Tampilkan postingan dengan label HUKUM INTERNASIONAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM INTERNASIONAL. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Maret 2010

Ketentuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

1. Ketentuan CEDAW Bersifat Umum
CEDAW dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah “diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action).

Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum yang akan dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW. Pertama, Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar dan perundang-undangan Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan.

Kedua, Pasal 2 butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundangan tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita. Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara Negara Peserta akan menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok di mana pun.

Ketiga, Pasal 2 butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat diskriminatif tidak akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah Negara Negara Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan Undang Undang, peraturan perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan diubah atau dicabut. Sebagaimana demikian, Pasal 5 butir a berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah sesuai dengan CEDAW. Jadi, kebiasaan atau praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan dihapuskan.

2. Ketentuan CEDAW Di Bidang Tertentu
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat ketentuan khusus di bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik. Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto butir b menetapkan hak memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan didasarkan persamaan wanita dengan pria. Selanjutnya, hak mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah juga akan disandarkan kaidah tersebut. Akhirnya, wanita bersama dengan pria akan mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan maupun hak melaksanakan segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.

Di bidang sosial dan internasional, Pasal 7 butir c yuncto Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan pedesaan.

3. CEDAW Dan Hukum
Pasal 15 mengandung ketentuan tentang hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan di muka hukum. Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal sipil maupun kesempatan melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan tersebut tercantum hak yang sama untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus harta benda. Kecakapan tersebut pula tercantum perlakuan yang sama dalam lingkungan peradilan pada tingkat pertama, banding dan kasasi. Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat kediaman.

4. CEDAW Dan Kekeluargaan
Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan perkawinan. Secara umum, Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai perkawinan. Khususnya, beberapa hak wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama, Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya.

Ketiga, Pasal 16 Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan maupun pada putusnya. Keempat, Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak mereka. Namun demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.

Kelima, Pasal 16 Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami isteri termasuk hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi dan jabatan. Keenam, Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh, Pasal 16 Ayat (2) melarang pertunangan dan perkawinan seorang anak.

5. Ketentuan CEDAW Bersifat Teknis
CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal yang bersifat administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.

[+/-] NEXT...

Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hukum internasional melindungi HAM melalui konvensi atau perjanjian internasional dan kebiasaan international. Ketentuan hukum internasional terhadap HAM yang paling lama adalah Maklumat Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (UDHR). UDHR dikeluarkan pada tahun 1948. UDHR telah mempengaruhi serta diakui Republik Indonesia. UDHR bukan konvensi atau perjanijian internasional, melainkan itu Ketetapan Majelis Bangsa Bangsa yang lembaga tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebagaimana demikian, UDHR sendiri tidak wajib dilaksanakan negara anggota PBB. Bagaimanapun, UDHR sudah lama diumumkan. Ada orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan UDHR menjadi kebiasaan internasional dan, oleh sebabnya, ketentuan UDHR wajib dipenuhi semua negara dunia.

Kebiasaan hukum internasional terhadap HAM ditambah dengan Konvensi. Konvensi tentang HAM diundangkan negara negara dunia dengan bantuan PBB. Konvensi atau perjanjian internasional wajib dilaksanakan secara tersebut. Di bidang Konvensi tentang HAM terdapat Konvensi bersifat umum dan Konvensi bersifat khusus. Konvensi bersifat umum adalah Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Asasi Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (ICCPR) dan Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic Social and Cultural Rights) (ICESCR) yang akan disahkan Indonesia.

Konvensi bersifat khusus tercantum Konvensi terhadap hak hak asasi wanita. Konvensi itu termasuk Konvensi Tentang Hak Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women) yang telah disahkan Indonesia dengan Undang Undang No.18/1956 maupun CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

[+/-] NEXT...

Rabu, 10 Maret 2010

Fungsi dan Unsur-unsur Perjanjian Internasional

a. Fungsi Perjanjian Internasional
Menurut Mohd. Burhan Tsani (1990:66-67) dalam kehidupan masyarakat internasional dewasa ini perjanjian internasional mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa diabaikan, diantaranya :
1. untuk mendapatkan pengakuan umum anggota masyarakat bangsa-bangsa.
2. sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antar anggota masyarkat negara.
3. berfungsi sebagai sumber hukum internasional
4. sarana pengembang kerjasama internasional secara damai

b. Unsur-unsur Perjanjian Internasional
Salah-satu hal yang menjadi titik fokus perhatian penelitian ini adalah dari segi bentuk perjanjian internasional tertulis atau tidak tertulis yang telah jelas dikemukakan di atas memiliki kekuatan hukum yang berbeda walaupun sama-sama merupakan perjanjian internasional, namun adakah para sarjana hukum internasional memberikan batasan pada perjanjian internasional tertulis dan tidak tertulis dalam menentukan bentuk perjanjian internasional pada umumnya. Menurut I Wayan Parthiana (1992:13) yang dimaksud perjanjian internasional yaitu:
“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional”.

