Setelah berhari-hari serangan pasukan koalisi yang dipimpin Prancis ke Libya, tercatat ada sedikitnya 114 orang telah tewas dan 445 orang terluka. Gempuran pasukan koalisi pastinya dari hari ke hari akan semakin banyak menimbulkan korban, apabila pemimpin Libya Moamar Khadafi tetap bertahan bahkan melakukan serangan balasan dan tetap mempertahankan harga dirinya sampai titik darah penghabisan. Khadafi sendiri sudah mengatakan, dirinya Tidak Takut terhadap mandat PBB yang dilakukan oleh dunia Barat. Dirinya siap mati. “Kami Akan Membalas perbuatan keji dunia barat. Kami pun siap berperang dan berjihad di jalan Allah SWT. Kami Pasti Menang,” ujarnya di sebuah situs.
Tentu saja serangan yang terjadi kepada Libya itu banyak menimbulkan kecaman. Dari sekian kecaman, yang mempunyai pengaruh adalah pernyataan dari Rusia, China, dan Jerman. Menurut Pemerintah Rusia, serangan pasukan koalisi itu akan menyebabkan ke dalam perang skala penuh, seperti perang yang terjadi Irak dan Afganistan. Bahkan oleh Rusia apa yang dilakukan pasukan koalisi itu bisa menimbulkan Perang Dunia III, sebab di belahan wilayah lainnya, seperti Irak dan Afghanistan, perang masih berkecamuk. Sedang Jerman mengungkapkan bahwa aksi militer pasukan koalisi di Libya bisa membawa konsekuensi besar bagi Dunia Arab. Sementara China menuturkan menekankan kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas Libya. China berharap situasi perdamaian dan stabilitas di Libya pulih secepatnya sehingga eskalasi dalam konflik bersenjata dan krisis kemanusiaan yang lebih serius dapat dihindari.
Serangan yang terjadi di Libya itu bisa terjadi, selain karena dalih demokratisasi dan kepentingan minyak, juga dikarenakan tidak adanya kekuatan militer yang berada di belakang Libya. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, berpikir seribu kali bila hendak menyerang Libya apabila ada negara kuat di belakang Libya.
Sebenarnya ada beberapa negara yang mem-back up, Libya seperti Rusia, China, India, Jerman, dan Brasil, namun dukungan itu hanya sebatas di atas kertas. Pada awal bulan, negara-negara itu memilih abstain dalam bersikap ketika diambil voting di Dewan Keamanan PBB soal zona larangan terbang, yang memungkinkan intervensi bersenjata oleh pasukan koalisi. Negara-negara itu mem-back up Libya, dilandasi faktor sejarah peperangan dan ideologi bahwa mereka block lain, bukan masuk block yang saat ini menyerang Libya.
Dukungan negara-negara itu di atas kertas tentu tidak cukup untuk mem-backing-in Libya, sehingga ketika Libya diserang, negara-negara itu ya cuma mengeluarkan pendapat hentikan perang, gencatan senjata, dan membawa masalah ke meja perundingan. Libya sendiri dalam sikap aliansi atau persekutuannya juga tidak jelas, kadang ke kanan, kadang ke kiri, sesuai kebutuhan, seperti sikap politik luar negeri Indonesia.
Dukungan militer dari sebuah negara besar itu sangat perlu guna melindungi kepentingan politik dalam negerinya. Karena Libya tidak bersekutu dengan China dan Rusia, maka kedua negara itu secara militer tidak melindunginya. Lain halnya dengan Korea Utara, karena ada persekutuan dengan China, maka Amerika Serikat tidak berani menyerang Korea Utara.
Seringnya Korea Utara melakukan provokasi dengan aksi-aksi militer (show force) menyebabkan DK-PBB sering mengingatkan negara tersebut agar tidak memacu perlombaan senjata. Meski DK-PBB telah mengeluarkan Resolusi 1695 dan Resolusi 1718 Tahun 2006 dan Resolusi 1874 Tahun 2009, namun Korea Utara tetap tak mempedulikan resolusi-resolusi itu. Sebenarnya Korea Selatan dan Amerika Serikat tahu kalau Korea Utara sering melakukan uji coba rudal-rudalnya, seperti KN-1, KN-2, Scud-B, Nodong-A, Nodong-B, Taepodong-1, Taepodong-2, namun mereka tidak bersikap atau menyerang Korea Utara.
