Dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 August 1945, kedudukan hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut dinyatakan dengan Pembukaan dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 diikuti dengan Ayat (2) yang berbunyi, `Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu'.
Dalam rangka ketentuan UUD 1945 tersebut, Indonesia tidak menjadi negara sekular seperti Negara Barat dan Negara Komunisme. Indonesia pula tidak menjadi negara agama tertentu atau negara Islam seperti Negara Timur Tengah. Melainkan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menimbulkan negara agama terbuka atau negara dengan kebebasan beragama. Dalam negara itu, hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum untuk segala lembaga pemerintahan atau seluruh Indonesia. Melainkan, hukum Islam hanya mempunyai kedudukan sebagaimana ditetapkan pada masa Belanda.
Kedudukan hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan Belanda. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan `Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini'.
Dengan ketentuan tersebut, Staatsblad 1882/No.152 yo. Staatsblad 1937/No.116, 610, 638 dan 639 diterapkan. Namun demikian, ada orang yang berpendapat UUD 1945 mengandung ketentuan baru yang mencabut teori receptio in complex sampai Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 tidak berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945 ini.
Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 dimaksud mencapai kepastian hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Melainkan, Pemerintah Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Usaha mencapai kepastian hukum Islam mulai dengan UU No.22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang tidak jelas. Selain itu, UU No.22/1946 mengandung jadwal penyusunan kompilasi hukum Islam.
Kekuasaan Pengadilan Agama ditolak pada masa awal kemerdekaan. Dengan PP No.5/SD/1946 pertanggung-jawaban terhadap Pengadilan Agama diserahkan dari Menteri Kehakiman kepada Menteri Agama. Dengan UU No.19/1948 Tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, Pemerintah Republik Indonesia mencabut wewenang Pengadilan Agama. Pasal 6 UU No.19/1948 hanya mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.
Selanjutnya, Pasal 35 Ayat (2) UU No.19/1948 menyatakan, `Perkara perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman'.
Bagaimanapun, UU No.19/1948 tidak pernah dilaksanakan karena Angkatan Militer Belanda kembali ke Indonesia pada tahun 1948 dan Republik Indonesia Serikat kemudian dibentukkan.
Wewenang Pengadilan Agama kemudian diakui secara terbatas. PP No.29/1957 menyangkut Pengadilan Agama di Aceh. PP No.29/1957 diganti dengan PP No.45/1957. Pasal 4 Ayat (1) PP No.45/1957 menetapkan wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura. Wewenangnya tercantum perkara kewarisan. Maka, wewenangnya lebih luas daripada Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura yang masih didasarkan Staatsblad 1937/No.116 yo. 610.
Namun demikian, Pasal 4 Ayat (2) PP No.45/1957 membatasi wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura dengan ketentuan bahwa, `Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Islam'. Selanjutnya, ketentuan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1830 tentang pengesahan dan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri masih berlaku.
Usaha mencapai kepastian hukum Islam berjalan dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B.1.735/1958. Surat Edaran tersebut bersumber pada PP No.45/1957. Huruf b Surat Edaran tersebut mengandung daftar kitab kitab hukum Islam. Daftar tersebut dimaksud dipergunakan oleh Pengadilan Agama dan menimbulkan kesatuan hukum Islam.
Sejak tahun 1957, wewenang Pengadilan Agama diakui sebagai urusan kekuasaan kehakiman secara terus-menerus. UU No.19/1964 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman mengganti UU No.19/1948. Pasal 7 UU No.19/1964 mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan administrasi dan peradilaan Agama. Bagaimanapun, pengadilan dalam lingkungan tersebut tidak bersifat mandiri. Melainkan, Pasal 19 UU No.19/1964 memperbolehkan Presiden Republik Indonesia turut campur tangan dalam soal soal Pengadilan.
Oleh sebabnya, UU No.19/1964 dicabut dan diganti dengan UU No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 Ayat (1) UU No.14/1970 juga mengakui lingkungan peradilan agama. Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri. Namun demikian, Pasal 12 UU tersebut berbunyi, `Susunan, kekuasaan serta acara dan badan badan Peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 Ayat (1) diatur dalam Undang Undang tersendiri'. Pada tahun 1974, Undang Undang tentang Peradilan Agama belum dikeluarkan.
Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan Hukum Islam dan Pengadilan Agama dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. UU No.1/1974 berlaku bagi semua warga negara Indonesia. UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksananya, PP No.9/1975, mengakui hukum Islam di bidang perkawinan, menerima wewenang Pengadilan Agama di bidang tersebut dan memuat ketentuan yang menjamin keberlakuan hukum Islam.
Namun demikian, Penjelesan Umum UU No.1/1974 masih melakukan teori receptio in complex di bidang perkawinan. Teori tersebut dicabut untuk hukum Islam di bidang kewarisan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 13 Pebruari Tahun 1975 No.172/K/Sip./1974. Selain itu, Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974 sebagaimana peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda tersebut menyatakan, `Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum'.
Sejak 1974, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai aturan terhadap kepastian hukum Islam maupun hukum Acara yang berlaku untuk Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No.3/1975 mengatur hukum Acara untuk peradilan Agama di bidang perkawinan dan kewarisan. Peraturan Mahkamah Agung No.14/1977 menetapkan tata cara permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Agama. PP No.28/1977 mengatur kompilasi hukum Islam di bidang perwakfan tanah milik. Pada tahun 1982, Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Departmen Agama menetapkan manajamen dan susunan Pengadilan Agama. Bagaimanapun, masih belum ada Undang Undang tentang Peradilan Agama yang disebut dalam UU No.14/1970.
0 komentar:
Posting Komentar