Dengan demikian maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu:
a. Kata sepakat
b. Subjek-subjek hukum
c. Berbentuk tertulis
d. Obyek tertentu
e. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.
(Walter S. Jones, 1993:113)

[+/-] NEXT...

Senin, 08 Maret 2010

Arti dari Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional

Sebelum kita masuk ke dalam pengertian Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional di Indonesia, terlebih dahulu kita pahami arti dari Hukum Perdata itu sendiri. Hukum Perdata disini adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang perseorangan, orang dengan badan hukum, dan badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain. Hukum Perdata Internasional sendiri artinya adalah hukum yang mengatur hubungan orang perseorangan maupun badan hukum dengan Negara Asing, sehingga dalam hal ini terdapat unsur asing di dalam hubungan keperdataannya. Perhubungan hukum antara orang-orang perseorangan dalam suatu negara, lazimnya berada antara orang-orang warga negara dari negara itu, yang pada umumnya takluk pada satu hukum perdata, yaitu yang berlaku di negara itu dan juga lazimnya mengenai barang-barang yang berada di daerah hukum negara itu.dalam hal ini tidak ada kesulitan yang berarti untuk menentukan hukum perdata mana yang harus dianut.

Kesulitan tentang hal ini mulai timbul, apabila misalnya salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersangkutan dalam perhubungan hukum itu adalah seorang asing, yaitu seorang warga negara asing atau apabila perhubungan hukum itu mengenai barang tak bergerak yang berada dalam derah hukum suatu negara asing atau apabila suatu perhubungan hukum dilahirkan di derah hukum negara asing menurut cara yang ditentukan di sana, akan tetapi harus dilaksanakan di sini atau sebaliknya dilahirkan di sini dan harus dilaksanakan di sana. Maka dengan pendek: adanya suatu anasir asinglah yang menimbulkan kesulitan dalam menentukan hukum perdata mana yang harus dilakukan. Hukum perdata Negara kitakah atau Hukum perdata Negara asingkah atau hukum perdata Istimewakah yang tidak masuk salah satu dari dua macam hukum perdata itu? Hukum perdata yang harus dianggap berlaku inilah yang lazimnya dinamakan hukum perdata Internasional.
Sedangkan yang dimaksud dengan Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional di Indonesia adalah beberapa peraturan yang berlaku di Negara Indonesia yang mengatur permasalahan Perdata yang terdapat unsur asingnya dan terbentuk dalam satu kesatuan yang dinamakan Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional di Indonesia.

[+/-] NEXT...

Rabu, 03 Maret 2010

Pelanggaran kebebasan komunikasi

Tidak diganggu-gugatnya komunikasi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing suatu negara, yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan bebas, guna kepentingan tujuan resmi dari perwakilan tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan yang dilakukan negara-negara lainnya, atau dapat dikatakan bahwa, their correspondence is immune from seizure, search and scencorship on the part of receiving state (komunikasi mereka adalah kebal terhadap perampasan, penggeledahan, dan penyensoran oleh pihak negara penerima).
Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan negara penerima harus melindungi dan mengizinkan komunikasi yang bebas bagi semua perwakilan-perwakilan lain serta konsulat-konsulat dari negara pengirim, di manapun juga, perwakilan boleh menggunakan semua alat-alat yang layak. Namun untuk pemasangan dan penggunaan radio transmitter, perwakilan harus mendapat izin dari negara penerima.