Apa alasan Barat tidak mengirakan, mengafghanistankan, atau melibyakan Korea Utara? Faktornya karena sikap China. China sebagai tetangga, saudara lama, dan seideologi komunis dengan Korea Utara membuat China diam-diam mendukung apa yang dilakukan negara Korea Utara.
Meski DKPBB telah tiga resolusinya, namun membengkuk Korea Utara tidak mudah. Ini bisa terjadi karena sikap China secara tegas menolak, tidak sebatas abstain, segala bentuk resolusi DKPBB terkait segala bentuk sanksi terhadap Korea Utara. China sebagai negara yang disegani membuat Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara sekutu lainnya berpikir-pikir bila melakukan invasi atau agresi militer kepada Korea Utara.
Bila negara-negara itu melakukan invasi dan agresi militer ke Korea Utara, maka China akan melibatkan diri dalam peperangan itu. Untuk itu diplomasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kenakalan Korea Utara adalah diplomasi bersama China. China diharap oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, agar membujuk Korea Utara untuk menghentikan segala bentuk ujicoba persenjataannya.
Libya tentu tidak akan serta merta diserang oleh pasukan koalisi bila negara itu menjadi bagian kekuatan bersenjata China atau Rusia. Dari pelajaran serangan Libya oleh pasukan Koalisi, saling back up kekuatan militer ternyata suatu hal yang penting. Untuk melindungi masalah dalam negeri, dilakukan secara mandiri merupakan sebuah mimpi. Negara sebesar Amerika Serikat pun masih membutuhkan kawan bila menyerang negara lain. Untuk menghadapi pemimpin Jerman Adolf Hitler dalam Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin saja harus bertemu dan membentuk grand alliance. Ketika Presiden Soekarno melaksanakan Trikora, ia pun melakukan perkawanan dengan Uni Soviet, terlihat berbagai kapal laut tempur untuk melaksanakan operasi mayoritas buatan Uni Soviet.
Aliansi atau persekutuan militer, hal yang demikian, bisa dijadikan pelajaran bagi sistem pertahanan kita. Dengan alutsista yang usang dan minim tentu kita akan mudah ditaklukan oleh negara lain bila kita diserang. Sistem pertahanan yang dikembangkan, pertahanan semesta, pun tidak akan mampu menandingin serangan-serangan dari negara lain yang memiliki alutsista yang canggih dan modern serta jenderal-jenderal perang yang ahli dalam pertempuran. Kita selama ini terbuai dengan jargon politik bebas aktif. Jargon itu bisa berdaya guna bila kita menjadi kekuatan ekonomi atau militer. Namun sayangnya dua kekuataan itu masih jauh di mata kita.
Ardi Winangun
(Suar.Okezone.com)
Serangan yang terjadi di Libya itu bisa terjadi, selain karena dalih demokratisasi dan kepentingan minyak, juga dikarenakan tidak adanya kekuatan militer yang berada di belakang Libya. Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, berpikir seribu kali bila hendak menyerang Libya apabila ada negara kuat di belakang Libya.
Sebenarnya ada beberapa negara yang mem-back up, Libya seperti Rusia, China, India, Jerman, dan Brasil, namun dukungan itu hanya sebatas di atas kertas. Pada awal bulan, negara-negara itu memilih abstain dalam bersikap ketika diambil voting di Dewan Keamanan PBB soal zona larangan terbang, yang memungkinkan intervensi bersenjata oleh pasukan koalisi. Negara-negara itu mem-back up Libya, dilandasi faktor sejarah peperangan dan ideologi bahwa mereka block lain, bukan masuk block yang saat ini menyerang Libya.
Dukungan negara-negara itu di atas kertas tentu tidak cukup untuk mem-backing-in Libya, sehingga ketika Libya diserang, negara-negara itu ya cuma mengeluarkan pendapat hentikan perang, gencatan senjata, dan membawa masalah ke meja perundingan. Libya sendiri dalam sikap aliansi atau persekutuannya juga tidak jelas, kadang ke kanan, kadang ke kiri, sesuai kebutuhan, seperti sikap politik luar negeri Indonesia.
