Sengketa bersenjata yang tak bersifat internasional atau sengketa bersenjata internal terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dengan angkatan bersenjata yang membangkang atau oleh kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang memberontak terhadap pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap mereka yang melakukan pemberontakan itu diatur dalam pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol II).
Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 menegaskan bahwa Protokol ini akan berlaku pada semua sengketa yang tidak tercakup oleh Protokol I dan yang terjadi di wilayah negara pihak antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pembrontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayahnya sehingga memungkikan mereka melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan dan serentak dan melaksanakan Protokol ini.
Dari ketentuan ini, maka dapat dikatakan bahwa agar dapat memiliki status pemberontak harus dipenuhi syarat struktural, yaitu adanya komando yang bertanggung jawab, dan syarat intensitas berupa penguasaan suatu wilayah yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara berkelanjutan dan serentak.
Hukum yang berlaku
Di samping hukum nasional, dan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia, bagi negara-negara yang menjadi pihak pada Protokol II, berlaku ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II 1977, sedangkan bagi negara-negara tidak menjadi pihak pada Protokol II tersebut hanya berlaku ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949.
Pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi Jenewa-konvensi Jenewa 1949 menyatakan sebagai berikut: Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:
1). Orang yang tidak ikut dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang meletakkan senjata serta tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apa pun, dalam keadaan bagaimana pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaaan merugikan berdasarkan suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau kriteria sejenis lainnya. Untuk maksud ini maka terhadap orang-orang tersebut kapan dan dan di mana pun juga tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan berikut:
kekerasan terhadap jiwa, raga, terutama segala macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan,
penyanderaan,
perkosaan terhadap kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat,
menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului oleh keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak dapat menawarkan, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak-pihak dalam sengketa.
Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sengketa bersenjata internal dalam Protokol II 1977, pada prinsipnya mengembangkan dan memperluas ketentuan-ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949, yag pada intinya memuat hal-hal berikut:
• prinsip yang memberikan jaminan mendasar bagi perlakuan manusiawi diulangi kembali (pasal 4) sama dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 3 yang bersamaan
• minimum perlakuan yang ditetapkan terhadap orang yang diasingkan atau ditahan karena alasan yang terkait dengan sengketa bersenjata (pasal 5.1 (a) sampai (e), meliputi: (a) perawatan atas orang yang luka dan sakit, (b) persedian makanan, air, fasilitas kesehatan dan gizi, dan perlindungan, (c) hak menerima bantuan perorangan atau kolektif (f) hak melaksanakan agama dan menerima bantuan spiritual, dan (g) kondisi kerja dan jaminan yang sama dengan yang diberikan kepada penduduk setempat.
• Mereka yang bertanggung jawab atas pengasingan dan penahanan, sampai batas kemampuan mereka harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan orang-orang tersebut (pasal 5.2 (a) sampai (e): (a) tempat penahanan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (kecuali dalam kasus keluarga), dan pengawasan perempuan oleh perempuan (b) hak menerima dan mengirim surat dan kartu (c) tempat pengasingan dan penahanan tidak boleh dekat dengan kawasan pertempuran (d) hak atas keuntungan pemeriksaan kesehatan (e) kesehatan dan keutuhan jasmani dan rohani mereka tidak boleh dibahayakan karena perbuatan atau kealpaan yang tak dapat dibenarkan.
• Perlindungan padal 4 dan 5.1 (a), (c) dan (d) dan 5.2 (b) diperluas kepada orang-orang yang dicabut kemerdekaannya karena alasan yang berkaitan dengan sengketa bersenjata, yang tidak tercakup oleh ayat 1 (pasal 5.3).
• Pasal 6 secara khusus menetapkan jaminan minimum kemerdekaan dan ketidakberpihakan dalam proses peradilan: (a) informasi segera atas dakwaan pidana, (b) asas tanggung jawab pidana perorangan, (c) tidak berlaku surutnya hukum pidana, (d) asas praduga tak bersalah, (e) hak untuk hadir di pengadilan (f) tidak ada kewajiban untuk memberikan keterangan atau mengaku salah.
Pemeliharaan keamanan dan ketertiban
Menurut de Rover, ada persoalan yang berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam sengketa bersenjata internal, yaitu apakah ini akan tetap dilaksanakan oleh badan-badan penegak hukum yang ada atau digantikan oleh angkatan bersenjata. Pertanyaan tersebut dijawab sendiri oleh Rover, bahwa dengan mengingat kesesuaian (dalam arti pelatihan, perlengkapan dan kehadirannya) jelas bahwa angkatan bersenjata tidak boleh digunakan bagi penegakan dan pemeliharaan ketertiban umum. Karena alasan strategis, maka tanggung jawab dasar bagi penegakan hukum harus dibiarkan berada pada kekuasaan badan-badan penegak hukum selama mungkin.
Sengketa bersenjata internal dapat mengarah kepada keadaan “ketidakpatuhan umum (public disobeyance)” yang di dalamnya penghormatan aturan hukum sangat terancam. Jika tidak ditangani segera, ketidakpatuhan publik dapat berkembangan kepada budaya pembebasan tanpa proses hukum (impunity). Oleh karenanya penting bagi badan-badan penegak hukum untuk tetap bekerja dan mengelola dengan sungguh-sungguh kegiatan mereka untuk mencegah dan medeteksi kejahatan. Para penjahat harus diajukan ke pengadilan dan aturan hukum yang berlaku. Sebaliknya demokrasi dan rule of law terutama merupakan korban tambahan dari sengketa bersenjata.
0 komentar:
Posting Komentar