Salah satu dari kekebalan kebebasan berkomunikasi adalah bahwa diplomatic bag atau kantong diplomatik daripada perwakilan diplomatik negara asing tidak dapat dibuka dan ditahan, baik oleh negara penerima maupun oleh negara ketiga. Tetapi dengan syarat bahwa diplomatic bags tersebut harus mempunyai tanda-tanda luar yang kelihatan yang menunjukan sifat dari bungkusan-bungkusan itu sebagai diplomatic bags dan hanya boleh memuat atau berisi barang-barang atau dokumen-dokumen diplomatik untuk keperluan resmi. Hal ini ditentukan dalam Pasal 27 ayat 3 dan 4 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut:
Pasal 27 ayat 3
Kantong diplomatik tidak boleh dibuka atau ditahan
Pasal 27 ayat 4
Bungkusan-bugkusan yang dianggap kantong diplomatik harus diberi tanda luar yang jelas mengenai sifatnya dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang keprluan resmi

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah berlaku lama dalam hukum internasional, kantong diplomatik tidak dapat diganggu gugat di manapun ia berada. Namun untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, suatu ketentuan juga telah dimasukan dalam rancangan-rancangan tersebut yaitu bila pejabat-pjabat yang berwenang dari negara penerima mempunyai alasan yang serius untuk mencurigai bahwa kantong tersebut berisikan barng-barang yang bukan keperluan resmi, dapat meminta kantong tersebut dapat diperiksa melalui alat-alat teknik atau elektronik. Selanjutanya apabila pemeriksaan tersebut tidak memuaskan para pihak yang berwajib, maka kantong tersebut dapat dibuka dengan dihadiri oleh seorang wakil yang diutgaskan oleh negara pengirim. Bila permintaan tersebut tidak diterima, negara penerima dapat meminta agar kantong tersebut dikembalikan ke tempat asalnya.
Kasus pelanggaran diplomatic bags ini dapat dilihat pula dalam Kasus peti kemas Kedutaan Besar Irak di Pakistan. Atas dasar kecurigaan bahwa peti kemas tersebut berisikan senjata-senjata terlarang. Oleh karena itu Pemerintah Pakistan dapat melakukan pemeriksaan peti kemas tersebut dengan dihadiri oleh Duta Besar Irak.

[+/-] NEXT...

Senin, 01 Maret 2010

Sumber-Sumber Hukum Internasional

Dalam hukum internasional ada dua tempat yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yaitu pasal 7 Konvensi Den Haag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tanggal 26 Juni 1945.

Bagi hukum internasional Positif hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 Ayat (1) mengatakan bahwa, dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:

1. PERJANJIAN INTERNASIONAL, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. Perjanjian internasional adalah perajanjian yang diadakan antara oleh anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.Jadi termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antar organisasi internasional dengan organisasi lainnya. Juga yang dapat dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan oleh Tahta Suci Vatikan dengan negara-negara. Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai perjanjian internasional dalam arti diutarakan di atas perjanjian tidak adil (unequal treaties) yang pernah diadakan dimasa lampau, contohnya serikat-serikat dagang yang besar, seperti east india company dan verenigde oost Companie dengan kepala-kepala negara bumi putera.

2. KEBIASAAN-KEBIASAAN INTERNASIONAL, (Intenational Custom, as evidence of a general practice accpeted as law..)

Untuk dapat dikataka kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum internasional, harus dipenuhi unsur sebagi berikut:

a. Harus terdapat suatu kebiasaan internasional yang bersifat umum, dan diterapkan berulang dari waktu ke waktu.

b. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.

Contoh dari kebiasaan internasional: memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh, perlakuan tawanan perang menurut perikemanusiaan, penggunaan karpet warna merah bila menerima kunjungan kepala negara asing.

3. PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM (General principles of law recognized by civilized nations)

Yang dimaksud dengan asas umum hukum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern (Hukum modern: sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar atas asas dan lembaga hukum romawi. Adanya asas hukum ini sangat penting bagi perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Dengan adanya sumber hukum ini, mahkamah tidak bisa menyatakan 'not liquet' yakni menolak mengadili perkara karena tidak ada hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. KEdudukan mahkamah internasional diperkuat dengan adanya sumber hukum ini.

4. sUMBER HUKUM TAMBAHAN: Yurisprudensi dan doktrin para sarjana terkemuka di dunia.

Sumber hukum tambahan ini maksudnya adalah, Yurisprudensi dan Doktrin dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengedai adanya persoalan yang didasarkan atas sumber primer. Yurisprudensi dan doktrin ini tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan kaidah hukum.

5. KEPUTUSAN BADAN PERLENGKAPAN 9ORGANS0 ORGANISASI DARI LEMBAGA INTERNASIONAL.

Pertumbuhan lembaga dan organisasi internasional dalam 50 tahun terakhir telah mengakibatkan timbulnya berbagai keputusan, baik dari badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dari lembaga internasional itu yang tidak dapat diabaikan dalam suatu pembahasan tentang sumber hukum internasional, walaupun mungkin keputusan demikian belum dapat dikatakan merupakan sumber hukum internasional dalam arti yang sesungguhnya.