Dukungan militer dari sebuah negara besar itu sangat perlu guna melindungi kepentingan politik dalam negerinya. Karena Libya tidak bersekutu dengan China dan Rusia, maka kedua negara itu secara militer tidak melindunginya. Lain halnya dengan Korea Utara, karena ada persekutuan dengan China, maka Amerika Serikat tidak berani menyerang Korea Utara.
Seringnya Korea Utara melakukan provokasi dengan aksi-aksi militer (show force) menyebabkan DK-PBB sering mengingatkan negara tersebut agar tidak memacu perlombaan senjata. Meski DK-PBB telah mengeluarkan Resolusi 1695 dan Resolusi 1718 Tahun 2006 dan Resolusi 1874 Tahun 2009, namun Korea Utara tetap tak mempedulikan resolusi-resolusi itu. Sebenarnya Korea Selatan dan Amerika Serikat tahu kalau Korea Utara sering melakukan uji coba rudal-rudalnya, seperti KN-1, KN-2, Scud-B, Nodong-A, Nodong-B, Taepodong-1, Taepodong-2, namun mereka tidak bersikap atau menyerang Korea Utara.
Apa alasan Barat tidak mengirakan, mengafghanistankan, atau melibyakan Korea Utara? Faktornya karena sikap China. China sebagai tetangga, saudara lama, dan seideologi komunis dengan Korea Utara membuat China diam-diam mendukung apa yang dilakukan negara Korea Utara.
Meski DKPBB telah tiga resolusinya, namun membengkuk Korea Utara tidak mudah. Ini bisa terjadi karena sikap China secara tegas menolak, tidak sebatas abstain, segala bentuk resolusi DKPBB terkait segala bentuk sanksi terhadap Korea Utara. China sebagai negara yang disegani membuat Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara sekutu lainnya berpikir-pikir bila melakukan invasi atau agresi militer kepada Korea Utara.
Bila negara-negara itu melakukan invasi dan agresi militer ke Korea Utara, maka China akan melibatkan diri dalam peperangan itu. Untuk itu diplomasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan kenakalan Korea Utara adalah diplomasi bersama China. China diharap oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, agar membujuk Korea Utara untuk menghentikan segala bentuk ujicoba persenjataannya.
Libya tentu tidak akan serta merta diserang oleh pasukan koalisi bila negara itu menjadi bagian kekuatan bersenjata China atau Rusia. Dari pelajaran serangan Libya oleh pasukan Koalisi, saling back up kekuatan militer ternyata suatu hal yang penting. Untuk melindungi masalah dalam negeri, dilakukan secara mandiri merupakan sebuah mimpi. Negara sebesar Amerika Serikat pun masih membutuhkan kawan bila menyerang negara lain. Untuk menghadapi pemimpin Jerman Adolf Hitler dalam Perang Dunia II, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin saja harus bertemu dan membentuk grand alliance. Ketika Presiden Soekarno melaksanakan Trikora, ia pun melakukan perkawanan dengan Uni Soviet, terlihat berbagai kapal laut tempur untuk melaksanakan operasi mayoritas buatan Uni Soviet.
Aliansi atau persekutuan militer, hal yang demikian, bisa dijadikan pelajaran bagi sistem pertahanan kita. Dengan alutsista yang usang dan minim tentu kita akan mudah ditaklukan oleh negara lain bila kita diserang. Sistem pertahanan yang dikembangkan, pertahanan semesta, pun tidak akan mampu menandingin serangan-serangan dari negara lain yang memiliki alutsista yang canggih dan modern serta jenderal-jenderal perang yang ahli dalam pertempuran. Kita selama ini terbuai dengan jargon politik bebas aktif. Jargon itu bisa berdaya guna bila kita menjadi kekuatan ekonomi atau militer. Namun sayangnya dua kekuataan itu masih jauh di mata kita.
Ardi Winangun
(Suar.Okezone.com)
0 komentar:
Posting Komentar