Pada masa awal sejarah Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia. Hukum Islam berlaku untuk pertama kali di Indonesia dengan kedatangan umat Islam. Masa kedatangan tersebut tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam tinggal di Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan Musehi. Ada kemungkinan lain masa kedatangan tersebut adalah abad ketigabelas Musehi.
Bagaimanapun juga, orang Islam berdiam di pesisir Sumatra Utara. Masyarakat Islam kemudian dibentukkan di Aceh Timur. Kerajaan Islam dibentukkan untuk pertama kali di Aceh Utara dan diikuti dengan banyak kerajaan lain. Hukum Islam kemudian berlaku bersama dengan Hukum Adat dan mencapai kedudukan penting tersebut.
Waktu orang Belanda datang, kedudukan hukum Islam dikurangi sampai hanya berupa sistem hukum yang dianut di bidang perkawinan dan kewarisan melalui Pengadilan Agama dalam perkara antara orang Islam .
Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Dagang Hindia Belanda) (VOC) menerapkan hukum Belanda, membatasi bidang hukum Islam dan mencari kepastiannya. Pada tahun 1596, VOC mulai berdagang di Indonesia. Pada tahun 1602, kedudukan VOC dikukuhkan. Pemerintah Belanda memberikan kekuasaan kepada VOC di bidang dagang dan pemerintahan di kepulauan Indonesia. Kekuasaan tersebut merupakan tiga hak, yakni hak mencetak dan mengedarkan mata uang, hak membentuk angkatan perang maupun hak membuat perjanjian internasional dengan negara lain.
Pada masa awal penjajahan VOC, hukum Belanda dianut. Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia. Maka, VOC memutuskan hukum asli Indonesia boleh diterapkan di bidang tertentu. Jadi, Statuta Batavia (Undang Undang Jakarta) tahun 1642 menetapkan hukum kewarisan Islam dianut antara umat Islam.
Selain itu, pada tanggal 24 Mei tahun 1670, VOC menerima Compendium Freijer. Compendium tersebut adalah kompilasi hukum Islam di bidang kekeluargaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D W Freijer. Sebagaimana demikian, VOC kemudian menerima kitab kitab lain yang berupa kompilasi hukum Islam. Kompilasi hukum Islam tersebut digunakan oleh pengadilan VOC dalam perkara umat Islam.
Dengan penggantian VOC dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800, usaha kepastian hukum Islam berjalan melalui penujukan penasehat hukum Islam. Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendals mengeluarkan peraturan terhadap hukum Islam di daerah daerah Jawa tertentu. Peraturan tersebut menetapkan kepala mesjid (penghulu) wajib bertindak sebagai penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara orang Islam.
Kedudukan penghulu dikukuhkan waktu Pemerintah Hindia Belanda diganti dengan Pemerintah Inggris pada tahun 1811. Letnan Gubernur Indonesia Sir Thomas Stamford Raffles menetapkan peraturan Daendals dianut di seluruh Indonesia. Selanjutnya, penghulu yang telah penasehat diangkat anggota Pengadilan Negeri.
Pemerintah Hindia Belanda kembali lagi pada tahun 1814 dan penetapan baru tentang penghulu diundangkan. Pasal 13 Regenten Instructie (Aturan Untuk Para Bupati) tahun 1820 menetapkan penghulu wajib memecahkan perkara perkawinan dan kewarisan antara umat Islam dan wajib dibayar bupati bersangkutan.
Regenten Instructie tersebut diganti Staatsblad 1835/No.56 yang membatasi wewenang penghulu. Meskipun penghulu masih berhak memecahkan secara tersebut, sengketa tentang hal uang atau pembayaran wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri. Staatsblad tersebut disahkan dengan berbagai dekrit Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1845 dan 1851.
Pemerintah Hindia Belanda mengurangi kedudukan hukum Islam melalui para hakim Belanda. Pasal 75 Ayat (1) Regeering Reglemen 1855 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan hukum Islam dianut antara umat Islam cuma sepanjang hukum Islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. `Diakui umum' berarti diakui oleh hakim hakim Belanda pada masa itu. Pasal 75 Ayat (2) menetapkan orang Islam wajib melaksanakan putusan hakim agama atau kepala masyarakat terhadap perkara bersangkutan.
Pemerintah Hindia Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura. Pada tahun 1830, ditetapkan putusan Priesteraad (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) di Jawa dan Madura wajib disahkan dan dilaksanakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri).
Pengadilan Agama Jawa dan Madura diatur lebih lanjut dengan Staatsblad 1882/No.152. Anehnya, Staatsblad tersebut tidak memuat ketentuan terhadap wewenang Pengadilan Agama mungkin karena secara praktek wewenang tersebut sudah cukup jelas, yaitu hal kekeluargaan. Selain itu, Staatsblad tersebut memakai istilah agama yang salah dan menimbulkan keberatan dan ketidakpahaman orang Islam bersangkutan.
Kedudukan hukum Islam kemudian dirugikan melalui hukum Adat. Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan bahwa hukum Islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui dalam hukum Adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pasal 134 Ayat (2) tersebut berdasarkan teori receptio in complex yang menyatakan hukum Islam tidak boleh berdiri sendiri kecuali sepanjang telah menjadi kebiasaan hukum Adat.
Dalam rangka Indische Staatsregeling, Pemerintah Hindia Belanda melakukan banyak perubahan terhadap Pengadilan Agama dengan akibat wewenangnya dibatasi. Staatsblad 1931/No.53 memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Namun demikian, Staatsblad tersebut tidak pernah dilaksanakan.
Staatsblad 1931/No.53 diganti Staatsblad 1937/No.116 tentang Pengadilan Agama pada tingkat pertama. Pasal 2 Ayat (1) Staatsblad 1937/No.116 mencabut wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara kewarisan. Meskipun, secara praktek, Pengadilan Agama masih berjalan dengan wewenang kewarisan tersebut. Staatsblad 1937/No.116 ditambah dengan Staatsblad 1937/No.610 tentang Hof voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama pada tingkat banding).
Kedua Staatsblad tahun 1937 tersebut ditambah dengan Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 tentang Kerapatan Qadi (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) dan Kerapatan Qadi Besar (Pengadilan Agama pada tingkat banding) di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 memberikan wewenang di bidang kewarisan kepada Pengadilan Agama di Kalimantan.
Pada tahun 1942, kebijakan Pemerintah Hindia Beland berhenti dengan kedatangan Pemerintah Angkatan Perang Jepang. Pemerintah Jepang tersebut mencoba perubahan luas terhadap hukum Indonesia tetapi, secara praktek, perubahannya tidak dilaksanakan.
0 komentar:
Posting Komentar