[+/-] NEXT...

Sabtu, 27 Februari 2010

Pelanggaran terhadap Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina

Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara pengirim dan negara penerima.
Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung perwakilannya sebagai tempat untuk menyembunyikan atau menyekap seseorang yang berwarga negara pengirim atau menculik orang itu yang sedang berada di wilayah negara penerima dan menahannya di dalam gedung perwakilan dengan maksud secara paksa memulangkan orang itu ke negara asalnya. Sebagai contoh adalah kasus pemaksaan masuk terhadap Sun Yat Sen, seorang revolusionis dari China ke dalam gedung Kedutaan Besar Cina di London, Inggris. Pemaksaan masuk tersebut dilakukan dengan maksud untuk menangkap dan mengirimkan Sun Yat Sen kembali ke Cina untuk diserahkan kepada pemerintah untuk diadili sebagai seorang pemberontak. Tindakan Kedutaan Besar Cina tersebut dihalang-halangi oleh Pemerintah Inggris, yang menuntut supaya Sun Yat Sen di lepaskan. Pernyataan Kedutaan Besar Cina bahwa Sun Yat Sen ditangkap di dalam gedung kedutaan Cina yang harus dianggap kebal dari campur tangan, ditolak oleh pemerintah. sehingga terpaksa melepas Sun Yat Sen dari penyekapannya.

Atas dasar Pasal 41 ayat 3 ini juga, gedung perwakilan asing tidak dibenarkan sebagai tempat untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kriminil. Hal ini adalah sebagai penghormatan perwakilan terhadap Pasal 41 ayat 1 Konvensi Wina 1961, yaitu bahwa seorang wakil diplomatik diharapkan untuk menghormati dan memperhatikan undang-undang dan peraturan hukum negara penerima, maka apabila salah seorang yang diinginkan oleh penguasa-penguasa negara-negara penerima, sehubungan dengan tindak pidana kriminal yang dilakukannya, yang telah berlindung di dalam kantor perwakilan asing tersebut, haruslah pejabat diplomatik mengizinkan polisi atau badan-badan yang berwernang setempat untuk menangkap orang tersebut, karena dengan izin yang diberikan oleh kepala perwakilan tersebutlah maka alat-alat negara dapat masuk ke dalam gedung perwakilan asing.
Sebaliknya apabila seorang wakil diplomatik atau kepala perwakilan yang menyebunyikan seorang penjahat kriminil di dalam kantor perwakilan atau tempat kediamnnya, maka pemerintah negara setempat dibenarkan mengambil tindakan-tindakan untuk memaksa penyerahan-penyerahan tersebut dengan memasuki kantor perwakilan atau tempat kediaman diplomatik. Tetapi itndakan-tindakan kekerasan tersebut hanya dapat dibenarkan hanya dalam keadaan yang mendesak yaitu setelah kepala perwakilan atau pejabat diplomatik tersebut menolak untuk menyerahkan penjahat tersebut. Artikel 20 Asian African Legal Consultative Committee, report Immunities, this Session report ditetapkan sebagai berikut:
The receiving state should have right to enter the premisess to aprehend its nationals who are fugitives from local justice and have taken shelter there in
Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima harus memiliki hak untuk memasuki gedung perwakilan untuk menahan berdasarkan hukum nasionalnya terhadap buronan yang berasal dari peradilan setempat dan mengambil orang yang berlindung di dalamnya. Sebaliknya apabila kejahatan dilakukan di dalam kantor perwakilan atau tempat kediaman wakil diplomatik, maka penjahat tersebut diserahkan kepada badan-badan pemerintah setempat yang berwenang. Hal ini diatur dalam Pan America Convention on Diplomatic Officer, yang diselenggarakan di Havana pada tanggal 20 Februari 1928, Pasal 17 ditetapkan sebagai berikut:
Diplomatic officer are obliged to deliver to the competent local ordinance outhority that’s request it any person accused or condemned for ordinary crimes, who may come taken refuge in the mission

Adapun yang dimaksud adalah, pejabat dilomatik diwajibkan untuk menyerahkan kepada pejabat setempat yang berwenang atas orang-orang yang dipersalahkan atau dihukum atas kejahatan kriminil biasa, yang dilakukan di dalam gedung perwakilan

