Pelaku kejahatan selalu berupaya dengan berbagai cara agar terhindar dari tuntutan hukum. Salah satu upaya yang sering dilakukan adalah meninggalkan tempat atau negara di mana kejahatan dilakukan. Yang menjadi masalah adalah jika pelaku kejahatan tersebut melarikan diri atau berada di negara lain. Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi yang semakin maju, pelaku kejahatan juga dapat merencanakan dan melakukan suatu kejahatan di suatu negara tanpa datang ke negara tersebut seperti kejahatan internet atau cyber crime. Pada umumnya setiap negara merasakan perlunya kerja sama antar negara dalam upaya pencarian, penangkapan dan penyerahan pelaku kejahatan dan untuk menghindari pertentangan antara jurisdiksi negara yang satu dengan yang lain. Salah satu bentuk kerja sama tersebut adalah ekstradisi.
Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta), atas permintaan dari negara-peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.
Menurut undang-undang ekstradisi Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 1, ekstradisi diartikan: penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam jurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Menurut J.G Starke istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas (kepantasan), suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya, atas seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan. Negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan rasional yang menentukan hukum dan praktik ekstradisi, yaitu :
1. Kehendak bersama semua negara, untuk menjamin bahwa kejahatan serius tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Suatu negara yang di wilayahnya berlindung seorang pelaku tindak pidana, seringkali tidak dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis hukum pidana atau karena tidak memiliki jurisdiksi. Untuk menutup celah tersebut maka hukum internasional memberikan dalil “aut punire aut dedere”, yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang dapat dan menghendaki penghukuman terhadapnya.
2. Negara yang wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling mampu mengadili pelaku tindak pidana itu, karena bukti-bukti yang diperluas lebih banyak tersedia di sana, dan bahwa negara tersebut mempunyai kepentingan paling besar untuk menghukum pelaku tindak pidana, serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk memastikan kebenaran. Maka yang paling benar dan paling tepat adalah, kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang mencari perlindungan ke negara lain harus diserahkan.
Melihat proses ekstradisi mulai dari awal sampai dengan dilakukannya penyerahan pelaku kejahatan dari negara-diminta kepada negara-peminta, ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu :
1. Tahap I : Pra Ekstradisi;
2. Tahap II : Proses Ekstradisi;
3. Tahap III: Pelaksanaan Ekstradisi;
Tahap pra ekstradisi adalah langkah awal yang dilakukan sebelum diajukan permintaan ekstradisi dengan mendapatkan informasi mengenai keberadaan pelaku kejahatan yang dicari. Setelah mengetahui keberadaanya, baru diajukan permintaan penangkapan dan penahanan sementara (provisional arrest). Untuk pencarian, penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan pada umumnya dilakukan kerjasama melalui INTERPOL, tetapi ada juga negara yang sesuai dengan ketentuan hukum di negaranya, mengharuskan penyampaian permintaan tersebut melalui saluran diplomatik.
Proses ekstradisi dimulai dari adanya permintaan dari negara-peminta yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili dan atau menghukum seseorang (orang yang diminta) baik dalam status hukumnya sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum, kepada negara-diminta yang merupakan negara tempat orang yang diminta berada atau berlindung. Permintaan tersebut harus melalui saluran diplomatik, misalnya diajukan oleh kepala negara, perdana menteri, atau menteri luar negeri dari negara-peminta, kepada kepala negara, perdana menteri atau menteri luar negeri negara-diminta, baik secara langsung ataupun melalui duta besar masing-masing pihak. Permintaan tersebut harus disertai dengan dokumen-dokumen terkait, seperti, dokumen tentang identitas pribadi orang yang diminta, uraian tentang kejahatan yang dijadikan alasan permintaan penyerahan dengan disertai pasal-pasal dari hukum pidana yang dituduhkan, dan alat-alat bukti yang mendukung yang dianggap relevan. Kemudian negara-diminta akan memutuskan menerima atau menolak ekstradisi berdasarkan hukum nasionalnya. Keputusan tersebut juga harus disampaikan melalui saluran diplomatik.
Pelaksanaan ekstradisi dapat dilakukan setelah ada surat pemberitahuan tentang pengabulan ekstradisi dari negara-diminta. Surat pemberitahuan tersebut harus dilengkapi dengan tempat dan waktu orang yang diminta akan diserahkan oleh negara-diminta kepada negara-peminta. Bersamaan dengan penyerahan orang yang diminta, dapat pula disertai dengan penyerahan barang bergerak miliknya, barang-barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan, dan barang-barang yang merupakan hasil dari kejahatannya itu. Secara lebih teknis, masalah penyerahan orang dan barang, harus diatur secara lebih rinci oleh kedua pihak.
