Melihat begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi negara maka undang – undang tentang perpajakan beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan perkembangan dalam bidang perpajakan sehingga tindak pidana di bidang perpajakan bisa di dikurangi / antisipasi . Aturan – aturan secara umum mengacu pula pada aturan – aturan yang lebih umum baik pada Undang – Undang Hukum Pidana maupun Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam penjelasan pasal 38 UU No. 6 tahun 1983 Jo.UU No.9 tahun 1997 Jo. UU No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan disebutkan : Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak, sepanjang menyangkut administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana “. Penjelasan pasal 38 di atas secara jelas mengatur tentang dasar hukum tindak pidana di bidang perpajakan. Namun dalam praktek baik jaksa maupun hakim lebih cenderung menerapkan ketentuan undang – undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap kasus-kasus yang berkaitan tindak pidana perpajakan . Hal ini diungkapkan oleh pakar hukum pidana Unair DR.Sarwarini,SH,MS ( 1999 : 9 ) : Keadaan ini terjadi , baik sebelum maupun sesudah diterapkannya undang – undang perpajakan yang baru. Keadaan tersebut dapat ditolerir jika terjadi sebelum diterapkannya undang undang perpajakan yang lama, tapi sesungguhnya , sangat memalukan, jika dipakai sesudah penerapan undang – undang perpajakan baru”.dimana menyalahi azas lex specialist derogat generali.
Dalam menjerat pelaku tindak pidana perpajakan hakim dan jaksa cuma mengacu pada pasal 14 UU No. 31 tahun 1999 : setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini. Pasal 43 B UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih bersifat umum itu sehingga perlu di terapkan peraturan – peraturan yang bersifat khusus yaitu UU No. 6 tahun 1983 Jo. UU No. 9 tahun 1997 Jo. UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan .
Dalam proses persidangan tampak bahwa, selain majelis hakim belum pernah menyidangkan kasus perpajakan , hakim maupun jaksa kurang memahami segi teknis ketentuan formal dan materiil yang berkaitan dengan system perpajakan yang baru, hal ini dapat kita lihat dari kasus penggelapan pajak yang divonis penjara 26 tahun karena menyelewengkan dana pajak PT Semen Tonasa . Kedua orang itu yakni Iwan Zulkarnain ( 34 ) dihikum 16 tahun dengan hukuman denda Rp. 100 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti kepada negara Rp. 27 Milyar subsider dua tahun penjara dan Asriadi divonis 10 tahun dengan denda Rp. 100 Juta subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti kepada negara Rp. 13 milliar subsider satu tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Makassar, Selasa 28 Oktober 2003. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan tim Jaksa Penuntut ( JPU ) Muh.Zainal Arif,SH yang menuntut Iwan Zulkarnaen dengan hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Asriadi 15 tahun penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyebutkan bahwa terhukum Iwan Zulkarnain terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 13 Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 Jo. Ke 1 jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP . Terhukum melakukan pertemuan dengan terdakwa Asriadi – berkas perkaranya terpisah- yang juga mantan pegawai Kantor Pajak Wilayah XV Sulawesi Selatan. Sedangakn Asriadi terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo.UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke 1 pasal 64 ayat 1 KUHP tentang Tindak Pidana Korupsi.
Seharusnya hakim dalam memvonis kasus di atas di samping mengacu pada Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menerapakan Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya pasal 39 ( 1 ) huruf g yang berbunyi : “ setiap orang yang dengan sengaja : tidak menyetorkan pajak yang telah di punggut atau di potong,sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.”
Dari kasus penggelapan pajak ini saja baik jaksa maupun hakim sama sekali tidak memasukkan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur secara khusus kasus perpajakan ( specialist ).
Demikian pula pada kasus perpajakan yang lain seperti restitusi pajak fiktif senilai 27 miliar di PN Bandung, oknum pegawai pajak yang terbukti memalsukan SSP senilai 15 juta di Menado dan pegawai pajak AR di Jayapura yang terbukti memalsukan SSP PBB senilai 150 juta semua di hukum dengan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus – kasus di atas memperlihatkan begitu kurang memahaminya hakim dan jaksa mengenai seluk beluk ketentuan formal dan materiil yang diatur dalam undang – undang sistem perpajakan.
C. Kesimpulan
Pajak merupakan pendapatan terpenting bagi negara , untuk itu aturan perpajakan pun di atur begitu detailnya, baik sekarang maupun jaman sebelum dilakukan “ Tax Reform “ dimana ketentuan-ketentuan itu sudah di atur pada KUHP pada pasal 209,242,253,263,322,368,372,387,388,415,416,417,419,441,425 karena sektorperpajakan ini diharap menyumbang finansial terbesar untuk APBN, dalam realisasinya terjadi kebocoran-kebocoran oleh wajib pajak , aparat pajak maupun pihak ke-3 untuk itu di tuangkan ketentuan pidananya di atur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya di dalam pada UU No. 3 tahun 1971 yang diganti dengan UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001. UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan merupakan specialist dari KUHP maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula tindak pidana di bidang perpajakan pada pasal 38,39,41,41A,41B.
Melihat begitu banyaknya atauran – aturan tindak pidana yang berkaitan dengan perpajakan ini diharapkan para pelaku tidak akan lolos terhadap tindakan yang telah dilakukan , mengacu pada azas Lex Specialist Derogat Generalis maka semua tindak pidana perpajakan itu seharusnya di jertat pula dengan pasal-pasal perpajakan. Akan tetapi harapan itu tidak terlaksana mengingat SDM kita khususnya hakim dan jaksa tidak memahami seluk beluk ketentuan formil dan materiil yang terkait dengan system perpajakan. Dari beberapa kasus perpajakan aparat penegak hukum khususnya jaksa dan hakim lebih menyukai menggunakan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di banding Ketentauan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tetapi permasalahannya vonis yang dijatuhkan pada terpidana itu apakah sudah memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat mengingat sama sekali Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak diterapkan.
0 komentar:
Posting Komentar