Kasus lain menggambarkan tentang dipakainya gedung perwakilan diplomatik sebagai tempat yang tidak sesuai dengan tugas dari perwakilan. Kasus tersebut adalah kasus Kedutaan Besar irak di Islamabad, yang terjadi dalam bulan Februari 1973. Kejadian ini bermula ketika sebuah peti kemas yang dilamatkan kepada Kedutaan Besar Irak di Islamabad secara tidak sengaja mengalami kerusakan sehingga terungkap oleh pejabat bea cukai Pakistan bahwa sebernarnya peti kemas tersebut berisi denjata yang jumlahnya cukup banyak. Atas terjadinya peristiwa tersebut Kementerian Luar Negeri Pakistan meminta kepada duta besar Irak untuk mengizinkan polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak. Permintaan tersebut ditolak oleh Duta Besar Irak, kemudian polisi setempat memeriksanya di gedung Kedutaan Besar Irak dengan paksa, dan ternyata benar telah menemukan 59 peti yang berisi senjata, bahan peledak dan amunisi yang harus diserahkan kepada pemberontak Belouchistan. Pemerintah Pakistan memberitahukan kepada Duta Besar Irak hal itu telah terbukti bahwa senjata-senjata yang diimpor dengan menggunakan kekebalan dan keistimewaan diplomatik ke Pakistan ternyata telah disimpan di Kedutaan Besar Irak dan karena itu Pemerintah Pakistan minta izin untuk memeriksanya. Walaupun Duta Besar Irak menolaknya, polisi Pakistan telah diberikan perintah untuk tetap memeriksanya dengan kehadiran duta besar dan memang benar ditemukan senjata-senjata tersebut di gudang, Oleh karena itu Pemerintah Pakistan mengajukan protes terhadap Pemerintah Irak, dan menyatakan Persona non grata terhadap duta besar Irak.
Berdasarkan kasus tersebut Pemerintah Pakistan telah melakukan beberapa tindakan. Pertama, Pemerintah Pakistan masuk secara paksa ke dalam kantor Kedutaan Irak. Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana.

[+/-] NEXT...

Hukum Internasional dan Hukum Dunia

Hukum internasional didasarkan pada pemikiran:
a. Masyarakat Internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain(Multi State System)
b. Tidak ada suatu badan yang berdiri daitas suatu negara, baik dalam bentuk negara (world State) maupun badan supranasional yang lain.
a. Merupakan suatu tertib hukum koordinasi koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama.

Hukum dunia berpangkal kepada pemikiran yang lain:
a. Banyak dianalogikan dengan hukum tatanegara, hukum dunia merupakan semacam negara (federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini.
b. Negara dunia secara herarki berdiri diatas negara-negara nasional.
c. Hukum dunia merupakan suatu tertib hukum sub-ordinasi.

Kita memilih konsep hukum internasional karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan sekarang ini.

[+/-] NEXT...

Jumat, 26 Februari 2010

Peserta-Peserta Perjanjian Internasional

Pada umumnya hanya negara-negara yang memenuhi syarat ketetatanegaraan menurut hukum internasional dan Organisasi Internasional yang dapat menjadi peserta Perjanjian Internasional.

Pengecualian dari kaidah umum tersebut adalah:
a. Perjanjian internasional denga nama para pesertanya bertujuan untuk memberikan hak kepada negara-negara ketiga, dengan pernyataan tegas atau dengan anggapan adanya persetujuan, seperti perjanjian yang mengatur penyelesaian internasional.

b. Perjanjian multilateral yang menyatakan berlakunya hukum kebiasaan internasional jelas akan berlaku terhadap yang bukan peserta, tetapi keadaan yang sebenarnya adalah bahwa pihak ketiga bukan peserta itu bukan terikat oleh perjanjian melainkan oleh kaidah-kaidah umum kebiasaan tersebut, meskipun rumusan dalam perjanjian itu justru punya arti penting.
c. Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah-kaidah hukum internasional baru dapat mengikat pihak-pihak bukan pesertadengan cara yang sama dengan kaidah hukum internasional.
d. Beberapa Knvensi Multilateral tertentu yang dimaksudkan untuk berlaku secara universal dapat menentukan dalam isinya untuk memberlakukannya kepada pihak-pihak yang bukan peserta.
e. Pasal 35 Konvensi Wina menyatakan bahwa suatu kewajiban timbul terhadap negara ketiga dari suatu ketentuan, apabila peserta-peserta perjanjian menghendaki ketentuan tersebut dipakai sebagai sarana menerapkan kewajiban dan negara ketiga menerima kewajiban itu secara tertulis

[+/-] NEXT...