Prosedur dan mekanisme ekstradisi tersebut sudah bersifat baku dan sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, dengan azas-azas hukumnya yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah hukum sehingga kini ekstradisi sudah bersifat mandiri. Dalam praktiknya, meskipun ekstradisi sudah menjadi hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, negara-negara masih membutuhkan pengaturannya secara lebih tegas dan jelas dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral maupun multilateral.
Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta), atas permintaan dari negara-peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya.
Menurut undang-undang ekstradisi Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 1, ekstradisi diartikan: penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam jurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Menurut J.G Starke istilah ekstradisi menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas (kepantasan), suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya, atas seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan. Negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan rasional yang menentukan hukum dan praktik ekstradisi, yaitu :
1. Kehendak bersama semua negara, untuk menjamin bahwa kejahatan serius tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Suatu negara yang di wilayahnya berlindung seorang pelaku tindak pidana, seringkali tidak dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis hukum pidana atau karena tidak memiliki jurisdiksi. Untuk menutup celah tersebut maka hukum internasional memberikan dalil “aut punire aut dedere”, yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang dapat dan menghendaki penghukuman terhadapnya.
2. Negara yang wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling mampu mengadili pelaku tindak pidana itu, karena bukti-bukti yang diperluas lebih banyak tersedia di sana, dan bahwa negara tersebut mempunyai kepentingan paling besar untuk menghukum pelaku tindak pidana, serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk memastikan kebenaran. Maka yang paling benar dan paling tepat adalah, kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang mencari perlindungan ke negara lain harus diserahkan.
Melihat proses ekstradisi mulai dari awal sampai dengan dilakukannya penyerahan pelaku kejahatan dari negara-diminta kepada negara-peminta, ada tiga tahapan yang harus dilalui yaitu :
1. Tahap I : Pra Ekstradisi;
2. Tahap II : Proses Ekstradisi;
3. Tahap III: Pelaksanaan Ekstradisi;
Tahap pra ekstradisi adalah langkah awal yang dilakukan sebelum diajukan permintaan ekstradisi dengan mendapatkan informasi mengenai keberadaan pelaku kejahatan yang dicari. Setelah mengetahui keberadaanya, baru diajukan permintaan penangkapan dan penahanan sementara (provisional arrest). Untuk pencarian, penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan pada umumnya dilakukan kerjasama melalui INTERPOL, tetapi ada juga negara yang sesuai dengan ketentuan hukum di negaranya, mengharuskan penyampaian permintaan tersebut melalui saluran diplomatik.
Proses ekstradisi dimulai dari adanya permintaan dari negara-peminta yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili dan atau menghukum seseorang (orang yang diminta) baik dalam status hukumnya sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum, kepada negara-diminta yang merupakan negara tempat orang yang diminta berada atau berlindung. Permintaan tersebut harus melalui saluran diplomatik, misalnya diajukan oleh kepala negara, perdana menteri, atau menteri luar negeri dari negara-peminta, kepada kepala negara, perdana menteri atau menteri luar negeri negara-diminta, baik secara langsung ataupun melalui duta besar masing-masing pihak. Permintaan tersebut harus disertai dengan dokumen-dokumen terkait, seperti, dokumen tentang identitas pribadi orang yang diminta, uraian tentang kejahatan yang dijadikan alasan permintaan penyerahan dengan disertai pasal-pasal dari hukum pidana yang dituduhkan, dan alat-alat bukti yang mendukung yang dianggap relevan. Kemudian negara-diminta akan memutuskan menerima atau menolak ekstradisi berdasarkan hukum nasionalnya. Keputusan tersebut juga harus disampaikan melalui saluran diplomatik.
Pelaksanaan ekstradisi dapat dilakukan setelah ada surat pemberitahuan tentang pengabulan ekstradisi dari negara-diminta. Surat pemberitahuan tersebut harus dilengkapi dengan tempat dan waktu orang yang diminta akan diserahkan oleh negara-diminta kepada negara-peminta. Bersamaan dengan penyerahan orang yang diminta, dapat pula disertai dengan penyerahan barang bergerak miliknya, barang-barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan, dan barang-barang yang merupakan hasil dari kejahatannya itu. Secara lebih teknis, masalah penyerahan orang dan barang, harus diatur secara lebih rinci oleh kedua pihak.
Prosedur dan mekanisme ekstradisi tersebut sudah bersifat baku dan sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, dengan azas-azas hukumnya yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah hukum sehingga kini ekstradisi sudah bersifat mandiri. Dalam praktiknya, meskipun ekstradisi sudah menjadi hukum kebiasaan internasional yang berlaku umum, negara-negara masih membutuhkan pengaturannya secara lebih tegas dan jelas dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral maupun multilateral.
0 komentar:
Posting Komentar