Senin, 25 Januari 2010

Prinsip Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Prinsip utama pada Hak Atas Kekayaan Intelektual, yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan Intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural). Begitulah sistem hukum Romawi menyebutkan sebagai cara perolehan alamiah (natural acquisition) berbentuk spesifikasi, yaitu melalui penciptaan. Pandangan demikian terus didukung dan dianut banyak sarjana, mulai dari Locke sampai kepada kaum sosialis. Sarjana-sarjana hukum Romawi menamakan apa yang diperoleh di bawah sistem masyarakat, ekonomi, dan hukum yang berlaku sebagai perolehan sipil dan dipahamkan bahwa asas suum cuique tribuere menjamin, bahwa benda yang diperoleh secara demikian adalah kepunyaan seseorang itu.
Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Atas Kekayan Intelektual berdasarkan prinsip :

a. Prinsip keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang kita sebut hak. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel,yaitu sebuah peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya itu, adalah penciptaan yang mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. Perlindungan inipun tidak terbatas di dalam negeri si penemu itu sendiri, tetapi juga dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan.
b. Prinsip ekonomi (the economic argument)
Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu 1 (satu) keharusan untuk menunjang kehidupannya di dalam masyarakat. Dengan demikian, Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan keuntungan, misalnya dalam bentuk royalty dan technical fee.
c. Prinsip kebudayaan (the cultural argument)
Kita mengonsepsikan bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula suatu gerak hidup yang harus mengahasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, juga akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, dan cipta manusia yang dibakukan dalam sistem Hak Milik Intelektual adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan mampu membengkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.
d. Prinsip sosial (the social argument)
hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, yang sama-sama terikat dalam 1 (satu) ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian, hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan itu saja, tetapi pemberian hak kepada perseorangan persekutuan/kesatuan itu diberikan, dan diakui oleh hukum, oleh karena dengan diberikannya hak tersebut kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.
Hal yang lain dikemukakan oleh Achmad Zen Umar Purba yang menyatakan bahwa:
Secara teoritis hak kekayaan intelektual memuat lima jenis prinsip dasar, seperti diuraikan di bawah ini:
a. Hak Otoritas.
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak, dan sebagai hak dia merupakan harta atau asset berupa benda yang tidak berwujud (intengibel asset). Apakah hak kekayaan intelektual sebagai asset benda tidak berwujud?. Menurut Keith E. Markus sampai pada titik tertentu, kedua hak tersebut berkedudukan sama. Namun, perbedaan menonjol adalah pada aspek eksklusivitasnya. Eksklusivitaslah yang menimbulkan hak, dan hak itu tidak lain merupakan kompensasi atas semua upaya yang dikeluarkan atau dikorbankan oleh pemilik karya intelektual tersebut. pengeluaran mencakup biaya, waktu dan pengorbanan. Stephen Carter menulis adanya dua persamaan (senses) tentang property.
Pertama, teoretisi hukum merujuk property, dalam kaitannya dengan perangkat hubungan hukum yang relevan. Kedua, adalah property dalam bahasa sehari-hari yang mengaitkannya dengan konsep atau “res” yang berkonotasi pula dengan pemilik.
Jadi, hak kekayaan intelektual baru ada secara hukum jika telah ada pengayoman, penaungan, atau perlindungan hukum dari negara atas otoritas publik terhadap suatu karya intelektual. Melalui mekanisme pengurusan dokumentasi diberikan hak kepada pemohon hak kekayaan intelektual, termasuk inventor, pendesain serta pemilik merek. Disini terdapat 3 unsur utama, yaitu: (i) hak eksklusif, (ii) negara, (iii) jangka waktu tertentu.
b. Hak Privat dan Pasar
Hak kekayaan intelektual adalah hak bagi pemilik karya intelektual: jadi sifatnya individual, perorangan, privat. Namun, masyarakatlah yang mendapat kemaslahatannya melalui mekanisme pasar. Bell menemukan telepon, Watt menemukan mesin uap, Edison menemukan listrik. Karya intelektual yang telah mendapat atau telah dikemas dengan hak eksklusif yang oleh sebab itu merupakan “ property” pemiliknya menciptakan pasar ( permintaan dan penawaran). Hal ini timbul karena pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual kebutuhan masyarakat banyak. Itulah sebabnya dalam hak kekayaan intelektual, misalnya paten, dipersyaratkan adanya unsur penerapan industrial (industrial applicability), yakni dapatnya invensi yang bersangkutan diterapkan dalam industri. Secara ringkas hak kekayaan inelektual merupakan pendorong bagi pertumbuhan perekonomian.

c. Prinsip Berkesinambungan
Sistem pasar telah tercipta, mempertemukan pemegang hak kekayaan intelektual dan masyarakat. Hubungan ini berkesinambungan, sebab pada akhirnya masyarakatlah yang membutuhkan barang-barang. Kreatifitas terus diperlukan. Sistem hak kekayaan intelektual sendiri, pada dirinya, melekat unsur berkesinambungan atau estapet. Misalnya dalam hal paten, invetor harus membuka dan mengungkapkan invensinya. Dengan demikian, selain dimaksudkan (i) agar publik mengetahui isi invensi yang dilindungi tersebut, keterbukaan ini betujuan untuk ( ii ) merangsang orang lain mengembangkan lagi invensi tersebut, untuk kemudian dimintakan paten baru. Begitu seterusnya secara estapet dan sesuai kehendak pasar.

d. Satu Kesatuan
Hak kekayaan intelektual merupakan satu kesatuan sistem. Ini berarti hak kekayaan intelektual mencakup berbagai bidang yang luas, sehingga diperlukan pengikatan antara semua unsur agar saling terkait menjadi satu. Sistem “combination or arrangement as of particulars, parts, or elements into a whole, especially such combination according to some national principles. ” Walaupun saat ini berada di bawah Departemen Kehakiman dan HAM, pengelolaan sistem hak kekayaan intelektual dilakukan berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti yang direfleksikan dalam berbagai bidang hak kekayaan intelektual, yaitu hak cipta, paten,merek, indikasi geografis, desain tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang.
e. TRIPs Mengikat
TRIPs sebagai lampiran WTO Agreement merupakan dokumen yang mengikat Indonesia yang telah meratifikasi persetujuan tersebut dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Berdasarkan hukum Internasional, persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara itu sendiri. Vienna Convention on Law of Treaties 1980 memperkenalkan prinsip pacta sunt servanda yang berbunyi: “Every treaty in force is biding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar