Selasa, 19 Januari 2010

Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual

Undang-undang mengenai HKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada Tahun 1470. Caxton, Galileo, dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.
Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statue of Monopolies (1623), sedangkan Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HKI pertama kali terjadi pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris, Perancis dengan lahirnya Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang sampai dengan Januari 1993 telah diratifikasi oleh 108 negara. Paris Convention berlaku terhadap hak kekayaan industrial (industrial property) dalam pengertian luas termasuk paten, merek, desain industri, utility models, nama dagang, indikasi geografis serta pencegahan persaingan curang.

Berkaitan dengan kerangka pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual, maka dari segi substantif, norma hukum yang mengatur tentang HKI tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum internasional.
Oleh karena itu, negara-negara yang turut dalam kesepakatan internasional harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh.
Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan internasional tersebut, mengakibatkan Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-teritorial yang menyangkut tentang perlindungan HKI. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan HKI dan menambah beberapa peraturan yang belum cukup dalam peraturan yang sudah ada.
TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) mengisyaratkan agar negara-negara anggota menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian internasional untuk perlindungan HKI secara internasional. Perjanjian-perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual antara lain:
1. Dalam bidang hak milik perindustrian:
a. Madrid Agreement for the Repression of False or Deceptive Idication of Source on Goods (1891);
b. Nairoby Treaty on the Protection of the Olympic Symbol (1981);
c. Patent Cooperation Treart (PCT) (1970);
d. Budapest Treaty on the International Recognation of the Deposit of Microorganismes for the Purposes of Patent Procedure (1977);
e. Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (1891);
f. Protocol Relating to the Madrid Agreement Concerning the International Registration of Marks (1989);
g. Lisbon Agreement for the Protection of Appelations of Origin and their International Registration (1958);
h. Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Design (1925);
i. Starsbourg Agreement Concerning the International Patent Classification (1971);
j. Nice Agreement Concerning the International Classification of Goods and Services for the Purpose of the Registration of Marks (1957);
k. Locarno Agreement Establishing an International Classification for the Industrial Designs (1968);
l. Vienna Agreement Establishing an International Classification of the Figurative Elements of Marks (1973);
m. International Convention for the Protection of New Variets of Plants (1977);
n. Treaty on the Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989).

2. Dalam bidang hak cipta:
a. Rome Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organization (1961);
b. Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Againts Unauthorized Duplications of their Phonograms (1971);
c. Brussels Convention Relating to the Distribution of Programme Carrying Signals Transmitted by Satellite (1974);
d. Film Register Treaty (Treaty on the International Registration of Audiovisual Works) (1989).

Semua perjanjian internasional di bidang HKI tersebut dikelola di bawah administrasi WIPO yang berpusat di Jenewa, Swiss. Pemerintah telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang HKI yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 1997 melalui:
1. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tentang pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization;
2. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997 tentang pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) an Regulation Under the PCT;
3. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang pengesahan Trademark Law Treaty (TLT);
4. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works;
5. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty.

Namun setelah beberapa tahun berdirinya WIPO, pada kenyataannya organisasi ini dirasa kurang mampu menegakkan perlindungan terhadap HKI yang ada. Menurut Fidel S. Djaman (dalam bukunya Rachmadi Usman), yang menjadi kelemahan WIPO antara lain:
1. WIPO hanya merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas (tidak banyak), sehingga ketentuan-ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota;
2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran di bidang HKI;
3. WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasional dan perubahan tingkat inovasi teknologi.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Setelah amandemen, pasal tersebut menyebutkan bahwa ”Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini ”. Berdasarkan ketentuan ini, berarti peraturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, Indische Staataregeling dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan.
Setelah mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari peraturan-peraturan yang lama dicabut. Peraturan seperti Auteurswet Stb. No.600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, Octroiwet yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1910 Nomor 313 dicabut melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 kemudian secara berturut-turut direvisi melalui UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14 Tahun 2001, Reglement Industriele Eigendom yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Tahun 1912 No. 545 yang diganti dengan UU Merek No. 21 Tahun 1961, Undang-Undang ini kemudian diganti dengan UU No. 19 Tahun 1992, berturut-turut direvisi melalui UU No. 14 Tahun 1997 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1992 dan terakhir dengan UU No. 15 Tahun 2001 menggantikan UU No. 14 Tahun 1997 .
Berdasarkan hal tersebut, pengaturan HKI di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (disebut pula Undang-Undang Merek 1961). Pengaturan mengenai HKI di Indonesia tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perjanjian internasional terkait dengan masalah HKI, yaitu:
1. Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;
2. Paten diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten;
3. Merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek;
4. Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri;
5. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang;
7. Varietas Tanaman diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000 Tentang Varietas Tanaman.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar