Sabtu, 20 Maret 2010

Perjanjian Asuransi antara Lembaga Otoritas Sertifikat dengan Perusahaan Asuransi

dasarnya merupakan asuransi pertanggungjawaban (liability insurance) karena yang diasuransikan adalah tanggung jawab dari LSO akibat terbongkarnya pengamanan dalam e. commerce yang menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian.

Berkaitan dengan pengamanan dalam bertransaksi melaui internet, ada beberapa hal yang dapat diasuransikan: antara lain:
1. Perlindungan atas tanggungjawab profesi
Setiap klaim yang ditujukan pertama kali terhadap tertanggung dan dilaporkan kepada penanggung selama masa berlaku perjanjian asuransi atau jangka waktu pelaporan yang ditentukan (jika diperjanjikan) timbul akibat kelalaian, penghilangan atau kesalahan yang dilakukan setelah tanggal berlaku surut dan sebelum masa perjanjian asuransi berakhir oleh tertanggung dalam melaksanakan atau gagal melaksanakan jasa profesi atau oleh siapa saja terhadap jasa yang secara hukum merupakan tanggung jawab tertanggung.
2. Perlindungan atas teknologi dan multimedia
Umumnya dalam polis asuransi disebutkan bahwa penanggung hanya melindungi bahaya seperti:

• Fitnah, penghinaan produk, fitnah perdagangan, penderitaan secara emosional, menyakitkan hati, memalukan, atau kesalahan lain berhubungan dengan penghinaan atau pembunuhan karakter atau reputasi seseorang organisasi;
• Campur tangan atau invasi terhadap hak pribadi atau publisitas;
• Penggelapan nama atau ketidaksukaan untuk tujuan keuntungan komersial;
• Salah tangkap, hukuman atau penangkapan atau penuntutan;
• Pelanggaran atas hak milik pribadi, termasuk kesalahan, masuk tanpa izin dan pengusiran;
• Plagiat, pembajakan atau pelanggaran hak cipta, nama domain, bentuk situs, judul atau slogan, delusi atau pelanggaran atas merek dagang, merek jasa, atau nama dagang;
• Gagal mencegah pihak lain selain tertanggung melakukan akses tanpa izin, menggunakan atau merusak data atau sistem;
• Kelalaian mengenai isi komunikasi media, termasuk kejahatan yang terkait dengan kepercayaan atau hilangnya kepercayaan;
• Gagal mencegah pihak lain selain tertanggung memasukkan malicious code ke dalam data atau sistem;
• Ketidakmampuan pihak ketiga, yang berkepentingan, untuk melakukan akses kecuali ketidak mampuan itu disebabkan oleh kesalahan mekanis, telekomunikasi, atau gangguan listrik;
• Gagal mencegah pencurian data oleh pihak selain tertanggung; dan
• Penggelapan rahasia dagang.

Dalam asuransi e-commerce, perjanjian tersebut merupakan hubungan hukum antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi. Kewajiban penanggung memberikan penggantian kepada tertanggung yaitu pemberian ganti rugi. Ganti rugi oleh penanggung dalam asuransi e-commerce diberikan bila tertanggung mengalami peristiwa di mana tertanggung gagal melaksanakan jasa profesinya atau oleh siapapun tertanggung dianggap bertanggung jawab secara hokum atas jasa profesinya.
Kegiatan e-commerce khususnya yang menggunakan kunci-kunci kriptografi dan secure electronic transaction mengandung kemungkinan kerugian yang akan terjadi dan ketika terjadi suatu kerugian akan terdapat pihak-pihak yang dirugikan. Bagi pembeli atau pemilik kartu, mereka akan kehilangan uang mereka yang disimpan di issuer. Penjual, issuer, acquirer, gateway, lembaga otoritas sertifikat akan kehilangan kepercayaan dari konsumen yang akan berdampak buruk bagi kelangsungan bisnis mereka.
Dalam secure electronic transaction yang menjadi fokus perhatian adalah penggunaan sertifikat digital. Pada dasarnya, tanpa adanya upaya menembus kunci kriptografi milik konsumen secara aktif, yaitu pelaku mencoba berbagai kemungkinan hingga akhirnya ia menemukan kunci yang cocok, sertifikat digital sulit untuk ditembus. Hal ini dikarenakan pihak-pihak dalam secure electronic transaction dapat melakukan pemeriksaan dan memastikan apakah kunci publik yang diterima adalah sah.
Dalam upaya mengalihkan risiko yang akan terjadi, apabila terjadi upaya pencurian kunci kriptografi, maka pihak lembaga otoritas sertifikat membutuhkan sebuah perjanjian asuransi guna melindungi kepentingan pihak-pihak yang telibat dalam transaksi e-commerce, khususnya yang menggunakan secure electronic transaction. Lembaga otoritas sertifikat dianggap sebagai pihak yang tepat untuk menutup asuransi, ini berkaitan
dengan prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan. Lembaga otoritas sertifikat sebagai tertanggung harus memiliki kepentingan atas objek yang diasuransikan. Dalam secure electronic transaction objek yang dimaksud adalah kunci kriptografi yang memiliki kemungkinan untuk dicuri.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 256 KUHD, maka perjanjian asuransi antara pihak lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi harus menyatakan:
1. Hari ditutupnya asuransi;
Hari ditutupnya asuransi penting untuk menentukan saat terbentuknya perjanjian asuransi sehingga dapat diketahui saat mulai berjalan hak dan kewajiban para pihak.
2. Nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan orang ketiga;
Pihak-pihak yang terlibat dalam alur transaksi menggunakan secure electronic transaction antara lain pembeli, penjual, issuer, acquirer, gateway, dan lembaga otoritas sertifikat. Pihak yang menjadi penanggung adalah perusahaan asuransi, sementara untuk mengetahui siapa yang merupakan pihak tertanggung perlu dilihat siapa saja yang mempunyai risiko kerugian. Bila terjadi pencurian atau penggunaan kunci secara illegal, pihak penjual, acquirer dan gateway tidak akan mengalami dampak langsung kerugian seperti pihak pembeli, issuer, dan lembaga otoritas sertifikat. Walaupun begitu tidak berarti bahwa pembeli lebih besar kepentingannya dibandingkan penjual. Namun yang menjadi tertanggung tidak boleh lebih dari satu pihak (pembeli, issuer, dan otoritas sertifikat), karena akan terjadi tumpang tindih kepentingan dan melanggar prinsip ganti kerugian (indemnity), karena itu sebaiknya yang menjadi tertanggung adalah lembaga otoritas sertifikat. Ini sesuai dengan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap Lembaga Otoritas Sertifikat yang salah satunya adalah asuransi. Dengan diasuransikannya kunci-kunci kriptografis oleh lembaga otoritas sertifikat maka upaya ini diharapkan dapat mengalihkan tanggung jawab untuk mengganti kerugian ketika kunci-kunci yang diterbitkannya dicuri atau digunakan tanpa izin oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
3. suatu uraian yang cukup jelas mengenai benda yang dipertanggungkan;
Penanggung harus mempunyai pengetahuan tentang objek yang ditanggungnya guna memahami berapa besar risiko yang akan ditanggungnya. Tertanggung pun harus memberikan keterangan yang benar dan beritikad baik.
4. jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi;
Bahwa asuransi ini ditutup untuk harga yang penuh (volle verekering) atau untuk di bawah harga sepenuhnya (onder verzekering). Dengan menyebutkan jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi, besarnya ganti kerugian dapat diketahui ketika peristiwa yang diasuransikan terjadi.
5. bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
Dalam bagian ini perlu disebutkan tentang bahaya yang ditanggung oleh penanggung, penyebutan di sini bertujuan agar jelas bahaya apa saja yang menyebabkan peristiwa terjadi. Hal ini berkaitan dengan prinsip sebab akibat (kausalitas) dalam hukum asuransi. Apabila bahaya yang terjadi tidak disebutkan, maka penanggung tidak mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian.
Dalam secure electronic transaction, bahaya yang akan terjadi terkait dengan penggunaan kunci kriptorgrafi, yaitu:
a. Gagal mencegah pencurian data.
b. Akses tanpa izin, yang bertujuan menggunakan atau merusak data atau sistem.
c. Gagal mencegah pihak lain selain tertanggung memasukkan malicious code ke dalam data atau sistem;
d. Ketidakmampuan pihak ketiga, yang berkepentingan, untuk melakukan akses kecuali ketidakmampuan itu disebabkan oleh kesalahan mekanis, telekomunikasi, atau gangguan listrik
6. Saat bahaya mulai berlaku untuk tanggungan penanggung dan saat berakhirnya bahaya dimaksud;
7. Premi asuransi tersebut;
dan Jumlah premi asuransi tergantung pada objek yang diasuransikan, idealnya sebuah perjanjian asuransi dilaksanakan terhadap suatu objek yang memiliki kemungkinan risiko kerugian yang besar namun probabilitasnya rendah. Dalam kaitannya dengan kunci kriptografi dan secure electronic transaction, penggunaan kunci kriptografi dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi tertanggung namun kemungkinan kunci kriptografi tersebut dicuri relatif kecil. Premi asuransi dapat ditentukan melalui panjangnya kunci tersebut, semakin panjang kunci maka semakin sulit untuk dicuri namun kepentingan yang dilindunginya pun semakin besar maka preminya pun diharapkan lebih besar.
8. pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi
penanggung untuk diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak. Penanggung berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan apa yang ditanggungnya. Untuk itu kejujuran dan itikad baik dari pihak tertanggung dalam mengasuransikan objeknya dan tidak menyembunyikan suatu hal yang sepatutnya diberitahukan pada penanggung, misalnya, kunci yang di asuransikan oleh tertanggung tidak diketahui sebelumnya bahwa kunci tersebut telah dicuri.
Objek dari perjanjian asuransi e-commerce adalah sistem keamanan jaringan yaitu kunci kriptografi, tapi yang diasuransikan adalah tanggung jawab, yaitu tanggung jawab dari tertanggung dalam hal ini lembaga sertifikat otoritas untuk mengganti kerugian apabila kunci-kunci yang diterbitkannya dicuri atau dipergunakan secara tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengggunaan kunci tersebut mengakibatkan konsumen kehilangan sejumlah uang yang disimpan di lembaga keuangan penerbit kartu atau bank. Melihat hal yang diasuransikan maka jenis asuransi ini adalah asuransi pertanggungjawaban (liability insurance).

[+/-] NEXT...

Lembaga Otoritas Sertifikat (certificate authorities)

Dalam mekanisme e. commerce dikenal adanya lembaga yang disebut dengan Lembaga Otoritas Sertifikat (LOS) yang memiliki peran sangat strategis. Lembaga otoritas sertifikat adalah lembaga yang menerbitkan kunci-kunci sertifikat yang berfungsi sebagai tandatangan digital atau digital signature. Setiap lembaga otoritas sertifikat baik swasta maupun publik, harus memiliki dan mempertahankan syarat-syarat mutlak yang terkait erat dengaan segala aktifitasnya, yakni:
1. Independensi;
2. Keamanan internal;
3. Arsip data jangka panjang;
4. Sumber finansial dan pengetahuan hukum yang cukup;
5. Back-up plan yang terencana;
6. Pengalaman dan kapabilitas yang cukup dalam teknologi enkripsi dan dekripsi serta keakraban yang cukup memadai terhadap prosedur pengamanan;
7. Metode perlindungan yang baik untuk kunci pribadi milik lembaga otoritas sertifikat itu sendiri; prosedur pencabutan (revocation procedures);
8. Asuransi;
9. Hubungan dan kerjasama yang baik dengan lembaga otoritas sertifikat yang lain, baik dalam yuridiksi negara yang sama maupun dengan lembaga otoritas sertifikat diluar negeri; dan sumber daya manusia yang baik dan manajemen yang handal.

Lembaga otoritas sertifikat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang menjamin atas identitas pihak yang bertransaksi. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan lembaga otoritas sertifikat dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan piranti lunak yang ada di dalam komputernya;
2. Menunjukan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan lembaga otoritas sertifikat;
3. Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.

Ke 3 tahapan di atas tidak mutlak, semua tergantung lembaga otoritas sertifikat itu sendiri dan tergantung pada tingkat keamanan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga otoritas sertifikat. Informasi yang terdapat dalam sertifikat yang diterbitkan lembaga otoritas sertifikat dapat berupa:
a. Identitas lembaga otoritas sertifikat yang menerbitkannya.
b. Pemegang atau pemilik atau subscriber dari sertifikat tersebut.
c. Batas waktu berlaku sertifikat tersebut.
d. Kunci publik dari pemilik sertifikat.

[+/-] NEXT...

Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce

Transaksi electronic commerce melibatkan berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas daritransaksi yang dilakukan, apakah semua tahapan transaksi dilakukan secaraon line atau hanya beberapa tahapan saja. Secara garis besar, pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi electronic commerce, antara lain:
1. Pembeli atau cardholder, dalam e-commerce pembeli umumnya berhubungan dengan penjual menggunakan komputer pribadi atau personal computer. Dalam trasaksi tersebut pembeli menggunakan kartu yang dikeluarkan oleh Issuer..
2. Issuer atau lembaga keuangan dimana pembeli menjadi nasabah, dan menerbitkan kartu pembayaran. Issuer menjamin pembayaran atas transaksi yang menggunakan kartu pembayaran yang dikeluarkannya.

3. Penjual atau merchant adalah pihak yang menawarkan barang atau jasa kepada pembeli.
4. Acquirer adalah lembaga keuangan dimana penjual menjadi nasabahnya dan memproses otorisasi kartu pembayaran dan pembayaran.
5. Payment Gateway, adalah sarana yang dioperasikan oleh acquirer atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk memperoses pesan-pesan pembayaran penjual, termasuk intruksi pembayaran.
6. Otoritas sertifikat atau Certication Authorities, yaitu lembaga yangdipercaya, dan mengeluarkan sertifikat-sertifikat dan ditandatangani olehnya.
7. Jasa Pengiriman, yaitu pihak yang bergerak dibidang jasa pengiriman barang, seperti truk, kapal ataupun pesawat, dalam hal ini ia bertugas mengirimkan barang dari penjual kepada pembeli.

[+/-] NEXT...

Pengamanan dalam E. Commerce

Banyaknya penggunaan instrumen pendukung yang berbasis teknologi informasi dalam suatu aktivitas, tidak menjadikan aktivitas tersebut bebas dari kemungkinan munculnya permasalahan keamanan, tidak terkecuali pada sistem perdagangan dengan e. commerce. Karena itu, sangat beralasan apabila hampir di semua aktivitas yang berbasis data elektronik selalu mensyaratkan adanya jaminan perlindungan atas keamanan bagi para penggunanya. Kebutuhan perlindungan yang demikian ini menjadi sangat tinggi apabila menyangkut data elektronik yang sangat rahasia.
Secara umum, dalam transaksi e. commerce, terkandung 2 (dua) permasalahan yang memerlukan penanganan serius, yaitu:
1. Permasalah yang sifatnya subtantif, yaitu:
• Keaslian data massage dan tanda tangan elektronik
Masalah keotentikan data massage menjadi permasalahan yang sangat vital karena data massage inilah yang dijadikan dasar utama terciptanya suatu kontrak.
• Keabsahan (validity)
Keabsahan suatu kontrak tergantung pada pemenuhan syaratsyarat kontrak. Apabila syarat-syarat kontrak telah dipenuhi, maka kontrak dinyatakan terjadi. Dalam e. commerce, terjadinya kesepakatan sangat erat hubungannya dengan penerimaan atas absah dan otentiknya data massage yang memuat kesepakatan itu.
• Kerahasiaan (confidentiality/privacy)
Kerahasiaan yang dimaksud meliputi kerahasiaan data/atau informasi dan juga perlindungan terhadap data dan informasi dari akses yang tidak sah dan berwenang.
• Keamanan (security)
Masalah keamanan merupakan masalah penting karena keberadaannya menciptakan rasa confidence bagi para user dan pelaku bisnis, untuk tetap menggunakan media elektronik guna kepentingan bisnisnya.
• Ketersediaan (availibility)
Permasalahan lain yang juga harus diperhatikan adalah keberadaan informasi yang dibuat dan ditransmisikan secara elektronik yang harus tersedia setiap kali dibutuhkan.

2. Permasalahan yang bersifat prosedural, yaitu media internet menuntut adanya perlindungan dari segi yuridis.
Dengan memperhatikan potensi terjadinya berbagai permasalahan yang dapat timbul dalam transaksi e. commrece, tentu diperlukan adanya sistem pengamanan yang memadai sehingga dapat memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Apabila diciptakan suatu sistem yang nantinya dapat dipakai untuk melindungi para pihak dalam bertransaksi, maka sistem tersebut hendaknya dapat memberikan perlindungan terhadap hal-hal sebagai berikut:
• Pengubahan, penambahan atau perusakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap data dan informasi, baik selama dalam penyimpanan maupun selama proses transmisi oleh pengirim kepada penerima; dan
• Perbuatan yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk dapat memperoleh informasi yang dirahasiakan, baik diperoleh langsung dari penyimpanannya maupun ketika ditransmisikan oleh pengirim kepada penerima (upaya penyadapan).
Secara teknis, sistem pengamanan komunikasi elektronik harus dapat mengakomodasi kebutuhan pengamanan yang berkaitan dengan aspek:
1. Confidentiality
Confidentiality menyangkut kerahasiaan dari data atau informasi, dan perlindungan bagi informasi tersebut dari pihak yang tidak berwenang. Untuk melindungi kerahasiaan dapat dilakukan dengan cara membuat informasi itu “tidak dapat dipahami” (unintelligible), isi dari informasi itu harus ditransformasikan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipahami (undecipherable) oleh siapapun yang tidak mengetahui prosedur dari proses transformasi itu. Confidentiality sangat penting untuk melindungi, misalnya, data keuangan suatu organisasi atau perusahaan, informasi menyangkut product development, dan berbagai jenis informasi rahasia lainnya terhadap pihak siapa rahasia itu ingin dirahasiakan.
2. Integrity
Integrity menyangkut perlindungan data terhadap upaya pemodifikasian oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, baik selama data itu disimpan maupun selama data itu dikirimkan kepada pihak lain. Sistem pengaman yang ada harus mampu memastikan bahwa pada waktu informasi itu disimpan atau dikirim, sistem pengaman yang dibangun harus memungkinkan untuk mengetahui apabila terhadap isi yang asli dari informasi yang dikirimkan telah terjadi manipulasi, modifikasi, tambahan atau penghapusan.
3. Authorization
Authorization menyangkut pengawasan terhadap akses pada infomasi tertentu. Authorization dimaksudkan untuk membatasi pihak-pihak yang tidak berwenang melakukan sesuatu dalam lingkungan jaringan informasi tersebut. Pembatasan itu sendiri bergantung pada tingkat keamanan pihak yang bersangkutan. Pembatasan itu menyangkut sampai sejauh mana pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan akses terhadap informasi.
4. Availability
Informasi yang disimpan atau ditransmisikan melalui jaringan komunikasi harus dapat tersedia sewaktu-waktu apabila diperlukan. Sistem perlindungan itu harus dapat mencegah timbulnya sebabsebab yang dapat menghalangi tersedianya informasi yang diperlukan.
5. Authenticity
Authenticity atau authentication menyangkut kemampuan seseorang, organisasi, atau komputer untuk membuktikan identitas dari pemilik yang sesungguhnya dari informasi tersebut. Semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi harus merasa aman dan pasti bahwa komunikasi yang terjadi adalah benar, yaitu benar bahwa para pihak berhubungan dengan pihak-pihak yang sesungguhnya diinginkan dan benar mengenai informasi yang dipertukarkan.
6. Non-repudiability of Origin atau Non-repudiatiaon
Non-repudiability of Origin atau Non-repudiation menyangkut perlindungan terhadap suatu pihak yang terlibat dalam suatu transaksi atau kegiatan komunikasi yang di belakang hari pihak tersebut menyanggah bahwa transaksi atau kegiatan tersebut benar telah terjadi. Sistem Non-repudiability of Origin atau Non-repudiation, harus dapat membuktikan kepada pihak ketiga yang independen mengenai keaslian dan pengiriman data yang dipersoalkan itu.
7. Auditability
Data harus dicatat sedemikian rupa, bahwa data tersebut telah memenuhi semua syarat confidentiality dan integrity yang diperlukan, yaitu bahwa pengiriman data tersebut telah dienkripsi (encrypted) oleh pengirimnya dan telah didekripsi (decrypted) oleh penerimanya sebagaiman

[+/-] NEXT...

TRANSAKSI ELEKTRONIK (E. COMMERCE) MELALUI LEMBAGA ASURANSI

Teknologi informasi atau information technology (IT) telah mengubah masyarakat, telah menciptakan jenis-jenis dan peluang-peluang bisnis yang baru, serta menciptakan jenis pekerjaan dan karier baru dalam pekerjaan manusia.
Salah satu bagian yang paling berkembang pesat dari bidang teknologi informasi adalah internet (interconnection networking), yang pada awalnya diciptakan sebagai saluran swasta untuk kepentingan kegiatan penelitian dan akademis, Internet sekarang lebih banyak dieksploitasi oleh bisnis untuk berbagai macam pelayanan komersial.
Saat ini, salah satu aktivitas dunia maya yang paling berkembang dalam kaitan dengan penggunaan internet adalah electronic commerce. Sangat wajar, mengingat melalui Internet masyarakat memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam memilih produk (barang dan jasa) yang akan dipergunakan, tentunya dengan berbagai kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan keinginannya.

Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan internet sebagai media perdagangan, yaitu:
1. Keuntungan bagi pembeli:
a. menurunkan harga jual produk;
b. meningkatkan daya kompetisi penjual;
c. meningkatkan produktivitas pembeli;
d. manajemen informasi yang lebih baik;
e. mengurangi biaya dan waktu pengadaan barang;
f. kendali inventory yang lebih baik.
2. Keuntungan bagi penjual:
a. identifikasi target pelanggan dan definisi pasar yang lebih baik;
b. manajemen cahs flow yang lebih baik;
c. meningkatkan kesempatan berpartisipasi dalam pengadaan barang atau jasa (tender);
d. meningkatkan efisiensi;
e. kesempatan untuk melancarkan proses pembayaran pesanan barang;
f. mengurangi biaya pemasaran.
Namun dibalik berbagai keuntungan yang menyertai pemanfaatan internet (e. commerce), tersimpan berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan serius, khususnya berkaitan dengan potensi munculnya tindakan perusakan/manipulasi data yang dapat mempengaruhi transaksi.
Tidak adanya jaminan bahwa transaksi e. commerce terbebas dari upaya perusakan/pemanipulasian data, tentu akan berdampak pada
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem ini. Padahal, dalam transaksi bisnis di era global seperti sekarang ini, kepastian dan keamanan merupakan salah satu pilar penopang berkembangnya aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi munculnya permasalahan keamanan dalam transaksi e. commerce, lahirlah berbagai solusi keamanan, seperti: Symmetric Cryptosystems, Asymmetric Cryptosystems, RSA Algoritma, Digital Signature, Secure Electronic Transaction (SET)

[+/-] NEXT...

Jumat, 19 Maret 2010

Hukum Islam dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

Hubungan hukum Islam dan CEDAW belum diputuskan baik dalam peraturan perundangan maupun kebijakan Parpol dan masyarkat Indonesia. Persoalan hukum Islam dan CEDAW dapat dibagi dengan kemampuan dan kemauan mengubah hukum Islam agar menghapuskan diskiminasi terhadap wanita dan melindungi haknya.

Kemampuan mengubah hukum Islam pada dasarnya tergantung sumbernya. Dalam keberadaan suatu ketentuan hukum Islam bersumber pada al-Quran, Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur yang telah jelas, ketentuan tersebut tidak boleh diubah baik jika bersifat diskriminatif, melanggar hak wanita atau tidak.

Namun demikian, kalau suatu ketentuan hukum Islam yang diturunkan Allah tidak jelas dan telah ditafsirkan secara diskriminatif dan melanggar hak wanita, penafsiran baru dapat dilakukan dan ketentuan tersebut disesuakian dengan CEDAW. Selain itu, ketentuan hukum Islam yang berlandaskan sumber akal manusia juga boleh diubah selaras dengan CEDAW.

Peraturan perundangan nasional pada kelihatannya dapat mengubah ketentuan hukum Islam. Waktu UUD 1945 berancang, Prof. Muhammad Yamin mengajukan usulan bahwa Mahkamah Agung berhak menguji peraturan perundangan terhadap UUD 1945, hukum Adat dan hukum Islam dan mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem hukum tersebut. Jadi, peraturan perundangan tidak boleh dikeluarkan secara tidak sesuai dengan sistem hukum Islam. Sebaliknya, ketentuan hukum Islam tidak boleh diubah melalui peraturan perundangan nasional.

Saran Prof. Muhammad Yamin ditolak. Tetapi sarannya ditolak berdasarkan keberatan terhadap ruang lingkup wewenang Mahkamah Agung. Kemampuan atau ketidakmampuan mengubah Islam tidak disebut dan bahkan tidak ditetapkan dengan UUD 1945.

Dalam masa keberlakuan UUD 1945, peraturan perundangan nasional telah mengubah ketentuan hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan, UU No.1/1974, PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989 mengubah ketentuan hukum Islam terhadap putusnya perkawinain dengan tujuan meningkatkan persamaan antara pria dan wanita. Maka, ada kemungkinan bahwa peraturan perundangan nasional dapat mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW.

Kemampuan tersebut perlu ditambah dengan kemauan mengubah hukum Islam. Dalam peraturan perundangan yang telah dikeluarkan, sikap pemerintah Indonesia terhadap perubahan hukum Islam selaras dengan CEDAW tidak yakin. UU No.7/1984 menolak perubahan hukum Islam berdasarkan CEDAW. Penjelasannya menyatakan, `Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional'.

Selain itu, Penjelasan UU No.7/1984 berpendapat bahwa `dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meluputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia'.

Namun, perlu diingat bahwa UU No.7/1984 dikeluarkan pada masa Orde Baru. Dalam Era Reformasi, Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi biasanya menyatakan peraturan perundangan nasional akan disesuaikan dengan Konvensi bersangkutan. Tetapi Undang Undang tersebut tidak menjelaskan jika harmonisasinya berupa peraturan perundangan nasional saja atau tercantum sistem hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan nasional seperti hukum Islam.

UU No.7/1984 ditambah RANHAM yang tidak menegaskan kedudukan hukum Islam dalam pelaksanaan CEDAW. Sebagaimana tersebut, RANHAM menyatakan wawasan HAM di Indonesia. Satu prinsip dalam wawasan tersebut adalah pengakuan atas kondisi nasional. Prinsip ini berarti bahwa dalam pelaksanaan HAM pemerintah Indonesia akan memperhatikan sepenuh `keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbaan sosial dan ekonomi serta faktor faktor lain'. Istilah `faktor lain' kalau dibandingkan dengan ketentuan peraturan perundangan lain mungkin termasuk agama.

Selanjutnya, Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998 menyatakan kemajuan dan perlindungan HAM akan dilakukan dengan `mempertimbangkan nilai nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945'. Ketentuan ketentuan RANHAM tersebut tidak menetapkan ruang lingkup perhatiannya dan pertimbangannya. Yaitu, ketentuan RANHAM tidak mengatakan hubungan antara faktor dan nilai tersebut dan HAM dan memang tidak mengatakan yang mana gugur dalam keadaan bahwa faktor dan nilai tersebut bertentangan dengan HAM.

Selain itu, RANHAM menetapkan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan CEDAW akan dilakukan. Tetapi sebagaimana Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi tersebut, RANHAM tidak menjelaskan kalau peraturan perundangan nasional tercantum hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan seperti hukum Islam.

UU No.39/1999 secara tersirat mengandung kemauan mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW. Pertama, ada kemungkinan UU No.39/1999 memerintah pemerintah untuk melaksanakan HAM di bidang agama. Bab V UU No.39/1999 menyangkut kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terhadap HAM. Pasal 71 menyatakan pemerintah harus `menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia'.

Pasal 72 menetapkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut `meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain'. Sebagaimana RANHAM, istilah `bidang lain' mungkin termasuk bidang agama.

Kedua, UU no.39/1999 secara tersirat menetapkan ketentuan hukum Islam di bidang perkawinan perlu disesuaikan dengan CEDAW. Sebagaimana tersebut, Pasal 50 yo. Pasal 51 UU No.39/1999 menggariksan hak wanita berdasarkan CEDAW. Pasal 50 menetapkan seorang wanita yang telah dewasa atau telah kawin `berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'.

Pasal 51 memberikan hak dan tanggung jawab kepada seorang isteri yang sama dengan suaminya selama dalam maupun pada putusnya perkawinan. Pasal 51 tidak mengandung pengecualian hukum agama sebagaimana Pasal 50. Jadi, Pasal 51 secara tersirat menetapkan persamaan seorang isteri dengan suaminya dijamin baik kalau ditentukan lain oleh hukum agamanya atau tidak.

Ketentuan UU No.39/1999 terhadap hukum Islam tersebut dapat dibandingkan dengan ketentuannya terhadap hukum Adat. UU No.39/1999 menentukan hukum adat akan dihormati hanya sepanjang tidak bertentangan dengan HAM. Pasal 6 Ayat (1) menetapkan dalam rangka penegakan HAM, hukum adata harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah.

Selanjutnya, Pasal 6 Ayat (2) menetapkan, `Identitatas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman'. Penjelasan Atas UU No.39/1999 menetapkan Pasal 6 Ayat (2) berarti bawah hukum adat tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan `asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat'. Dapat disimpulkan bahwa asas asas tersebut tercantum HAM.

UU No.39/1999 tidak mengajukan alasan untuk perbedaan antara hubungan hukum Islam dan hukum Adat dengan HAM. Ada kemungkinan hukum Adat dapat dibatasi secara tersebut karena pada hakekatnya hukum Adat berkembang selaras dengan HAM. Hukum Adat berlandaskan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut dipengaruhi pendidikan maupun advokasi dan mobilisasi sosial. RANHAM menetapkan bahwa pendidikan, advokasi dan mobilisasi tersebut akan didasarkan HAM. Jadi, hukum Adat akan menjadi sesuai dengan HAM.

Sebaliknya, ada kemungkinan lain hukum Islam tidak dibatasi seperti hukum Adat karena telah mengandung ketentuan yang bertentangan dengan CEDAW dan, selama pada dasarnya, mungkin tidak boleh diubah.


[+/-] NEXT...

Peraturan Perundangan Tentang Hukum Islam Pada Masa Kini

Dengan peraturan perundangan tentang hukum Islam pada masa kini, wewenang yang luas diberikan kepada Pengadilan Agama dan kepastian hukum Islam dijamin.

1 UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama
UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara lengkap. UU No.7/1989 menetapkan kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding. Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat kedudukan Pengadilan tersebut.

Bab II UU No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 9 sampai dengan Pasal 48 menetapkan syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian tugas para pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Sekretaris. Kemandirian para hakim tersebut dilindungi.

Bab III UU No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP No.45/1957. UU No.7/1989 pula mencabut Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974. Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama.

Bab IV UU No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 54 menyatakan Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.

Pasal 58 Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Pasal 61 yo. Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan Pengadilan Agama. Pasal 62 menetapkan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan alasan [dan] dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili'.

2 Kompilasi Hukum Islam
Dalam rangka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjamin kepastian hukum Islam di Indonesia. KHI berupa ucapan tertulis ketentuan hukum Islam melalui 229 pasal pasal terhadap bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.

KHI berlandaskan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991. InPres No.1/1991 menguasakan KHI. Konsiderans menimbang a InPres tersebut menyatakan bahwa, `Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Pekawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan' (kursif penulis). Loka Karya Ulama Indonesia tersebut berupa hasil kerjasama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.

Selanjutnya, Diktum pertama InPres No.1/1991 memerintah Menteri Agama `menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum Kewarisan; c. Buku III tentang Perwakafan'. Maka, dengan Diktum pertama InPres tersebut rancangan buku KHI dikeluarkan sebagai dan menjadi buku KHI.

InPres No.1/1991 pula menggariskan kedudukan KHI sebagai pedoman hukum Islam untuk lembaga pemerintahan dan masyarakat bersangkutan. Konsiderans menimbang b InPres No.1/1991 menegaskan KHI `dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah masalah' di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjuynta, Diktum pertama InPres No.1/1991 menjelaskan KHI dimaksud, `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya'.

InPres No.1/1991 dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No.154/1991. Keputusan Menteri tersebut menetapkan kedudukan KHI secara lebih lanjut sebagai pedoman hukum Islam yang perlu diterapkan sedapat oleh instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.

Diktum Pertama Keputusan Menteri tersebut menetapkan, `Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan'. KHI dimaksud `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyeleasikan masalah masalah di bidang tersebut'.

Diktum Kedua Keputusan Menteri Agama No.154/1991 menetapkan, `Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama dalam menyelesaikan masalah masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lain'.

Keputusan Menteri Agama No.154/1991 disampaikan kepada para pejabat pemerintahan bersangkutan termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam No.3694/EV/HK.003/AZ/91.

Kedudukan KHI tersebut perlu dibedakan dari kedudukan peraturan perundangan. KHI tidak berupa peraturan perundangan yang wajib dianut. Yaitu, KHI bukan kodifikasi hukum Islam dikeluarkan melalui Undang Undang yang memuat setiap hak atau kewajiban dalam suatu bidang hukum Islam. Kodifikasi hukum Islam sejenis tersebut telah dilakukan di Sudan dan Singapura.

Melainkan, KHI berupa kompilasi hukum Islam yang cuma dikuasakan atau diakui oleh peraturan perundangan dan pada hakekatnya tidak wajib diterapkan. Sebagaimana dijelaskan, pelaksanaan KHI dalam Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum Islam di seluruh Indonesia.

[+/-] NEXT...

Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan

Dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 August 1945, kedudukan hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut dinyatakan dengan Pembukaan dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 diikuti dengan Ayat (2) yang berbunyi, `Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu'.

Dalam rangka ketentuan UUD 1945 tersebut, Indonesia tidak menjadi negara sekular seperti Negara Barat dan Negara Komunisme. Indonesia pula tidak menjadi negara agama tertentu atau negara Islam seperti Negara Timur Tengah. Melainkan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menimbulkan negara agama terbuka atau negara dengan kebebasan beragama. Dalam negara itu, hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum untuk segala lembaga pemerintahan atau seluruh Indonesia. Melainkan, hukum Islam hanya mempunyai kedudukan sebagaimana ditetapkan pada masa Belanda.

Kedudukan hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan Belanda. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan `Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini'.

Dengan ketentuan tersebut, Staatsblad 1882/No.152 yo. Staatsblad 1937/No.116, 610, 638 dan 639 diterapkan. Namun demikian, ada orang yang berpendapat UUD 1945 mengandung ketentuan baru yang mencabut teori receptio in complex sampai Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 tidak berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945 ini.

Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 dimaksud mencapai kepastian hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Melainkan, Pemerintah Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.

Usaha mencapai kepastian hukum Islam mulai dengan UU No.22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang tidak jelas. Selain itu, UU No.22/1946 mengandung jadwal penyusunan kompilasi hukum Islam.

Kekuasaan Pengadilan Agama ditolak pada masa awal kemerdekaan. Dengan PP No.5/SD/1946 pertanggung-jawaban terhadap Pengadilan Agama diserahkan dari Menteri Kehakiman kepada Menteri Agama. Dengan UU No.19/1948 Tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, Pemerintah Republik Indonesia mencabut wewenang Pengadilan Agama. Pasal 6 UU No.19/1948 hanya mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.

Selanjutnya, Pasal 35 Ayat (2) UU No.19/1948 menyatakan, `Perkara perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman'.

Bagaimanapun, UU No.19/1948 tidak pernah dilaksanakan karena Angkatan Militer Belanda kembali ke Indonesia pada tahun 1948 dan Republik Indonesia Serikat kemudian dibentukkan.

Wewenang Pengadilan Agama kemudian diakui secara terbatas. PP No.29/1957 menyangkut Pengadilan Agama di Aceh. PP No.29/1957 diganti dengan PP No.45/1957. Pasal 4 Ayat (1) PP No.45/1957 menetapkan wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura. Wewenangnya tercantum perkara kewarisan. Maka, wewenangnya lebih luas daripada Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura yang masih didasarkan Staatsblad 1937/No.116 yo. 610.

Namun demikian, Pasal 4 Ayat (2) PP No.45/1957 membatasi wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura dengan ketentuan bahwa, `Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Islam'. Selanjutnya, ketentuan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1830 tentang pengesahan dan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri masih berlaku.

Usaha mencapai kepastian hukum Islam berjalan dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B.1.735/1958. Surat Edaran tersebut bersumber pada PP No.45/1957. Huruf b Surat Edaran tersebut mengandung daftar kitab kitab hukum Islam. Daftar tersebut dimaksud dipergunakan oleh Pengadilan Agama dan menimbulkan kesatuan hukum Islam.

Sejak tahun 1957, wewenang Pengadilan Agama diakui sebagai urusan kekuasaan kehakiman secara terus-menerus. UU No.19/1964 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman mengganti UU No.19/1948. Pasal 7 UU No.19/1964 mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan administrasi dan peradilaan Agama. Bagaimanapun, pengadilan dalam lingkungan tersebut tidak bersifat mandiri. Melainkan, Pasal 19 UU No.19/1964 memperbolehkan Presiden Republik Indonesia turut campur tangan dalam soal soal Pengadilan.

Oleh sebabnya, UU No.19/1964 dicabut dan diganti dengan UU No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 Ayat (1) UU No.14/1970 juga mengakui lingkungan peradilan agama. Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri. Namun demikian, Pasal 12 UU tersebut berbunyi, `Susunan, kekuasaan serta acara dan badan badan Peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 Ayat (1) diatur dalam Undang Undang tersendiri'. Pada tahun 1974, Undang Undang tentang Peradilan Agama belum dikeluarkan.

Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan Hukum Islam dan Pengadilan Agama dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. UU No.1/1974 berlaku bagi semua warga negara Indonesia. UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksananya, PP No.9/1975, mengakui hukum Islam di bidang perkawinan, menerima wewenang Pengadilan Agama di bidang tersebut dan memuat ketentuan yang menjamin keberlakuan hukum Islam.

Namun demikian, Penjelesan Umum UU No.1/1974 masih melakukan teori receptio in complex di bidang perkawinan. Teori tersebut dicabut untuk hukum Islam di bidang kewarisan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 13 Pebruari Tahun 1975 No.172/K/Sip./1974. Selain itu, Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974 sebagaimana peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda tersebut menyatakan, `Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum'.

Sejak 1974, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai aturan terhadap kepastian hukum Islam maupun hukum Acara yang berlaku untuk Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No.3/1975 mengatur hukum Acara untuk peradilan Agama di bidang perkawinan dan kewarisan. Peraturan Mahkamah Agung No.14/1977 menetapkan tata cara permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Agama. PP No.28/1977 mengatur kompilasi hukum Islam di bidang perwakfan tanah milik. Pada tahun 1982, Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Departmen Agama menetapkan manajamen dan susunan Pengadilan Agama. Bagaimanapun, masih belum ada Undang Undang tentang Peradilan Agama yang disebut dalam UU No.14/1970.

[+/-] NEXT...

Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Awal Sampai 1945

Pada masa awal sejarah Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia. Hukum Islam berlaku untuk pertama kali di Indonesia dengan kedatangan umat Islam. Masa kedatangan tersebut tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam tinggal di Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan Musehi. Ada kemungkinan lain masa kedatangan tersebut adalah abad ketigabelas Musehi.

Bagaimanapun juga, orang Islam berdiam di pesisir Sumatra Utara. Masyarakat Islam kemudian dibentukkan di Aceh Timur. Kerajaan Islam dibentukkan untuk pertama kali di Aceh Utara dan diikuti dengan banyak kerajaan lain. Hukum Islam kemudian berlaku bersama dengan Hukum Adat dan mencapai kedudukan penting tersebut.

Waktu orang Belanda datang, kedudukan hukum Islam dikurangi sampai hanya berupa sistem hukum yang dianut di bidang perkawinan dan kewarisan melalui Pengadilan Agama dalam perkara antara orang Islam .

Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Dagang Hindia Belanda) (VOC) menerapkan hukum Belanda, membatasi bidang hukum Islam dan mencari kepastiannya. Pada tahun 1596, VOC mulai berdagang di Indonesia. Pada tahun 1602, kedudukan VOC dikukuhkan. Pemerintah Belanda memberikan kekuasaan kepada VOC di bidang dagang dan pemerintahan di kepulauan Indonesia. Kekuasaan tersebut merupakan tiga hak, yakni hak mencetak dan mengedarkan mata uang, hak membentuk angkatan perang maupun hak membuat perjanjian internasional dengan negara lain.

Pada masa awal penjajahan VOC, hukum Belanda dianut. Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia. Maka, VOC memutuskan hukum asli Indonesia boleh diterapkan di bidang tertentu. Jadi, Statuta Batavia (Undang Undang Jakarta) tahun 1642 menetapkan hukum kewarisan Islam dianut antara umat Islam.

Selain itu, pada tanggal 24 Mei tahun 1670, VOC menerima Compendium Freijer. Compendium tersebut adalah kompilasi hukum Islam di bidang kekeluargaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D W Freijer. Sebagaimana demikian, VOC kemudian menerima kitab kitab lain yang berupa kompilasi hukum Islam. Kompilasi hukum Islam tersebut digunakan oleh pengadilan VOC dalam perkara umat Islam.

Dengan penggantian VOC dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800, usaha kepastian hukum Islam berjalan melalui penujukan penasehat hukum Islam. Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendals mengeluarkan peraturan terhadap hukum Islam di daerah daerah Jawa tertentu. Peraturan tersebut menetapkan kepala mesjid (penghulu) wajib bertindak sebagai penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara orang Islam.

Kedudukan penghulu dikukuhkan waktu Pemerintah Hindia Belanda diganti dengan Pemerintah Inggris pada tahun 1811. Letnan Gubernur Indonesia Sir Thomas Stamford Raffles menetapkan peraturan Daendals dianut di seluruh Indonesia. Selanjutnya, penghulu yang telah penasehat diangkat anggota Pengadilan Negeri.

Pemerintah Hindia Belanda kembali lagi pada tahun 1814 dan penetapan baru tentang penghulu diundangkan. Pasal 13 Regenten Instructie (Aturan Untuk Para Bupati) tahun 1820 menetapkan penghulu wajib memecahkan perkara perkawinan dan kewarisan antara umat Islam dan wajib dibayar bupati bersangkutan.

Regenten Instructie tersebut diganti Staatsblad 1835/No.56 yang membatasi wewenang penghulu. Meskipun penghulu masih berhak memecahkan secara tersebut, sengketa tentang hal uang atau pembayaran wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri. Staatsblad tersebut disahkan dengan berbagai dekrit Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1845 dan 1851.

Pemerintah Hindia Belanda mengurangi kedudukan hukum Islam melalui para hakim Belanda. Pasal 75 Ayat (1) Regeering Reglemen 1855 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan hukum Islam dianut antara umat Islam cuma sepanjang hukum Islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. `Diakui umum' berarti diakui oleh hakim hakim Belanda pada masa itu. Pasal 75 Ayat (2) menetapkan orang Islam wajib melaksanakan putusan hakim agama atau kepala masyarakat terhadap perkara bersangkutan.

Pemerintah Hindia Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura. Pada tahun 1830, ditetapkan putusan Priesteraad (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) di Jawa dan Madura wajib disahkan dan dilaksanakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri).

Pengadilan Agama Jawa dan Madura diatur lebih lanjut dengan Staatsblad 1882/No.152. Anehnya, Staatsblad tersebut tidak memuat ketentuan terhadap wewenang Pengadilan Agama mungkin karena secara praktek wewenang tersebut sudah cukup jelas, yaitu hal kekeluargaan. Selain itu, Staatsblad tersebut memakai istilah agama yang salah dan menimbulkan keberatan dan ketidakpahaman orang Islam bersangkutan.

Kedudukan hukum Islam kemudian dirugikan melalui hukum Adat. Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan bahwa hukum Islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui dalam hukum Adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pasal 134 Ayat (2) tersebut berdasarkan teori receptio in complex yang menyatakan hukum Islam tidak boleh berdiri sendiri kecuali sepanjang telah menjadi kebiasaan hukum Adat.

Dalam rangka Indische Staatsregeling, Pemerintah Hindia Belanda melakukan banyak perubahan terhadap Pengadilan Agama dengan akibat wewenangnya dibatasi. Staatsblad 1931/No.53 memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama. Namun demikian, Staatsblad tersebut tidak pernah dilaksanakan.

Staatsblad 1931/No.53 diganti Staatsblad 1937/No.116 tentang Pengadilan Agama pada tingkat pertama. Pasal 2 Ayat (1) Staatsblad 1937/No.116 mencabut wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara kewarisan. Meskipun, secara praktek, Pengadilan Agama masih berjalan dengan wewenang kewarisan tersebut. Staatsblad 1937/No.116 ditambah dengan Staatsblad 1937/No.610 tentang Hof voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama pada tingkat banding).

Kedua Staatsblad tahun 1937 tersebut ditambah dengan Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 tentang Kerapatan Qadi (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) dan Kerapatan Qadi Besar (Pengadilan Agama pada tingkat banding) di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 memberikan wewenang di bidang kewarisan kepada Pengadilan Agama di Kalimantan.

Pada tahun 1942, kebijakan Pemerintah Hindia Beland berhenti dengan kedatangan Pemerintah Angkatan Perang Jepang. Pemerintah Jepang tersebut mencoba perubahan luas terhadap hukum Indonesia tetapi, secara praktek, perubahannya tidak dilaksanakan.

[+/-] NEXT...

Pengertian dan Sumber Hukum Islam

A. Pengertian
Hukum Islam dianggap hukum Allah. Yaitu, hukum Islam berupa aturan Allah yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah) maupun hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan antara manusia dan kegiatan manusia sehari-hari (muammalah).

Hukum Islam bersifat universal. Ketentuannya menyangkut segala bidang hukum. Munakahat mengatur perkawinan dan perceraian. Wirasah mengatur kewarisan. Muamalat menetapkan tata cara perdagangan. Jinayat menyangkut hukum pidana. Al ahkam as sulthaniyah menyangkut ketatanegaraan dan administrasi negara. Siyar menetapkan perdamaian dan peperangan di bidang hukum internasional. Akhirnya, Mukhasamat mengatur kekuasaan kehakiman maupun hal peradilan.

B. Sumber Sumber Hukum Islam
Sumber sumber hukum Islam dapat dibagi sebagai sumber diturunkan Allah atau Rasul-Nya yang bersifat statis (syari'at) maupun sumber berdasarkan akal manusia yang bersifat dinamis (Fiq'h). Sumber hukum Islam yang disebut sebagai sumber utama dan pertama adalah al-Quran. Kitab al-Quran diturunkan Allah kepada Nabi Muhammed s.a.w. melalui malaikat Jibral. al-Quran dihimpun oleh sahabat Nabi dan terdiri atas 30 (tiga puluh) juz (bagian). Setiap juz terdiri atas 114 (seratus empat belas) surah (bab). Jumlah ayat dalam surah tersebut dari surah pertama al-Fatihah sampai dengan annas sebanyak 6666 ayat.

al-Quran bersifat statis. al-Quran adalah kitab suci umat Islam. Ayat-ayatnya berupa kebenaran, dianggap wajib dilakukan dan memang tidak boleh diubah. Di bidang hukum, ayat ayat al-Quran memuat aturan ibadah, pemerintah, peradilan, dagang dan keluarga. Aturan tersebut ditetapkan secara garis garis besar saja. Jadi, aturan tersebut perlu diuraikan dan dikembangkan melalui akal manusia. Maka, meskipun al-Quran bersifat statis, aturannya menjadi dinamis melalui proses akal manusia yang akan disebut.

Sumber yang paling tinggi setelah al-Quran adalah Sunnah atau hadits Nabi Muhammed s.a.w. Di bidang hukum, Sunnah berupa aturan didasarkan hidup Nabi Muhammad s.a.w. yang menjadi contoh untuk kehidupan manusia sehari-hari. Ada aturan Sunnah yang berlandaskan ayat ayat al-Quran secara langsung. Sebaliknya, ada aturan Sunnah yang tidak disebut dalam al-Quran dan berdiri sendiri. Bagaimanapun juga, ketentuan Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Quran.

Sunnah bersifat statis atau dinamis menurut tingkatnya. Sunnah Mutawatir bersifat statis. Sunnah Mutawatir diriwayatkan dari Nabi Muhammed s.a.w. pada banyak jamaah dan tidak mungkin berdusta. Maka, Sunnah Mutawatir bersifat yakin mengenai kebenarannya dan menjadi sunnah tertinggi yang wajib diamalkan.

Secara umum, Sunnah Masyur bersifat statis juga. Sunnah Masyur diriwayatkan dari Nabi Muhammad s.a.w. oleh banyak orang yang belum mencapai banyak sekali sebagaimana Sunnah Mutawatir. Oleh karenanya, Sunnah Masyur hanya menimbulkan dugaan kuat terhadap kebenaran isinya. Dengan dugaan tersebut, Sunnah Masyur masih wajib diterapkan. Namun, ada golongan umat Islam yang tidak memberikan kedudukan itu kepada Sunnah Masyur dan menolak amalannya.

