenangnya. Terdapat beberapa unsur yang sama dalam setiap perselisihan atau persengketaan yang akhirnya terwujud dalam bentuk yang paling ekstrim yaitu perang fisik, di mana masing-masing pihak berusaha untuk memaksakan kehendaknya.
Sengketa Bersenjata Internasional (International Armed Conflict)
Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place.
Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga mengatur sengketa bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977 disebut bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949.
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan:
In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present Convention shall apply all cases qf declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high contracting parties, even if the State of war is not recognized by one of them.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam perang antara dua atau lebih pihak Peserta Agung yang diumumkan, sekalipun pertikaian senjata tarsebut tidak diakui sebagai keadaan perang, dan pendudukan sekalipun pendudukan itu tidak menemui perlawanan.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4), yang menyebutkan bahwa Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antar suatu bangsa melawan colonial domination alien occupation, dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara.
Dimasukkannya situasi colonial domination alien occupation, dan racist regimes, yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflict ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan perkembangan baru terhadap Konvensi Jenewa 1949. CAR Conflict yang dimaksud dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah konflik-konflik yang berkaitan dengan upaya untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu bangsa. Ada beberapa kriteria agar suatu kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bangsa, yaitu apabila berdiri dalam suatu wilayah yang memiliki bahasa yang sama, kesamaan etnik dan budaya.
Penentuan nasib sendiri hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa. Hal ini berarti bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa yang berada di suatu negara, misalnya dalam Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana mereka mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Kelompok semacam ini berhak atas perlindungan akan tetapi bukan untuk menentukan nasib sendiri.
Bangsa yang melakukan upaya untuk menentukan nasib sendiri dengan jalan kekerasan bersenjata biasanya disebut Gerakan Pembebasan Nasional (National Liberation Movement) dan perjuangan itu disebut dengan War of National Liberation. Salah satu pertimbangan mengapa CAR Conflict diatur dengan dirumuskan ke dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah untuk memberikan perhatian kepada War of National Liberation dan National Liberation Movement, ini terbukti dengan adanya Resolusi Majelis Umum No. 3102 (XXVII) tahun 1973 yang antara lain berbunyi:
Urged that the national liberation movement recognized by the various regional international organization concerned be invited to participate in the Diplomatic conference as observers in accordance with the practise of the United Nations.
Artinya: Didorong oleh sebab gerakan pembebasan nasional diakui oleh berbagai wilayah organisasi internasional maka diundang untuk turut serta dalam konferensi diplomatik sebagai pengamat sesuai dengan Praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu keputusan yang diambil oleh Diplomatic Conference adalah hal yang berkaitan dengan undangan kepada National Liberation Movement, yang menyebutkan:
Decides to invite the national liberation movement wich are recognized by the regional intergovernmental organizations concerned, to participate fully in the deliberations of the conference and its main committees.
Maksudnya: Memutuskan untuk mengundang Gerakan Pembebasan Nasional yang diakui oleh organisasi antar pemerintah yang ada di wilayah tersebut untuk turut serta secara penuh dalam konferensi dan dalam komite utama ini.
Sengketa Bersenjata Internasional (International Armed Conflict)
Pengertian sengketa bersenjata internasional dapat ditemukan antara lain pada Commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Any difference arising between two States and leading to the intervention of members of the armed forces is an armed conflict within the meaning of Article 2, even if one of the Parties denies the existence of state of war, It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter takes place.
Perang atau pertikaian bersenjata internasional adalah perang yang terjadi antara dua atau lebih pihak Peserta Agung atau pihak Peserta Agung dengan yang bukan Peserta Agung asalkan yang terakhir ini juga berbentuk negara. Dengan kata lain, sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain, walaupun pada akhirnya yang berhadapan adalah manusia dengan manusia, dalam persengketaan ini negara menjadi subjek.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga mengatur sengketa bersenjata internasional. Pada Pasal 1 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977 disebut bahwa Protokol ini berlaku dalam situasi dimaksud dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949.
Ketentuan Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 menyebutkan:
In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present Convention shall apply all cases qf declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high contracting parties, even if the State of war is not recognized by one of them.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Konvensi ini berlaku dalam perang antara dua atau lebih pihak Peserta Agung yang diumumkan, sekalipun pertikaian senjata tarsebut tidak diakui sebagai keadaan perang, dan pendudukan sekalipun pendudukan itu tidak menemui perlawanan.
Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (4), yang menyebutkan bahwa Protokol Tambahan I Tahun 1977 juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antar suatu bangsa melawan colonial domination alien occupation, dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara.
Dimasukkannya situasi colonial domination alien occupation, dan racist regimes, yang kemudian dikenal dengan istilah CAR Conflict ke dalam kategori situasi sengketa bersenjata internasional merupakan perkembangan baru terhadap Konvensi Jenewa 1949. CAR Conflict yang dimaksud dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah konflik-konflik yang berkaitan dengan upaya untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan oleh suatu bangsa. Ada beberapa kriteria agar suatu kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bangsa, yaitu apabila berdiri dalam suatu wilayah yang memiliki bahasa yang sama, kesamaan etnik dan budaya.
Penentuan nasib sendiri hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa. Hal ini berarti bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh kelompok minoritas etnis, agama, atau bahasa yang berada di suatu negara, misalnya dalam Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik, di mana mereka mempunyai hak untuk menjalankan ajaran agamanya dan menggunakan bahasanya sendiri. Kelompok semacam ini berhak atas perlindungan akan tetapi bukan untuk menentukan nasib sendiri.
Bangsa yang melakukan upaya untuk menentukan nasib sendiri dengan jalan kekerasan bersenjata biasanya disebut Gerakan Pembebasan Nasional (National Liberation Movement) dan perjuangan itu disebut dengan War of National Liberation. Salah satu pertimbangan mengapa CAR Conflict diatur dengan dirumuskan ke dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 adalah untuk memberikan perhatian kepada War of National Liberation dan National Liberation Movement, ini terbukti dengan adanya Resolusi Majelis Umum No. 3102 (XXVII) tahun 1973 yang antara lain berbunyi:
Urged that the national liberation movement recognized by the various regional international organization concerned be invited to participate in the Diplomatic conference as observers in accordance with the practise of the United Nations.
Artinya: Didorong oleh sebab gerakan pembebasan nasional diakui oleh berbagai wilayah organisasi internasional maka diundang untuk turut serta dalam konferensi diplomatik sebagai pengamat sesuai dengan Praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Salah satu keputusan yang diambil oleh Diplomatic Conference adalah hal yang berkaitan dengan undangan kepada National Liberation Movement, yang menyebutkan:
Decides to invite the national liberation movement wich are recognized by the regional intergovernmental organizations concerned, to participate fully in the deliberations of the conference and its main committees.
Maksudnya: Memutuskan untuk mengundang Gerakan Pembebasan Nasional yang diakui oleh organisasi antar pemerintah yang ada di wilayah tersebut untuk turut serta secara penuh dalam konferensi dan dalam komite utama ini.
0 komentar:
Posting Komentar