Jumat, 03 Desember 2010

Kebijakan Hukum Pidana Positif Dalam Pengaturan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

Hukum pajak merupakan bagian Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Negara. Tetapi beberapa sarjana menganggap bahwa hukum pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri, berdampingan dan sejajar dengan disiplin ilmu yang lain ( Rochmat Soemitro, 1992: 31 ) Dalam hukum pajak disamping ada sanksi administrasi terdapat sanksi pidana yang dijatuhkan untuk pelanggaran dan kejahatan. Hukum pidana seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan yang terdapat diluarnya, yaitu dalam ketentuan – ketentuan yang khusus ( lex specialist ) untuk mengadakan peraturan-peraturan dalam segala lapangan, merupakan keseluruhan yang sistimatis, karena ketentuan-ketentuan dalam buku I dari KUHP juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana ( peristiwa yang dapat dikenakan hukuman = staafbar feit ) yang diuraikan diluar KUHP itu. ( vide pasal 103 KUHP).
Pengertian “strafbaar feit “ terdapat banyak istilah seperti tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana atau delik “. Istilah tindak pidana merupakan pengertian baku yang berarti “ perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan pidana, ketentuan pidana tidak semata-mata terdapat dalam KUHP melainkan juga dalam Undang-Undang Pajak, Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang Imigrasi dan lainnya. “

Prof. Dr Mr J.Van der Poel ( Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam), dalam bukunya Rondom Composite en Crompomis mengutarakan, bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan hukum pidana umum. Sudah barang tentu tetap ada ketinggalan perbedaannya yang khusus, karena hukum pajak sangat membutuhkannya dalam detail-detailnya. Lagi pula, sekalipun dasar fikirannya sama, namun dalam sejarah teryata pertumbuhannya agak menyimpang. Menurut pendapatnya, sebelum setengah abad yang lalu, pelanggaran-pelanggaran pajak terlalu dianggap simplistis ( remeh) dan terlalu formal, sedangkan teori dan filsafat yang terbaru mengenai hal itu tidak lagi membedakan antara “ pencurian “ terhadap negara dan pencurian terhadap individu. ( R.Santoso Brotodiharjo,1995: 24 )
Bahwa peraturan – peraturan administrasi pun sangat memerlukan sanksi –sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam peraturan – peraturan pajak terdapat sanksi – sanksi yang bersifat umum dan khusus, antara lain dimuatlah dalam :
a. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( Generalis / umum )
1. Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP
2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal 242 KUHP
3. Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP
4. Pemalsuan Surat, pasal 263 KUHP
5. Membuka Rahasia pasal 322 KUHP
6. Pemerasan dan Pengancaman, pasal 368 KUHP
7. Penggelapan, pasal 372 KUHP
8. Melakukan tipu muslihat pasal 387 KUHP
9. Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus, pasal 388 KUHP
10.Kejahatan Jabatan
a. Pasal 415 KUHP
b. Pasal 416 KUHP
c. Pasal 417 KUHP
d. Pasal 419 KUHP
e. Pasal 241 KUHP
f. Pasal 425 KUHP
b. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. UU No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasar pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999 : “ setiap orang yang melanggar ketentuan undang – undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang - undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang – undang ini.Adapun pasal – pasal yang berkaitan Tindak Pidana Perpajakan pada pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13 dan 18.
Berdasar pasal 43 B UU No. 20 Tahun 2001 : “ pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, pasal 209 , pasal 210, pasal 378, pasal 378, pasal 388 , pasal 415, pasal 416, pasal 417, pasal 418, pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425, dan pasal 435 kitab Undang – Undang Hukum Pidana Jis. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang pengaturan hukum pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9 ), undang – undang nomor 73 tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang perataruan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( LN 1958 No. 127 , TLN. No. 1660 ) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dinyatakan tidak berlaku. Pada UU ini yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan diatur dalam pasal 5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B.
c. Undang – Undang Perpajakan ( Specialist / khusus )
Undang-Undang perpajakan kita membagi tindak pidana yang dilakukan oleh wajib pajak dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
1) Tindak Pidana Pelanggaran
Pelanggaran sering dipadankan dengan kejahatan yang ringan, ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila disbanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak yang terhutang. Dalam UU No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan prinsip – prinsip ancaman pidana pelanggaran ini pun dengan nyata – nyata dimuat dalam : Pasal 38 “ setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara , dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau denda paling lama 2 ( dua ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar .
2)Tindak Pidana Kejahatan
Jika pelanggaran merupakan kejahatan ringan maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat. Pelanggaran berat karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku kejahatan ini adalah pidana penjara selama-lamanya tiga tahun dan atau denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau tidak dibayar, serta bagi pelaku pengulangan kejahatan ( residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun ketentuan tersebut ada dalam :
Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan
( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja : tidak mendaftarkan diri , atau menyalah gunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ; atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan menyampaikan surat Pemberitahuan dan atau Keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau, menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ; dan memperlihatkan pembukuan, pencatatan , atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau tidak menyelenggarakan pembukuan, atau pencatatan tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipunggut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi (empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
( 2 ) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 ( satu ) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
( 3 ) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPK sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf ( a), atau menyampaikan SP dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huru ( c) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajip Pajak.
Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal 34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,- ( empat juta rupiah); pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang menurut pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga.
Setiap orang yang dengan sengaja menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah ).
Dari semua ketentuan peraturan itu dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana :
a. yang dilakukan oleh wajib pajak
b. yang dilakukan oleh pejabat pajak ( fiskus )
c. yang dilakukan oleh pihak ketiga, yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.
Sedangakan untuk materi yang diancam dengan sanksi pidana adalah :
a. dengan sengaja memasukkan surat pemberitahuan yang tidak benar, atau memberikan data-data yang tidak benar , palsu atau dipalsukan.
b. Memperlihatkan atau menyerahkan pembukuan atau dokumen yang tidak benar, palsu atau dipalsukan;
c. tidak memberikan / menolak memberikan keterangan yang diperlukan oleh Kantor Inspeksi Pajak untuk menetapkan pajak;
d. tidak memperlihatkan pembukuan, dokkumen, dan catatan lain kepada pejabat pajak
e. tidak memberikan kesempatan kepada pejabat pajak untuk melakukan pemeriksaan setempat
f. tidak menyampaikan surat pemberitahuan;
g. tidaak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan NPWP / NPPKP tanpa hak; dan
h. tidak menyetorkan pajak yang telah dipunggut.

(sumber: MH. Huda)

Related Posts by Categories



0 komentar:

Posting Komentar