Rabu, 24 Februari 2010

Cara-Cara Memperoleh Kewarganegaraan

Praktek negara-negara memperlihatkan bahwa kewarganegaraan dapat diperoleh dengan cara-cara pokok berikut ini:
1. Melalui kelahiran baik menurut azas jus soli (tempat kelahiran) ataupun azas jus sanguinis (nasionalitas orang tua pada saat kelahiran) atau menurut keduanya.
2. Melalui naturalisasi (pewarganegaraan), baik dengan cara perkawinan, seperti pada saat seorang isteri memperoleh kewarganegaraan suaminya, atau dengan legitimasi, ata melalui pemberian kewarganegaraan, atas dasar permohonan kepada pihak berwenang dari negara.

3. Para penduduk dari wilayah yang ditaklukan atau yang diserahkan dapat memperoleh nasionalitas dari negara yang menaklukannya, atau negara yang diserahi wilayah tersebut.

[+/-] NEXT...

Minggu, 21 Februari 2010

Pengartian Ras, Bangsa, dan Warga Negara

Ras adalah sekumpulan manusaia yang tinggal di suatu wilayah tertentu yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama. Bangsa dapat merupakan suatu kumpulan penduduk dari suatu negara yang bersatu (dipersatukan) dibawah suatu pemerintah yang merdeka. Dalam artian ini kata "bangsa" (nation) adalah sinonim dari kata negara (state).

Tetapi, suatu bangsa (nation) dapat juga merupakan "setiap kumpulan rakyat (people) yang mempunyai lembaga-lembaga dan adat istiadat yang sama, homogenitas (persamaan) sosial dan kepentingan bersama". Jadi menurut artian ini, beberapa bangsa dapat hidup dalam suatu negara, atau suatu bangsa dapat meluas melampaui batas-batas suatu negara (hidup atau tinggal di beberapa negara). Bangsa dalam arti yang tepat (strict) adalah suatu istilah sosio kultural dan dapat dipergunakan tanpa hubungan atau digabungkan dengan arti hukum atau arti politik.

Nasionalitas (nationality)sering merupakan satu-satunya hubungan antara satu individu dan satu negara, yang menjamin diberlakukannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional kepada individu tersebut. Nasionalitas dapat didefinisikan kepada suatu hukum keanggotaan kolektifitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya, dan kebijaksanaanya dijamin melalui konsep hukum negara yang mewakili individu tersebut. Salah satu dari pernyataan deskriptif yang tepat mengenai status tersebut adalah bagaimana dinyatkan dalam keputusan British-Mexican Claims Commission dalam perkara Re Lynch " Nasionalitas seseorang merupakan suatu keadaan yang terus-menerus dan bukan merupakan fakta fisik yang terjadi pada suatu peristiwa tertentu. Nasionalitas seseorang adalah suatu hubungan yang terus menerus antara negara yang berdaulat di satu pihak dan warga negara di pihak lain. Landasan pokok nasionalitas seseorang adalah keanggotaanya pada suatu masyarakat politik yang independen. Hubungan hukum ini meliputi hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait dengan kedua belah pihak, di pihak warga negara juga tidak kurang dari pihak negara itu".

Sebagian besar kaidah mengenai mengenai nasionalitas semata-mata hanya berkenaan dengan hukum nasional. Telah lama diakui bahwa, adalah menjadi hak prerogatif setiap negara untuk "menentukan sendiri dan menurut kanstitusi serta undang-undangnya, kelompok orang yang begaimana yang akan menjadi warga negaranya". Berdasarkan perubahan-perubahan di tahun 1948 terhadap peraturan perundang-undangan setiap anggota persemakmuran Inggris, hukum mengenai nasionalitas Inggris telah mengalami revisi.

Setiap negara anggota mempunya "warga negara" nya sendiri (yaitu bangsanya), tetapi sebagai tambahannya terdapat status "kaula" Inggris yang menunjukan keanggotaannya pada persemakmuran ini yang terdiri dari privilege-privilege tertentu. Memang beragam kaidah yang berbedabeda mengenai nasionalitas dijumpai dalam perundang-undangan negara, kurangnya keseragaman ini sebagian besar terlihat nyata dalam perbedaan berkenaan perolehan nasionalitas yang asli. Nasionalitas harus dibedakan dari yang berikut ini:

a. Ras

b. keanggotan atau kewarganegaraan dari negara bagian atau dari privinsi-provinsi suatu federasi

c. hak untuk perlindungan diplomatik

d. Hak-hak keraganegaraan, yang dapat dihapuskan dari orang yang menjadi warga negara.

[+/-] NEXT...