Sunnah Ahad bersifat dinamis. Sunnah Ahad hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan Sunnah Ahad hanya menimbulkan dugaan yang biasa terhadap kebenarannya. Secara umum, Sunnah Ahad tidak boleh diterapkan terhadap masalah yang perlu didasarkan kepastian atau keyakinan. Melainkan, Sunnah Ahad hanya boleh dipakai di bidang fiqh. Sunnah Ahad tidak wajib dilakukan.

Sumber hukum Islam tertinggi yang berupa akal manusia adalah idjma. Idjma wajib berlandaskan ayat ayat al-Quran maupun Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur. Idjma tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan tidak boleh berdiri sendiri. Idjma diundangkan melalui ketetapan para ulama Islam besar. Ulama tersebut wajib tersusun sekurang-kurangnya tiga orang dan tidak boleh tercantum orang awam. Ketetapannya wajib didasarkan kebulatan pendapatnya. Dengan perkataan lain, Idjma tidak boleh dikeluarkan melalui suara terbanyak ulama tersebut. Idjma bersifat dinamis. Idjma yang telah dikeluarkan wajib dilaksanakan. Namun demikian, sesuatu aturan Idjma dapat diubah melalui ketetapan ulama Islam baru.

Sumber hukum Islam di bawah idjma adalah qiyas. Qiyas adalah suatu garis hukum baru yang didasarkan suatu garis hukum lama. Jadi, qiyas dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam tertentu untuk suatu perkara antara umat Islam.

Sumber hukum Islam yang didasarkan qiyas adalah istihsan. Istihsan mengecualikan suatu perkara dari ketentuan hukum Islam yang biasanya dianut. Istihsan kemudian mengajukan ketentuan lain yang berupa ketentuan Qiyas atau ketentuan apapun yang sesuai dengan syariah atau fiqh. Istihsan hanya dipakai untuk alasan yang kuat seperti ketidakadilan, kepentingan masyarakat atau keadaan darurat. Dinamisme qiyas dan istihsan sangat jelas.

Sumber hukum Islam yang paling lepas adalah Maslahah Mursalah. Maslahah Mursalah berupa keputusan yang berdasarkan pertimbangan kepentingan masyarakat. Maslahah Mursalah dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam apapun untuk perkara bersangkutan. Keputusan melalui Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada.

Semua sumber hukum Islam tersebut ditambah dengan hukum Adat melalui 'Urf. 'Urf menyatakan bahwa kebiasaan atau adat masyarakat dapat dianut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada. Kebiasaan tersebut harus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan secara terus-menerus (yaitu tanpa pengecualian) atau berlaku secara umum atau secara terbanyak. 'Urf bersifat dinamis karena diubah secara sesuai dengan perkembangan kebiasaan masyarakat.

[+/-] NEXT...

Kamis, 18 Maret 2010

Ketentuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

1. Ketentuan CEDAW Bersifat Umum
CEDAW dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah “diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action).

Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum yang akan dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW. Pertama, Pasal 2 butir a menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar dan perundang-undangan Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan.

Kedua, Pasal 2 butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan lain yang melarang diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan. Jika dianggap perlu, peraturan perundangan tersebut akan menetapkan hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita. Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara Negara Peserta akan menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok di mana pun.

Ketiga, Pasal 2 butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat diskriminatif tidak akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah Negara Negara Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan Undang Undang, peraturan perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan diubah atau dicabut. Sebagaimana demikian, Pasal 5 butir a berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah sesuai dengan CEDAW. Jadi, kebiasaan atau praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita akan dihapuskan.

2. Ketentuan CEDAW Di Bidang Tertentu
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat ketentuan khusus di bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik. Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto butir b menetapkan hak memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan didasarkan persamaan wanita dengan pria. Selanjutnya, hak mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah juga akan disandarkan kaidah tersebut. Akhirnya, wanita bersama dengan pria akan mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan maupun hak melaksanakan segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.

Di bidang sosial dan internasional, Pasal 7 butir c yuncto Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan pedesaan.

3. CEDAW Dan Hukum
Pasal 15 mengandung ketentuan tentang hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan di muka hukum. Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal sipil maupun kesempatan melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan tersebut tercantum hak yang sama untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus harta benda. Kecakapan tersebut pula tercantum perlakuan yang sama dalam lingkungan peradilan pada tingkat pertama, banding dan kasasi. Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan diberikan untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat kediaman.

4. CEDAW Dan Kekeluargaan
Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan perkawinan. Secara umum, Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai perkawinan. Khususnya, beberapa hak wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama, Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas sepenuhnya.

Ketiga, Pasal 16 Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan maupun pada putusnya. Keempat, Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak mereka. Namun demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.

Kelima, Pasal 16 Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami isteri termasuk hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi dan jabatan. Keenam, Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh, Pasal 16 Ayat (2) melarang pertunangan dan perkawinan seorang anak.

5. Ketentuan CEDAW Bersifat Teknis
CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal yang bersifat administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.

[+/-] NEXT...

Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hukum internasional melindungi HAM melalui konvensi atau perjanjian internasional dan kebiasaan international. Ketentuan hukum internasional terhadap HAM yang paling lama adalah Maklumat Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) (UDHR). UDHR dikeluarkan pada tahun 1948. UDHR telah mempengaruhi serta diakui Republik Indonesia. UDHR bukan konvensi atau perjanijian internasional, melainkan itu Ketetapan Majelis Bangsa Bangsa yang lembaga tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebagaimana demikian, UDHR sendiri tidak wajib dilaksanakan negara anggota PBB. Bagaimanapun, UDHR sudah lama diumumkan. Ada orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan UDHR menjadi kebiasaan internasional dan, oleh sebabnya, ketentuan UDHR wajib dipenuhi semua negara dunia.

Kebiasaan hukum internasional terhadap HAM ditambah dengan Konvensi. Konvensi tentang HAM diundangkan negara negara dunia dengan bantuan PBB. Konvensi atau perjanjian internasional wajib dilaksanakan secara tersebut. Di bidang Konvensi tentang HAM terdapat Konvensi bersifat umum dan Konvensi bersifat khusus. Konvensi bersifat umum adalah Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Asasi Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (ICCPR) dan Konvensi Internasional Tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic Social and Cultural Rights) (ICESCR) yang akan disahkan Indonesia.

Konvensi bersifat khusus tercantum Konvensi terhadap hak hak asasi wanita. Konvensi itu termasuk Konvensi Tentang Hak Hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women) yang telah disahkan Indonesia dengan Undang Undang No.18/1956 maupun CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).

[+/-] NEXT...

HAK- HAK ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Misalnya saja jauh sebelum Ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990 Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak, namun harapan hanya tinggal harapan, kondisi anak-anak di Indonesi masih saja mengalami berbagai masalah. Sampai akhirnya Indonesia meratifikasi Konvensi International Mengenai Hak Anak (Convention on the Raight of the Child), Konvensi yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 ternyata belum mampu mengangkat keterpurukan situasi anak-anak Indonesia. Kemudian setelah Ratifikasi KHA Indonesia mengesahkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisan terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak dirumah tanahan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagaian besar (84,2 %) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes) pada rentang waktu yang sama, yaitu januari hingga mei 2002, tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (anak sipil, anak negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan. Sebagaian besar yaitu 53,3 % berada di rumah tahanaan dan lembaga pemasyarakan untuk orang dewasa dan pemuda.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak pada situasi rawan dan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Oleh karena itu sudah seharusnya sistem peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus sesuai dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional maupun internasional yang berlaku diantaranya adalah:
A. Instrumen Hukum nasional
1. UUD 45
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6. Konvensi Menetang Penyiksaan dan Perlakuan dan Penghukuman Lainnya yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia Res PBB No. 39/46 tahun 1948 ) yang di ratifikasi dengan Undang-undang No. 5 tahun 1998 tentang Pengesehan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment

B. Instrumen Hukum Internasional
1. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia
2. Konvensi Hak Anak tahun 1989
3. Kumpulan hukum prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berada di bawah bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan (res. PBB No. 43/173 tahun 1988),
4. Peraturan perserikatan PBB bagi Perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya (Res No. 45/113 tahun 1990)

[+/-] NEXT...

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DALAM PROSES HUKUM

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak secara khusus.

Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan anak. Indonesia mengesahkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak yang melakukan tindak pidana menurut defenisi hukum Nasional adalah ” orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. ”Anak Nakal” Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa.
Untuk menjamin Perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan ”Perlindungan Khusus”. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak pasal 64 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Bentuk perlindungan khusus tersebut meliputi :
1) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2) penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;
3) penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
6) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga
7) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Persoalan hukum tidak hanya menimpa orang-orang dewasa. Anak-anak juga seringkali terbentur dengan persoalan hukum. Dan seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga berhak mendapat perlindungan secara hukum. Perlindungan hukum ini tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban dalam suatu maasalah hukum, tapi juga kepada anak-anak yang menjadi pelakunya
Berdasarkan penjelasan pasal 10 undang-undang no 14 tahun 1970 peradilan anak itu berada di bawah peradilan umum, yang diatur secara istimewa dan undang-undang pengadilan anak hanyalan masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara siding bagi orang dewasa. Pengadilan anak ada pada badan peradilan umum. (pasal 2 UU No. 3 tahun 1997)
Undang-undang pengadilan anak dalam pasal-pasalnya mengaut beberapa asas yang membedakannya dengan siding pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut :
1. pembatasan umum (pasal 1 butir 1 jo pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak ditentukan secara limitative, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan maksumum 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin
2. ruang lingkup masalah di batasi (pasal 1 ayat 2)
masalah yang dapat diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas menyangkur perkara anak nakal.
3. Ditangani pejbat khusus (pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)
Undang-undang no 3 tahun 1997 menentukan perakra anak nakal harus ditangani oleh pejbat-pejabat khusus seperti :
a. ditigkat penyidikan oleh penyidik anak
b. di tingkat penuntutan oleh penutut umum
c. di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim kasasi anak.
4. Peran pembimbing kemasyarakatan (pasal 1 ayat 11)
Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari
a. pembimbing kemsyrakatan
b. pekerja social dan
c. pekerja social sukarela
5. Suasana pemeriksaan kekeluargaan
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat hokum tidak memakai toga.
6. Keharusan splitsing (pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun militer, kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama orang dewasa, maka si anak diadili dalam siding pengadilan anak, sementara orang dewasa diadilan dalam siding biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.
7. Acara pemeriksaan tertutup (pasal 8 ayat (1))
Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara tertutup . ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
8. Diperiksa hakim tunggal (pasal 11, 14, dan 18)
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
9. Masa penahanan lebih singkat (pasal 44 -49)
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahanan menurut KUHAP
10. Hukuman lebih ringan (pasal 22 – 32)
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan daripada ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah sepuluh tahun.

[+/-] NEXT...

SENGKETA BERSENJATA YANG TAK BERSIFAT INTERNASIONAL

Sengketa bersenjata yang tak bersifat internasional atau sengketa bersenjata internal terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dengan angkatan bersenjata yang membangkang atau oleh kelompok-kelompok bersenjata terorganisir lainnya yang memberontak terhadap pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap mereka yang melakukan pemberontakan itu diatur dalam pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (selanjutnya disebut Protokol II).

Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 menegaskan bahwa Protokol ini akan berlaku pada semua sengketa yang tidak tercakup oleh Protokol I dan yang terjadi di wilayah negara pihak antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pembrontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayahnya sehingga memungkikan mereka melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan dan serentak dan melaksanakan Protokol ini.

Dari ketentuan ini, maka dapat dikatakan bahwa agar dapat memiliki status pemberontak harus dipenuhi syarat struktural, yaitu adanya komando yang bertanggung jawab, dan syarat intensitas berupa penguasaan suatu wilayah yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara berkelanjutan dan serentak.


Hukum yang berlaku

Di samping hukum nasional, dan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia, bagi negara-negara yang menjadi pihak pada Protokol II, berlaku ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II 1977, sedangkan bagi negara-negara tidak menjadi pihak pada Protokol II tersebut hanya berlaku ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949.

Pasal 3 yang bersamaan pada Konvensi Jenewa-konvensi Jenewa 1949 menyatakan sebagai berikut: Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:

1). Orang yang tidak ikut dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang meletakkan senjata serta tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apa pun, dalam keadaan bagaimana pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaaan merugikan berdasarkan suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau kriteria sejenis lainnya. Untuk maksud ini maka terhadap orang-orang tersebut kapan dan dan di mana pun juga tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan berikut:

 kekerasan terhadap jiwa, raga, terutama segala macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan,
 penyanderaan,
 perkosaan terhadap kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat,
 menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului oleh keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak dapat menawarkan, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak-pihak dalam sengketa.

Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sengketa bersenjata internal dalam Protokol II 1977, pada prinsipnya mengembangkan dan memperluas ketentuan-ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949, yag pada intinya memuat hal-hal berikut:

• prinsip yang memberikan jaminan mendasar bagi perlakuan manusiawi diulangi kembali (pasal 4) sama dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 3 yang bersamaan
• minimum perlakuan yang ditetapkan terhadap orang yang diasingkan atau ditahan karena alasan yang terkait dengan sengketa bersenjata (pasal 5.1 (a) sampai (e), meliputi: (a) perawatan atas orang yang luka dan sakit, (b) persedian makanan, air, fasilitas kesehatan dan gizi, dan perlindungan, (c) hak menerima bantuan perorangan atau kolektif (f) hak melaksanakan agama dan menerima bantuan spiritual, dan (g) kondisi kerja dan jaminan yang sama dengan yang diberikan kepada penduduk setempat.
• Mereka yang bertanggung jawab atas pengasingan dan penahanan, sampai batas kemampuan mereka harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan orang-orang tersebut (pasal 5.2 (a) sampai (e): (a) tempat penahanan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (kecuali dalam kasus keluarga), dan pengawasan perempuan oleh perempuan (b) hak menerima dan mengirim surat dan kartu (c) tempat pengasingan dan penahanan tidak boleh dekat dengan kawasan pertempuran (d) hak atas keuntungan pemeriksaan kesehatan (e) kesehatan dan keutuhan jasmani dan rohani mereka tidak boleh dibahayakan karena perbuatan atau kealpaan yang tak dapat dibenarkan.
• Perlindungan padal 4 dan 5.1 (a), (c) dan (d) dan 5.2 (b) diperluas kepada orang-orang yang dicabut kemerdekaannya karena alasan yang berkaitan dengan sengketa bersenjata, yang tidak tercakup oleh ayat 1 (pasal 5.3).
• Pasal 6 secara khusus menetapkan jaminan minimum kemerdekaan dan ketidakberpihakan dalam proses peradilan: (a) informasi segera atas dakwaan pidana, (b) asas tanggung jawab pidana perorangan, (c) tidak berlaku surutnya hukum pidana, (d) asas praduga tak bersalah, (e) hak untuk hadir di pengadilan (f) tidak ada kewajiban untuk memberikan keterangan atau mengaku salah.

Pemeliharaan keamanan dan ketertiban

Menurut de Rover, ada persoalan yang berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam sengketa bersenjata internal, yaitu apakah ini akan tetap dilaksanakan oleh badan-badan penegak hukum yang ada atau digantikan oleh angkatan bersenjata. Pertanyaan tersebut dijawab sendiri oleh Rover, bahwa dengan mengingat kesesuaian (dalam arti pelatihan, perlengkapan dan kehadirannya) jelas bahwa angkatan bersenjata tidak boleh digunakan bagi penegakan dan pemeliharaan ketertiban umum. Karena alasan strategis, maka tanggung jawab dasar bagi penegakan hukum harus dibiarkan berada pada kekuasaan badan-badan penegak hukum selama mungkin.

Sengketa bersenjata internal dapat mengarah kepada keadaan “ketidakpatuhan umum (public disobeyance)” yang di dalamnya penghormatan aturan hukum sangat terancam. Jika tidak ditangani segera, ketidakpatuhan publik dapat berkembangan kepada budaya pembebasan tanpa proses hukum (impunity). Oleh karenanya penting bagi badan-badan penegak hukum untuk tetap bekerja dan mengelola dengan sungguh-sungguh kegiatan mereka untuk mencegah dan medeteksi kejahatan. Para penjahat harus diajukan ke pengadilan dan aturan hukum yang berlaku. Sebaliknya demokrasi dan rule of law terutama merupakan korban tambahan dari sengketa bersenjata.

[+/-] NEXT...